Subagio S.Waluyo

Menulis paragraf selain bisa menggunakan konjungsi juga bisa menggunakan pengulangan kata kunci. Memang, agak sulit menggunakan kata kunci yang sama yang diletakkan di hampir semua kalimat dalam satu paragraf. Sebagai penulis pemula perlu kehati-hatian untuk menggunakan kata-kata kunci yang berulang. Di samping perlu kehati-hatian juga perlu fokus terhadap kata kunci yang mau ditulis berulang-ulang. Kata `sampah`, misalnya, yang dijadikan contoh berikut ini harus tepat penempatannya agar terlihat enak dibaca dan mudah dipahami. Coba kita lihat paragraf berikut ini yang menggunakan pengulangan kata kunci yang sama, tapi tidak terkesan membosankan ketika membacanya.

(1) Sampah selamanya selalu memusingkan. (2) Berkali-kali masalahnya diseminarkan dan berkali-kali pula jalan pemecahannya dirancang. (3) Namun, keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki tetap menjadikan sampah sebagai masalah yang pelik. (4) Pada waktu seminar-seminar itu berlangsung, penimbunan sampah masih terjadi. (5) Hal ini sedikit banyaknya mempunyai kaitan dengan masalah pencemaran air dan banjir. (6) Selama pengumpulan, pengangkutan, pembuangan akhir, dan pengolahan sampah itu belum dapat dilaksanakan dengan baik, selama itu pula sampah menjadi masalah.

(dikutip dari Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi oleh E. Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai)

Pada paragraf di atas ada lima kata `sampah` yang digunakan berulang-ulang. Penulis dengan cermat menggunakannya sehingga tidak merusak keutuhan sebuah paragraf. Kita pun bisa mudah memahami isi paragraf tersebut. Selain itu, kita yang membacanya pun tidak merasa jenuh. Paragraf di atas menunjukkan bahwa sang penulis adalah seorang penulis yang handal karena tidak mudah menempatkan kata kunci yang sama berulang-ulang di hampir setiap kalimat di paragraf tersebut. Contoh berikut ini juga terlihat adanya pengulangan kata `sesak` yang ditulis berulang-ulang.

(1) Kalau ditanya tentang tahun 2020 yang segera ditinggalkan, saya akan menjawab tahun yang menyesakkan. (2) Saya tidak mengatakan menyesakkan buat kesejahteraan saya karena sampai akhir tahun 2020 ini saya masih diberi Allah SWT rezeki yang berkecukupan. (3) Saya tidak mengatakan bahwa keluarga saya tergangggu kesejahteraannya. (4) Tetapi, saya ingin mengatakan bahwa sesak dada ini melihat perilaku pemimpin negara ini yang telah membuat anak bangsa ini sesak dadanya. (5) Bagaimana tidak sesak kalau di luar Indonesia di awal tahun ini orang sudah ribut-ribut masalah corona di negara ini pemimpin-pemimpin negara dengan angkuhnya mengatakan kalau negara ini tidak akan mungkin terpapar pandemi covid-19? (6) Bagaimana tidak sesak kalau sebagian anak bangsa ini banyak yang berjuang dengan maut karena corona enak-enaknya saja anggota dewan yang katanya terhormat mensahkan UU yang kontroversial, seperti UU Cipta Kerja yang memakan korban yang tidak sedikit? (7) Bagaimana tidak sesak kalau ada kado yang tidak mengenakkan apalagi kalau bukan perilaku pejabat publik yang bernama menteri tega-teganya makan uang haram bantuan sosial yang seharusnya disalurkan sepenuhnya pada anak bangsanya yang terpapar ekonominya akibat pandemi covid-19? (8) Bagaimana juga tidak sesak dada ini kalau terjadi lagi pelanggaran HAM oleh pihak berwajib yang menghabisi nyawa bangsa sendiri lewat peluru yang dananya dibeli dari uang rakyat? (9) Saya sesak melihat pemimpin-pemimpin bangsa ini yang sampai sekarang hanya memberi janji tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang telah terpampang di sila kelima Pancasila yang tidak pernah dan mungkin juga tidak mau mewujudkannya. (10) Wajar saja kalau dada ini sesak melihat perilaku rezim yang berkuasa saat ini.

(Dikutip dari “Tahun yang Menyesakkan” oleh Subagio S.Waluyo)

Ada delapan kata `sesak` yang digunakan secara berulang-ulang.  Dari segi jumlah kalimat dan panjangnya paragraf, jelas paragraf di atas kalimatnya lebih banyak daripada paragraf yang sebelumnya. Paragrafnya juga lebih panjang. Penempatan kata `sesak` baru dilakukan di kalimat keempat. Sementara paragraf yang membahas tentang sampah sudah ditempatkan kata `sampah` di awal kalimat. Meskipun lebih panjang paragrafnya dan lebih banyak kalimatnya, tulisan tersebut tidak terkesan membosankan. Mengapa? Masalah yang diangkat cukup menarik tentang perilaku pejabat publik di negara ini yang melakukan penyimpangan. Selain itu, ada beberapa kalimat tanya yang diawali kata tanya `bagaimana` yang juga digunakan berulang-ulang agar pembacanya mau berpikir dan merenungkan masalah yang juga paling tidak menyentuh hati nuraninya. Jadi, sebenarnya ada dua macam kata kunci yang diulang penggunaannya, yaitu kata `sesak` dan `bagaimana`. Keunikannya kedua kata kunci tersebut digunakan secara bersamaan dalam satu kalimat. Ada tiga kalimat yang ditulis bersamaan sehingga membentuk sebuah frasa `bagaimana tidak sesak`. Ditutup dengan bunyi yang hampir sama `bagaimana juga tidak sesak` yang menimbulkan kesan tersendiri ketika membacanya. Dijamin dengan cara penggunaan pengulangan kata sejenis yang ditempatkan di hampir setiap kalimat yang dikombinasikan dengan kata tanya yang juga diulang di beberapa kalimat pembaca mudah memahami isi tulisan. Agar lebih jelas lagi tentang penggunaan kata kunci dalam penulisan paragraf, berikut ini bisa dilihat contoh paragraf yang juga menggunakan kata kunci berulang-ulang.

Carolyn Kane seorang penulis Amerika ketika menulis tentang konsep berpikir juga menggunakan pengulangan kata berpikir sampai lima kali. Meskipun sampai lima kali diulang kata yang sama, pembacanya tidak akan pernah jenuh membacanya karena tulisan itu dikemas sedemikian rupa sehingga enak dibaca. Yang dikemukakan Carolyn Kane sederhana saja bahwa semua hal yang dilakukan manusia tidak lebih daripada berpikir. Jika semua orang ketika ingin melakukan sesuatu harus berpikir dulu, boleh jadi pekerjaan yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat akan tertunda karena harus dipikirkan dulu. Kita bisa bayangkan sesuatu yang dikemukakan oleh Carolyn Kane yang begitu sederhana ternyata ketika dituangkan dalam tulisannya bisa mengerutkan dahi. Carolyn Kane dengan pengulangan kata berpikir sampai lima kali yang dituangkannya ke dalam tulisannya terbukti berhasil membuat pembacanya merenung bahwa berpikir tidak harus lebih diutamakan sehingga mengganggu di hampir semua aktivitas manusia walaupun semua aktivitas manusia memerlukan sarana berpikir.

(1) Kami orang Amerika adalah orang yang dermawan dan manusiawi: kami memiliki institusi yang ditujukan untuk setiap tujuan baik dari menyelamatkan kucing tunawisma untuk mencegah Perang Dunia III. (2) Tetapi apa yang telah kami lakukan untuk mempromosikan seni berpikir? (3) Tentu saja kita tidak punya tempat untuk itu pikir dalam kehidupan sehari-hari kita. (4) Misalkan seorang pria berkata kepada teman-temannya, “Aku tidak akan pergi ke PTA malam ini (atau latihan koor atau pertandingan bisbol) karena aku butuh waktu untuk diriku sendiri, suatu waktu untuk berpikir“? (5) Orang seperti itu akan dijauhi oleh tetangganya; keluarganya akan merasa malu padanya. (6) Bagaimana jika seorang remaja berkata,” Aku tidak akan pergi ke pesta dansa malam ini karena aku butuh waktu untuk berpikir” (7) Orangtuanya akan segera mulai mencari di Halaman Kuning untuk psikiater. (8) Kita semua terlalu mirip Julius Caesar: kita takut dan tidak mempercayai orang yang berpikir terlalu banyak. (9) Kami percaya bahwa hampir semua hal lebih penting daripada berpikir.

(Carolyn Kane, dari “Berpikir: Seni yang Terabaikan.” Newsweek, 14 Desember 1981)

Tulisan berikut ini cukup panjang paragrafnya. Pengulangan katanya juga demikian banyak. Ada 27 kata `menulis` yang diulang di setiap kalimat. Karena paragraf ini tergolong panjang, jumlah kalimatnya pun cukup banyak: 24 kalimat. Di beberapa kalimat ada dua kata `menulis`, yaitu kalimat (2), (18), dan (21). Meskipun paragraf tersebut tergolong sangat panjang, pembaca tidak akan merasa jenuh karena kalimat-kalimatnya menarik untuk disimak dan direnungkan isinya. Coba saja perhatikan kalimat nomor 3 yang berbunyi: “(3) Saya menulis karena saya tidak dapat melakukan pekerjaan normal seperti yang dilakukan orang lain”. Kalimat tersebut menunjukkan keterus-terangan sang penulis bahwa tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan kecuali menulis. Di kalimat nomor (14)  penulis menulis: “Saya menulis untuk menyendiri”. Itu menunjukkan menulis sebagai tempat yang layak untuk menyendiri? Boleh-boleh saja kita perlu menyendiri karena menulis memerlukan imajinasi dan kontemplasi. Tapi, jangan karena menulis orang menjadi psikopat atau sosiopat. Begitu juga Kalimat di nomor (20): “Saya menulis karena menarik untuk mengubah semua keindahan dan kekayaan kehidupan menjadi kata-kata”. Dapatkah hanya dengan menulis dapat mengubah semua keindahan dan kekayaan menjadi kata-kata? Kalimat itu demikian mendalam maknanya. Susah untuk dicerna apa yang diinginkan penulisnya? Kita baru bisa mengetahuinya di akhir paragraf di kalimat nomor (24): “Saya menulis untuk menjadi bahagia”. Jadi, kebahagiaan itu baginya terletak pada saat dia menulis. Bagi sebagian orang yang terbiasa menulis juga mengakui bahwa ketika menuntaskan tulisannya, dia menemukan sebuah kebahagiaan yang tidak tergantikan.

(1) Pertanyaan yang paling sering ditanyakan oleh penulis, pertanyaan favorit, adalah: mengapa Anda menulis? (2) Saya menulis karena saya memiliki kebutuhan bawaan untuk menulis. (3) Saya menulis karena saya tidak dapat melakukan pekerjaan normal seperti yang dilakukan orang lain. (4) Saya menulis karena saya ingin membaca buku seperti yang saya tulis. (5) Saya menulis karena saya marah kepada semua orang. (6) Saya menulis karena saya suka duduk di kamar seharian menulis. (7) Saya menulis karena saya dapat mengambil bagian dalam kehidupan nyata hanya dengan mengubahnya. (8) Saya menulis karena saya ingin orang lain, seluruh dunia, untuk mengetahui seperti apa kehidupan yang kita jalani, dan terus hidup, di Istanbul, di Turki. (9) Saya menulis karena saya suka bau kertas, pena, dan tinta. (10) Saya menulis karena saya percaya pada sastra, dalam seni novel, lebih dari yang saya percayai dalam hal lain. (11) Saya menulis karena itu kebiasaan, gairah. (12) Saya menulis karena saya takut dilupakan. (13) Saya menulis karena saya suka kemuliaan dan minat yang dibawa oleh tulisan. (14) Saya menulis untuk menyendiri. (15) Mungkin saya menulis karena saya berharap memahami mengapa saya sangat, sangat marah pada semua orang. (16) Saya menulis karena saya suka dibaca. (17) Saya menulis karena begitu saya memulai sebuah novel, esai, halaman yang ingin saya selesaikan. (18) Saya menulis karena semua orang mengharapkan saya untuk menulis. (19) Saya menulis karena saya memiliki keyakinan kekanak-kanakan terhadap keabadian perpustakaan, dan dalam cara buku-buku saya duduk di rak. (20) Saya menulis karena menarik untuk mengubah semua keindahan dan kekayaan kehidupan menjadi kata-kata. (21) Saya menulis untuk tidak menceritakan sebuah kisah tetapi untuk menulis cerita. (22) Saya menulis karena saya ingin melarikan diri dari firasat bahwa ada tempat yang harus saya kunjungi tetapi – seperti dalam mimpi-tidak bisa begitu. (23) Saya menulis karena saya tidak pernah berhasil bahagia. (24) Saya menulis untuk menjadi bahagia.

(The Nobel Lecture, 7 Desember 2006. Diterjemahkan dari bahasa Turki, oleh Maureen Freely. The Nobel Foundation 2006)

Karikaturis seperti GM Sudarta dalam salah satu karikaturnya juga dengan sengaja menggunakan kata `tidak` sampai tujuh kali. Penggunaan kata `tidak` yang diulang sampai tujuh kali tentu saja akan memberikan efek yang mendalam bagi orang yang melihat karikatur tersebut. Bisa jadi orang yang memang benar-benar Pancasilais sejati atau yang masih ada di dalam dirinya nilai-nilai kebenaran akan menghindari untuk melakukan korupsi, makan suap, mempolitisasi Sara, intoleransi, menebar hoax, menebar hasutan kebencian, dan banyak omong. Sebaliknya, bagi orang-orang yang memang dalam kesehariannya tidak terbebas dari itu semua hanya tersenyum atau menertawakan dirinya sendiri. Bisa jadi juga untuk orang jenis ini hanya teriak `persetan dengan GM Sudarta` dan karikaturnya. Bagi kita orang-orang awam selain memberikan senyuman juga minimal menghargai sesuatu yang sudah dikerjakan GM Sudarta karena kebenaran harus ditegakkan walaupun hanya membuat karikatur yang menggelitik setiap orang termasuk para pejabat publik yang hidupnya tidak lepas dari yang telah disebutkannya di gambar karikatur tersebut. Bukankah celetukan GM Sudarta dengan cara pengulangan kata tidak sampai tujuh kali mencerdaskan, menghibur, menggelitik, dan menyegarkan?

Pernyataan yang terdapat pada karikatur tersebut juga bisa dituliskan dalam paragraf utuh. Mulai saja dengan pertanyaan: siapa itu Pancasilais sejati? Pancasilais sejati adalah mereka yang tidak korupsi dan tidak makan suap. Pancasilais sejati adalah mereka yang tidak mempolitisir sara sehingga kelak memunculkan sikap tidak intoleransi (maksudnya mereka menjadi memiliki sikap tololeransi. Juga mereka-mereka yang tidak suka menebar hoax karena hoax menumbuhkan salah satunya sikap intoleransi. Pancasilais sejati adalah mereka yang tidak nebar hasutan kebencian. Termasuk juga Pancasilais sejati adalah mereka yang tidak `ngomong doang` (cuma bisa mengomong) tapi minim tindakan.  Tanpa disadari kita pun oleh gambar karikatur yang dibuat GM Sudarta dituntun menulis penggunaan frasa yang berulang: `Pancasilais sejati adalah`. Tidak ada salahnya kita belajar menulis paragraf melalui karikatur yang dibuat oleh GM Sudarta. Karikatur GM Sudarta benar-benar menginspirasi kita!

(https://www.kompas.id/baca/utama/2018/06/30/gm-sudarta)

Gambar karikatur di bawah ini yang juga dibuat oleh GM Sudarta juga menggunakan pengulangan frasa dalam hal ini frasa `orang pintar`. Dari karikatur tersebut yang menggunakan pengulangan frasa yang sama bisa saja ditulis menjadi sebuah paragraf. Mau coba? Silakan saja! Bisa saja di setiap kalimat diawali dengan frasa `orang pintar`. Silakan kalau frasa tersebut mau diletakkan di awal paragraf. Atau bisa juga ditulis di kalimat kedua atau ketiga. Semua sangat tergantung pada keinginan kita.

(https://slideplayer.info/amp/2870250/)

Setelah kita melihat contoh-contoh di atas, ternyata menulis paragraf dengan pengulangan kata atau frasa yang bisa diletakkan di setiap kalimat demikian menarik bukan? Sebuah tulisan yang panjang sekalipun kalau di setiap kalimatnya digunakan pengulangan kata/frasa karena kepiawaian penulisnya, ternyata jika direnungkan memiliki makna yang demikian mendalam. Setiap pembaca yang mencoba menelusuri tulisan dengan pengulangan kata `menulis` yang ditempatkan di setiap kalimat (bahkan ada satu kalimat digunakan dua kali), kalau si penulis bisa menyusun kata-kata dengan baik ternyata tidak akan membosankan. Boleh jadi pembacanya akan merasa penasaran untuk menuntaskan bacaannya. Di sini diperlukan adanya latihan. Salah satu latihan yang bisa juga dilakukan adalah mencoba menggunakan kata-kata/frasa-frasa yang juga kerap digunakan oleh seorang karikaturis seperti GM Sudarta. Sebagai penutup, coba kita cari gambar kartun yang ditulis kartunis di luar GM Sudarta yang juga kerap menggunakan kata-kata/ frasa-frasa yang berulang. Dengan cara demikian kita lambat-laun akan menjadi penulis yang handal.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *