Subagio S.Waluyo

Kata “revolusi” selalu dikaitkan dengan “kekerasan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memang ada terselip kata “kekerasan”. Sebagai bukti bahwa kata “kekerasan” memang terdapat pada definisi yang terdapat di KBBI bisa dilihat berikut ini. 

revolusi/re·vo·lu·si/ /révolusi/ n 1 perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata); 2 perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang: dialah pelopor — dalam bidang arsitektur bangunan bertingkat; 3 peredaran bumi dan planet-planet lain dalam mengelilingi matahari;

— industri perubahan radikal dalam usaha mencapai produksi dengan menggunakan mesin-mesin, baik untuk tenaga penggerak maupun untuk tenaga pemroses;

berevolusi/be·re·vo·lu·si/ v mengadakan perlawanan dan sebagainya untuk mengubah sistem ketatanegaraan (pemerintahan atau keadilan sosial)

(http://kbbi.web.id/revolusi)

Pada definisi di atas dapat dibuktikan bahwa kata “revolusi” jika berkaitan dengan pemerintahan atau keadaan sosial (disebut juga sebagai perubahan ketatanegaraan) berkaitan dengan “kekerasan”. Begitu juga jika dikaitkan dengan kata “industri” walaupun tidak disebut dengan “kekerasan”, memiliki makna yang tidak jauh berbeda, yaitu kata “radikal”. Jadi, kata “revolusi” yang selama ini orang mengaitkannya dengan kata “kekerasan” lebih disebabkan oleh cara berpikir masyarakat kita yang selalu dikaitkan dengan perubahan ketatanegaraan (pemerintahan dan sosial).

          Berbicara tentang kata “revolusi” tanpa mengutip dari Wikipedia Indonesia (WI), tampaknya ‘kurang afdhol’. Untuk itu perlu juga berikut ini dicantumkan uraiannya.

          Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap ‘cepat’ karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat —seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan— yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi)

          Diakui atau tidak, uraian dari WI tampaknya lebih tajam atau bisa juga lebih keras daripada KBBI. Sebagai bukti kata “revolusi” dalam WI lebih keras daripada KBBI bisa dilihat pada uraian yang menyatakan bahwa revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru.  Pernyataan ini jelas-jelas secara tidak langsung menanamkan suatu persepsi bahwa sebuah revolusi dibutuhkan sebuah gerakan perubahan yang cenderung radikal, boleh juga, menghendaki kekerasan karena untuk mengubah suatu sistem mau tidak mau harus dilakukan dengan cara paksaan atau intimidasi di antaranya. Jadi, kalau mindset masyarakat kita sudah tergiring oleh uraian baik yang terdapat dalam KBBI maupun WI bahwa sebuah revolusi tidak terlepas dari kekerasan atau tindakan radikal bisa dimaklumi.    

          Sah-sah saja kalau ada orang yang alergi dengan kata “revolusi” karena bukan hanya pada KBBI dan WI yang memang mencantumkan kata “kekerasan” dalam definisinya atau uraiannya, perjalanan sejarah di negara manapun sebuah revolusi selalu berhubungan dengan “kekerasan” atau tindakan radikal. Bagaimana kalau kata “revolusi” kita sandingkan dengan kata “akhlak” sehingga menjadi “revolusi akhlak” sebagaimana judul tulisan ini? Tentu saja kalau kata “revolusi” apabila disandingkan dengan kata “akhlak” babnya sudah berbeda. Bisa dijamin tidak mungkin lagi kata “revolusi” berkaitan dengan “kekerasan” karena justru dengan kehadiran kata “akhlak” menghilangkan atau meniadakan kata “kekerasan”. Mengapa bisa demikian?

          Kata “akhlak” dalam KBBI didefinisikan sebagai “budi pekerti”, “kelakuan” (http://kbbi.web.id/akhlak). Kalau definisi dari KBBI masih dianggap kurang memuaskan, bisa mengambil dari definisi yang ditulis oleh Yunahar Ilyas dalam bukunya Kuliah Akhlaq (LPPI,1999:1) yang mengatakan bahwa kata “akhlaq (akhlak)” secara etimologis adalah bentuk jamak dari “khuluq” yang berarti “budi pekerti” (sama dengan yang terdapat dalam KBBI), “perangai”, “tingkah laku”, atau “tabiat”.  Sedangkan secara terminologis menurut Yunahar dengan mengutip pendapat Imam Ghazali, Ibrahim Anis, dan Abdul Karim Zaidan sebagaimana terlihat berikut ini.

“Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”  

(Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin,1989:58)

“Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.”  

(Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasith, 1972:202)

“(Akhlaq) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.”

(Abdul Karim Zaidan, 1976:75)

Dengan melihat pada ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa secara terminologis akhlak berarti sifat yang tertanam dalam jiwa manusia sehingga sifat itu akan muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu serta tidak memerlukan dorongan dari luar (Yunahar Ilyas, 1999:2). Untuk itu, masih menurut Yunahar (1999:3) akhlak harus bersifat konstan, spontan, tidak temporer, tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan, dan tidak ada dorongan dari luar (stimulus).

          Setelah secara terpisah diketahui definisi kata “revolusi” dan “akhlak”, bagaimana jika dijadikan satu rangkaian (frase) “revolusi akhlak”? Apabila kita rangkaikan menjadi satu, “revolusi akhlak”, bisa saja didefinisikan menjadi “perubahan mendasar di bidang atau dalam hal yang berhubungan dengan akhlak umat Islam”. Perubahan mendasar di sini jika dikaitkan dengan uraian yang terdapat di WI berkaitan dengan perubahan sosial dan kebudayaan. Atau perubahan yang berkenaan dengan perubahan pokok-pokok kehidupan masyarakat. Karena dalam hal ini dikaitkan dengan umat Islam, boleh jadi lebih mengarah pada perubahan pola hidup masyarakat Islam yang disesuaikan dengan pokok-pokok ajaran Islam.  

          Akhlak sebagaimana terlihat pada definisi di atas terbagi dua bagian besar, yaitu akhlak yang baik dan akhlak yang buruk.  Dalam hal ini perubahan mendasar lebih tertuju pada perubahan akhlak yang semula tidak baik (buruk) menjadi baik. Dengan demikian, kata “revolusi akhlak” di sini lebih terfokus pada perubahan akhlak umat Islam yang semula buruk akhlaknya menjadi baik. Mengapa harus dilakukan “revolusi akhlak” dan bagaimana mewujudkannya?  Sebelum menjawab kedua pertanyaan tersebut, perlu diuraikan terlebih dahulu tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam sebagai ‘rahmatan lil alamin’ (pemberi rahmat bagi seluruh alam). Setelah itu, baru disinggung dengan hal-hal yang berkaitan dengan akhlak.

(bersambung)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *