Subagio S.Waluyo
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ketika membuat definisi `rendah diri` dan `rendah hati` terlihat adanya perbedaan yang jelas. Di KBBI tercantum frase `rendah diri`: `hal (sifat) diri`; `merasa dirinya kurang`. Sementara frase `rendah hati`: hal (sifat) rendah hati, tidak sombong atau `tidak angkuh`. Tetapi, ketika kedua frase tersebut diberikan imbuhan me-kan sehingga menjadi `merendahkan diri` dan `merendahkan hati` mempunyai makna yang sama, yaitu `menjadikan diri tidak sombong`; `tidak congkak`; `tidak angkuh` (KBBI,1999:833). Lho, kok, bisa sama ya? Bukankah seharusnya dibedakan. Untuk frase `merendahkan hati` memang bisa diterima pengertian tersebut. Lha, kalau frase `merendahkan diri` bukankah lebih baik didefinisikan sebagai `menjadikan dirinya merasa kurang`?
Kita setuju dengan pendapat orang yang mencoba membedakan kedua frase itu dalam perspektif Islam. Dalam perspektif Islam, `rendah diri` harus dilakukan terhadap Allah SWT sebagaimana tercantum di hadits yang berbunyi:
Barangsiapa yang merendahkan diri di hadapan Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya pada tempat yang tinggi. Dan barangsiapa yang takabur kepada Allah, maka Allah akan menghinakannya sampai ke tempat serendah-rendahnya.”
(HR. Ahmad).
Sementara itu, `rendah hati` harus dilakukan terhadap sesama. Untuk itu, Allah berfirman dalam Surat Al-Furqon:63:
“Dan hamba-hamba Tuhan yang maha penyayang itu (adalah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.”
(http://blogromeltea.blogspot.co.id/2015/07/pengertian-rendah-hati-rendah-diri.html)
Di Wikipedia Bahasa Indonesia (WBI) tidak ada frase `rendah hati` (?). Frase `rendah diri` justru ada. Frase `rendah diri` (bisa juga) `rasa rendah diri` atau minder atau low self-esteematau condescending ialah perasaan bahwa seseorang lebih rendah dibanding orang lain dalam satu atau lain hal (https://id.wikipedia.org/wiki/Rendah_diri). Meskipun demikian, WBI tidak menyamakan `rendah diri` dengan `rendah hati` karena memang di WBI tidak tercantum frase `rendah hati`. Sekali lagi, di WBI hanya ada frase `rendah diri`. Frase `rendah hati` mungkin belum ada orang yang menyumbangnya atau memang dianggap tidak begitu penting untuk dimasukkan dalam WBI? Mudah-mudahan saja ada orang yang berkenan mau memasukkan frase `rendah hati` sehingga bisa memperkaya kosa kata setiap pembacanya sehingga tidak terpengaruh oleh pengertian yang ada di KBBI.
Kita tidak perlu memasalahkan frase `merendahkan diri` yang sama maknanya dengan `merendahkan hati` yang terdapat dalam KBBI. Kita juga tidak perlu memasalahkan tidak adanya frase `rendah hati` yang tidak terdapat dalam WBI. Kita fokus pada masalah kapan saja perlu rendah diri dan rendah hati. Sebagai agama yang di dalamnya ada muatan tentang hal-hal yang berkaitan erat dengan hablum minannaas (hubungan sesama manusia), agama Islam mengajarkan kita untuk berendah diri dan berendah hati. Kalau mengamati hadits di atas, kita bisa mengatakan bahwa seorang hamba Allah boleh merendahkan dirinya ketika di hadapan Allah. Justru sebaliknya, kita tidak boleh takabur (sombong) di hadapan Allah. Allah akan menempatkan kita serendah-rendahnya jika kita takabur di hadapan Allah.
Di samping di hadapan Allah diharuskan merendahkan diri, kita juga harus merendahkan diri di hadapan orang tua. Coba perhatikan ayat berikut ini.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: `Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil` ”.
(Surat Bani Israil:24)
Ayat di atas jelas sekali bahwa di hadapan kedua orang tua kita harus merendahkan diri. Selain itu, kita juga diminta dengan sangat mendo`akan mereka. Dengan orang-orang beriman pun kita diharuskan merendahkan diri. Silakan dilihat Surat 15 ayat 88 di bawah ini.
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.”
Kalau terhadap kedua orang tua, tampaknya kita bisa terima sikap kita untuk berendah diri. Tapi, mengapa dengan orang-orang yang beriman pun kita harus berendah diri? Orang beriman selama di dunia oleh Allah SWT telah diberikan balasan dengan memberikannya perlindungan. Bahkan, di akhirat pun nanti mereka mendapat perlindungan sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah: 257 berikut ini.
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)”
Bukan hanya itu dalam Surat Al-Ashr: 1-3 telah dijelaskan semua manusia merugi kecuali orang-orang yang beriman karena mereka mengerjakan amal shaleh dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Terakhir, sebagai pelengkap, orang-orang beriman sudah dijamin Allah SWT ahlul jannah karena di akhirat mereka kedudukannya tinggi sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Kahfi 30-31 berikut ini.
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang mas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah.”
Kalau melihat uraian di atas, kita bisa mengatakan bahwa merendahkan diri pada sesama manusia (yang jelas bukan orang tua atau orang-orang beriman) dalam Islam sangat dilarang. Begitu juga merendahkan diri pada lembaga/institusi atau negara sekalipun yang jelas-jelas ingkar pada Allah (bahkan mengajak pada kemungkaran) juga dilarang. Jadi, seorang muslim selayaknya tidak boleh bersikap inferior pada mereka. Sebaliknya, dalam masalah ini seorang muslim yang beriman harus memiliki harga diri terhadap mereka. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang inferior sehingga memunculkan sikap xenofobia (takut pada mereka yang jelas-jelas ingkar dan membikin kerusakan di muka bumi) dan fatalis (berserah diri pada keadaan bukan pada Allah SWT). Dalam hal ini kita harus mengubah sikap di hadapan mereka, yaitu dari orang-orang yang rendah diri menjadi orang-orang yang punya harga diri tetapi memiliki sikap rendah hati.
Salah satu indikator orang yang shaleh adalah orang yang rendah hati. Rendah hati atau tawadhu` adalah sifat yang dimiliki para nabi.Rasulullah SAW bersabda:
“Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.”
(HR. Muslim no. 2865).
Sebagai bukti Rasulullah SAW memiliki sifat tawadhu apabila bertemu dengan anak kecil yang lebih rendah kedudukannya beliau memberi salam. Untuk itu, bisa dilihat pada hadits berikut ini.
“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.”
(HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459)
Sifat tawadhu beliau bukan hanya terbatas pada memberikan salam pada anak-anak atau orang-orang yang lebih rendah kedudukannya, ketika pakaian beliau robek, beliau menjahit sendiri pakaiannya. Beliau terbiasa membantu istrinya di rumah walaupun kedudukan beliau sebagai Rasul. (Sumber: https://rumaysho.com/2056-memiliki-sifat-tawadhu.html). Jadi, Rasulullah SAW telah memberikan contoh pada kita untuk memiliki sifat tawadhu. Dengan demikian, kita pun selaku umatnya harus memiliki sifat yang sama kalau kita mau disebut umat yang terbaik.
Kita boleh memiliki harta yang banyak atau kekuasaan dengan pangkat atau jabatan yang tinggi entah di pemerintahan atau di dunia politik. Kita pun boleh memiliki ilmu yang tinggi dengan sederet gelar akademis dan sekian banyak tanda kehormatan. Tetapi, selaku hamba Allah yang lemah, yang demikian kecil di hadapan Allah sudah seharusnya kita memiliki sifat rendah hati. Dengan memiliki sifat tawadhu tidak menjadikan kita rendah diri. Rendah hati memiliki nilai positif. Sementara rendah diri memiliki nilai negatif. Rendah hati adalah sebuah keutaman. Sedangkan rendah diri adalah kehinaan. Dengan adanya sifat rendah hati akan memunculkan pemandangan sosial yang indah di antara sesama muslim. Sesama muslim saling menghargai, tidak merendahkan. Sesama muslim saling menutupi, tidak menelanjangi. Sesama muslim saling memuji, tidak saling mencela. Energi kita yang pasti tidak cacat hanya karena digunakan untuk mencari cacat sesama saudara muslim. Namun, sebaliknya, energi yang ada pada kita digunakan untuk mengerahkan potensi kita agar berdaya guna dalam hidup di tengah-tengah masyarakat (Sumber: http:// www. dakwatuna. com/2013/09/27/ 39868/ khutbah-jumat-tawadhu-sahabat-nabi). Mudah-mudahan kita selaku hamba Allah dan pengikut Nabi Muhammad SAW menjadi orang-orang yang rendah hati. Kita pun berharap supaya Allah SWT jauhkan kita dari sifat rendah diri (naudzubillahi min dzaalik). Wallahu a`alam bissawab.