Subagio S. Waluyo
Kadis terkejut ketika bertemu dengan gurunya, Kyai Dofir, karena sang guru tampaknya berpihak pada sikap istrinya. Dia diancam Kyai Dofir untuk tidak boleh lagi ikut pengajiannya. Sang Kyai memandang bahwa pelajaran-pelajarannya yang selama ini diberikan tidak diamalkan oleh muridnya, Kadis. Selain itu, sang guru juga mengingatkan bahwa tangan yang di atas jauh lebih baik daripada tangan yang di bawah. Lebih baik memperoleh sedikit rezeki dari hasil kerja keras darpada meminta-minta dengan dalih silaturahim. Meskipun berupaya mengelak, mau tidak mau Kadis harus menerima putusan sang guru.
“Mulai sekarang, Kadis,” Kyai Dofir berkata dengan tenang kepada Kadis yang menunduk di depannya. “Kau aku larang untuk mengaji di sini. Juga kau kularang ngaji di tempat Kyai Humam atau Kyai Sobron.” “ Tapi apa salah saya, Kyai?” Kadis terlanjur mengajukan pertanyaan itu dan seketika merasa menyesal, karena selama hidupnya ia tidak pernah membantah gurunya. “Karena kau tidak belajar apa-apa dari pengajian itu!” perkataan Kyai Dofir kedengaran melangking di telinga Kadis. “Kau pergi mengaji hanya untuk alasan, untuk dalih yang dicari-cari, suapaya kau tidak usah bekerja untuk memberi nafkah pada anak istrimu.” “Tapi, Kyai, selama ini saya selalu memberi nafkah ………” “Ya, memang kau memberi nafkah,” suara Kyai Dofir memotong dengan cekatan dan keras,”tapi nafkah itu kan kau dapat dari hasil meminta-minta pada orang lain. Betul tidak, Kadis?” Kadis mengangguk. (Cerpen “Kadis”/Mohammad Diponegoro) |
***
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia merupakan makhluk yang bertanggung jawab. Manusia bukan saja bertanggung jawab kepada Tuhan, tetapi juga kepada agama, negara, bangsa, sesama umat manusia, orang tua, anak, dan kepada diri sendiri. Dengan adanya tanggung jawab, manusia di hari Akhir nanti diminta pertanggungjawabannya oleh Tuhan. Bahkan, secara jujur saja manusia yang masih memiliki hati nurani yang bersih pasti akan mau menyampaikan pertanggungjawabannya kepada sesama manusia. Jadi, manusia tidak mungkin bisa mengingkari adanya kewajiban tersebut. Untuk memahami konsep tanggung jawab, di bawah ini ada sebuah teks cerpen yang ditulis oleh Seno Gumira Aji Darma.
TELEPON DARI ACEH
Seno Gumira Aji Darma Seorang koruptor zaman Orde Baru yang luput dari pengawasan Indonesia Corruption Watch duduk menghadapi meja makan. Di sana ia mengumpulkan istri dan anak-anak-nya, dan sambil makan mulai bicara. “Bapak sungguh-sungguh bersyukur, sampai hari ini bapak masih selamat. Barangkali memang tidak mungkin menyapu seluruh koruptor yang ada di Indonesia. Koruptor nomor satu atau nomor dua memang tinggal ditunjuk, karena kekayaannya yang tidak bisa disembunyikan, meski juga tidak bisa dijadikan bukti, tetapi bagaimana dengan koruptor nomor dua ratus atau tiga ratus? Sedang bapak saja, yang bisa korupsi sekitar Rp200 milyar, rangking-nya cuma nomor 11.217. Pasti susah `kan, mencabut yang nomor 11.217 dari ratusan ribu koruptor? Jadi, barangkali untuk sementara kalian bisa tenang. Masih banyak koruptor kelas kakap yang hasil korupsinya tidak masuk akal, karena memang tidak terhitung. Bapak ini masih kelas teri, cuma Rp200 milyar. Masih bisa dihitung. Tenang sajalah. Lagi pula bisa sekolah di luar negeri, bisa punya rumah mewah, mobilnya tidak cuma satu, dan punya tabungan yang bunganya cukup untuk hidup sambil ongkang-ongkang kaki. Ya nggak? Bapak ini jelek-jelek tidak korupsi untuk diri sendiri, tetapi untuk keluarga. Demi kehormatan, kebesaran, dan keselamatan keluarga. Makanya kalian semua sekolah yang benar. Selesaikan pendidikan dengan sekolah di luar negeri, mumpung masyarakat Indonesia masih silau dengan gelar-gelar dari luar negeri. Perkara ijazahnya bisa beli, ya beli sajalah, untuk apa capai-capai ber-pikir? Lebih baik kalian pikirkan bagaimana caranya memutihkan tabungan, bagaimana caranya menghindar kalau disidik, dan cari orang-orang yang bersedia melindungi kita. Bayar saja sedikit. Kasih perempuan. Lantas diperas. Mereka tidak mungkin bicara. Uanglah yang akan bicara. Bagi rata kekayaan antara kita semua, jangan rebutan. Itu sumber perkara. Hati-hatidengan kekuasaan. Jangan silau dengan politik. Itu hanya akan membuat kamu jadi singa. Biasanya singa akan mati diterkam singa lain. Lebih baik kamu jadi tikus seperti bapak. Tidak usah hebat-hebat punya nama besar, pokoknya korupsi jalan terus. Kalau kalian punya jabatan di pemerintahan, meskipun tidak tinggi, kalau punya otak korupsi, bisa menjalan-kan korupsi dengan sistematis. Tidak usah banyak-banyak. Nanti terlalu kentara. Yang penting secara sistematis jalan terus. Seperti Bapak sekarang, menjelang pensiun sudah korupsi sampai Rp200 milyar. Yah, memang tidak trilyun-trilyunan, tetapi kita tidak usah terlalu rakus. Kasihan rakyat kecil. Kalau semua koruptor korupsinya sampai trilyun-trilyunan, nanti rakyat kecil makan apa? Jangan-jangan sebutir beras pun tidak kebagian. Korupsi itu secukupnya sajalah. Asal cukup untuk istri dan anak-cucu. Nanti cucu-cucu kaliah tidak usah korupsi lagi, karena sudah punya modal untuk berdagang seperti orang baik-baik. Meskipun modalnya hasil korupsi, tetapi generasi penerus kita bisa menjadi orang suci. Mereka tidak salah,`kan bukan mereka yang korupsi, tetapi bapak. Biarlah bapak menjadi tumbal, biarlah bapak menanggung dosa dan masuk neraka, yang penting anak cucu bapak menjadi orang-orang yang mulia.” ……………………………………………………………………………………… |
Setelah kita melihat teks di atas, apakah kita bisa mengatakan tokoh bapak di atas adalah benar-benar bapak yang bertanggung jawab? Kepada keluarga ia memang benar-benar bertanggung jawab (demikian bertanggungjawabnya ia siap menjadi tumbal api neraka) karena sampai anak cucu pun telah dijamin kebutuhan materinya. Tetapi, bagaimana tanggung jawabnya pada negara, pada bangsa, pada umat manusia (sesama anak bangsa), atau pada Tuhan? Tokoh bapak di atas jelas tidak mempunyai tanggung jawab kepada selain keluarganya. Bahkan, ia termasuk yang memiliki saham menghancurkan negara ini. Karena perbuatan buruknya (korupsi), menjadikan negara ini banyak hutangnya. Karena perbuatan buruknya pula, terjadi ketimpangan ekonomi yang berakibat pada rusaknya tatanan sosial negeri ini. Jadi,kalau negara ini dikatakan telah tidak berbentuk lagi (bentuk remuk), boleh jadi disebabkan merajalelanya korupsi, penegakan hukum yang tidak adil, berkuasanya kalangan penguasa dan konglomerat, dan berbagai macam bentuk penyimpangan lainnya.
Apakah cukup dirinya saja menjadi tumbal dan siap disiksa api neraka sementara keturunannya dinilai sebagai orang-orang suci? Pernyataan sang bapak kepada anak-anaknya mencerminkan kedangkalan cara berpikirnya. Coba, kita renungkan dengan mengajukan pertanyaan: apakah yang diberikan kepada anak dan cucunya itu semuanya halal? Kita mengatakan tidak halal alias haram. Pertanyaan berikutnya, jika yang diberikan pada mereka (anak cucunya) sesuatu yang haram, apakah anak cucunya kelak menjadi orang-orang suci? Jawabannya: bagaimana mungkin orang-orang yang suci (bersih) dibentuk dengan memberikan sesuatu yang haram karena sesuatu yang haram yang telah masuk ke tubuhnya mau tidak mau akan membentuk perilakunya. Singkatnya, untuk menjadi orang-orang suci (sholeh, bersih) harus diisi oleh yang bersih pula.
Hal lain yang cukup menarik dari teks tersebut jika dikaitkan dengan pandangan hidup, dari ucapan sang bapak ada terkesan gejala hidup yang mau enaknya sendiri, menggampangkan segala hal, dan memperoleh kenikmatan dengan cara tidak perlu bersusah payah (hedonis). Pandangan hidup yang dianut sang bapak jelas merupakan pandangan hidup manusia yang tidak bertanggung jawab. Karena tidak memiliki tanggung jawab, ia melakukan segala macam cara sebagaimana terlihat pada teks di atas seperti “ (1) Perkara ijazahnya bisa beli, ya beli sajalah …. (2) Lebih baik kalian pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan kekayaan hasil korupsi bapak. (3) Pikirkan bagaiamana caranya memutihkan tabungan, (4) bagaimana caranya menghindar kalau disidik, dan (5) cari orang yang bersedia melindungi kita. (6) Bayar saja sedikit. (7) Kasih perempuan. (8) Lantas diperas….(9) Bagi rata kekayaan antara kita semua, jangan rebutan… (10) Hati-hati dengan kekuasaan. (11) Jangan silau dengan politik…(12) Tidak usah hebat-hebat punya nama besar, pokoknya korupsi jalan terus. (13) Kalau kalian punya jabatan di pemerintahan, meskipun tidak tinggi, kalau punya otak korupsi, bisa menjalankan korupsi dengan sistematis….. (14) Korupsi itu secukupnya sajalah. (15) Nanti cucu-cucu kalian tidak usah korupsi lagi, karena sudah punya modal untuk berdagang seperti orang baik-baik. (16) Meskipun modalnya hasil korupsi, tetapi generasi penerus kita bisa menjadi orang suci.…(17) Biarlah bapak menjadi tumbal, biarlah bapak menanggung dosa dan masuk neraka…..”
***
Tampaknya, kita perlu mencari sebuah contoh (prosa/puisi) yang benar-benar mencerminkan sebuah tanggung jawab yang sebenarnya. Potongan kisah (cerpen) berikut ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kita.
Saimah. Hujan pertama kali turun menyapu pelataran pabrik, tubuhnya kuyup berlari histeri diseret lelaki bersarung:”Cepat, Saimah! Anakmu…”
“Katakan Adun, kenapan anakku!” Saimah menghardik, seluruh syaraf-syaraf otaknya mamapat, “Katakan Adun!!” “Zainab, aku melihat mereka menyeretnya ke arah belakang. Tiga orang bersenjata. Kau tahu, aku tidak mungkin melawannya. Hanya kau…” Adun menyentak, “Ke sini jangan berteriak.” Kelebat bayangan lima serdadu berwajah kekar memanggul karaben di pintu gerbang. Lamat suara tembakan sesekali terdengar dari jauh. Adun mengeratkan tangan Saimah dan melangkah merunduk diantara semak. Menuju batas pagar:”Kau larilah cepat ke arah sana. Ada pintu yang tak terkunci. Sekali lagi, hanya kau yang bisa menolong Zainab, Saimah. Jangan sampai mereka tahu kalau aku menunggu di sini. Ingat, mereka tidak akan menembak perempuan.Dan rapatkan mulutmu kalau kau tertangkap.Semoga tidak terlambat.” Naluri ibu yang kalap. Saimah memandang angkasa, mengeratkan mulut berdoa. Allah! Langit mengguruhkan suara petir yang runcing, membiaskan cahaya berkerlap. Ia lari. Menantang angin yang tiba-tiba bertiup menggugurkan daun-daun. Dan itulah! Radius jarak 200 meter ia mendengar teriak suara parau perempuan yang terhina. Zainab! Ia melompat dan bergemuruh, menabrak pintu dan… “Masya Allah. Kalian perkosa anakku?! Iblis laknat…” Saimah meraung. Jeritan keras menembus lapisan langit. Tubuhnya melayang melompat dan menerkam tiga bayangan hitam yang mendadak terjengat, tak menyangka:”Hei,hei, tahan dia Sersan! Sial…” Tapi Tuhan tak memiliki kemustahilan. Ratusan tahun Negeri Serambi telah melahirkan keperkasaan perempuan yang bergerak di hutan-hutan. Ketika senapan dikokang, selarik cahaya petir tiba menyambar; sedetik mata kopral terpejam, sedetik kemudian tangan Saimah melayang merebut senapan. Teramat cepat. Lalu rentetan tembakan menggelegar, mencabik-cabik keputusasaan Saimah. Dan angin mendesau-desau di luar pagar. Dan raung tenggorokan yang sekarat menggelepar dibasuh hujan. Amis darah. Lalu hening. Saimah gemetar suara senapan berkelotrak jatuh: ia memaku. Lentikan mata di luar kesadaran, wajah yang mengeras, lalu dengan tiba-tiba pula ia menangis. Memeluk Zainab, anak gadis bau kencur yang belum saatnya dipetik; tapi dirobek paksa dan begitu amat terhina:”Kau…apa yang telah mereka lakukan ter-hadapmu, anakku, ya Allah …” “Pasukan gerilyawan Sabil. Mereka memaksaku untuk mengatakannya. Salahkah kalau aku memilih mati, ibu? Tapi alat negara tidak memilih itu. Mereka memperkosaku. Mereke hanya perlu unttuk menghina negeri ini. Allah…Allah…Allah telah begini kotor.” “Tidak. Engkau tetap suci. Bidadariku. Diamlah, ssst…” (“Bulan Sabit”, hlm. 182 – 184) |
Sebelum kita menyimpulkan bahwa potongan kisah di atas diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kita tentang konsep tanggung jawab yang sebenarnya, adakah kesamaan naluri `Sang Bapak` pada “Telepon dari Aceh” dengan `Sang Ibu` pada “Bulan Sabit” ?
Keduanya jelas menunjukkan adanya kesamaan naluri kemanusiaan. Baik pada `Sang Bapak` maupun `Sang Ibu` kedua-duanya berkeinginan menolong anak-anaknya atau keturunannya agar mereka tidak sia-sia hidupnya (mati sengsara). Tetapi, ada hal yang berbeda. Jika `Sang Bapak` menolong anaknya dengan cara-cara yang tidak benar (melalui praktek-praktek KKN walaupun peringkatnya ke-11.217), tidak demikian halnya dengan `Sang Ibu`. Dalam hal ini seandainya ada pengorbanan adalah pengorbanan yang mengarah pada hal-hal yang negatif, yaitu penyalahgunaan jabatan yang merugikan orang lain. Pada `Sang Ibu` tidak demikian. Di sini `Sang Ibu` menolong anaknya dengan pengorbanan nyawa. Demi anaknya ia harus melakukan `sesuatu` (tentu saja sangat terhormat), antara membunuh dan terbunuh. Seandainya, ia membunuh pun tidak ada dosa karena ia dalam posisi terjepit. Begitupun kalau terbunuh, dalam agama ia terhitung mati syahid karena membela keturunannya dari cengkeraman musuh merupakan ibadah.
Dilihat dari sisi manapun `sang ibu` yang membela mati-matian anak putrinya dari cengkeraman manusia berhati binatang merupakan tanggung jawab yang mulia. Sedangkan `sang bapak` yang demi menjaga keturunannya dan kehormatannya terpaksa melakukan korupsi merupakan tanggung jawab yang dilumuri kehinaaan. Boleh juga, kalau bisa dikatakan, tanggung jawab yang tidak mulia atau tanggung jawab yang dinodai oleh kehinaan. Sebagai penutup coba kita renungkan tulisan sang anak yang kecewa dengan perilaku sang bapak yang korup yang dikutip dari Potret Pembangunan dalam Puisi/WS Rendra,1993:60—61.
Ayah berkata: “Santai, santai!”
tetapi sebenarnya ayah hanyut dibawa arus jorok keadaan. Ayah hanya punya kelas, tetapi tidak punya kehormatan. Kenapa ayah berhak mendapat kemewahan yang sekarang ayah miliki ini? Hasil dari bekerja? Bekerja apa? Apakah produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi? Seorang petani lebih produktif daripada yah.
Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata. Ayah hanya bisa membuat peraturan. Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa Ayah tidak produktif melainkan destruktip. Namun toh ayah mendapat gaji yang besar! Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan? Tidak pernah, bukan? Terlalu berisiko, bukan? Apakah aku harus mencontoh ayah? Sikap hidup ayah adalah pendidikan bagi jiwaku. ………………………………………………………. |