Subagio S. Waluyo

Kereta Berangkat Senja

Kurnia JR

Stasiun nampak sunyi karena bukan hari libur. Perlahan-lahan kereta berderak menyeret kenangan yang merambat pergi bersama waktu. Kuharapkan gerimis atau cuaca murung.  Tetapi langit justru lembayung – matahari masih membekaskan keremangan di ufuk. Angin berkesiur lewat jendela.  Kereta tak penuh.  Aku bisa menganjurkan kaki ke bangku di mukaku.  Roda-roda besi menderas di atas rel terasa menggilas karat-karat di hatiku.

Gedung-gedung tampak sunyi di luar, terlebih-lebih ketika malam telah meliputi bumi.  Gelap.  Kereta sesekali berhenti untuk memberi kesempatan kereta dari arah yang berlawanan melintasi rel tunggal.  Pada saat-saat menanti seperti itu aku merasa ditindih beban berat di punggung.  “Let  it Be…”,  entah dari mana, The Beatles melantun ke hati. Tapi tak bisa!  Bayang-bayang terus menguntit, tak sudi melepaskan aku barang sedetik pun untuk menjadi tenteram.  Keteduhan biara dan janji-janji pada Tuhan kini telah silam dari kehidupanku, bagai tak pernah ada.  Tahun-tahun berlalu tanpa membekaskan apa-apa.  Sakramen-sakramen dan doa-doa kudus mengering dari hatiku dan bibirku.  Pada kaca jendela kereta terlukis hantu lama dari lubuk hati; rumah Tuhan Yang Maha Agung tapi memerihkan hati.  Jiwa tandus, Tuhan – itulah sebagian dari kata-kata lama yang pernah terucap dalam kehidupanku dan kini tak ada lagi.  Aku menikah.

Keputusan itu telah menghancurkan seluruh rencana bagi riwayat hidupku sejak ayah memberiku nama.  Meskipun demikian, aku sama sekali tak merasakan bahwa kejadian tersebut cukup luar biasa.  Pada mulanya aku bimbang sesaat, memilih-milih, lalu memutuskan.  Namun, akibatnya sungguh di luar perkiraan.  Batinku dilanda perang besar menghadapi tuntutan pertanggungjawaban yang menekan.  Aku sama sekali tak menyangka, demi Tuhan, bahwa jauh di sudut hatiku yang gelap bersemayam sejenis persengkolan yang menciptakan huru-hara dalam batinku, yang memburuku menuntut  sumpah suci pada biara!

“Kau bertanggung jawab sepenuhnya pada diri dan kehidupanmu sendiri, Nak,” kata Guru. “Kau pula toh yang memikul segenap konsekuensi pilihanmu.”

Aku tak berkata apa-apa, begitu juga hatiku.  Lahir batin, aku membisu, tidak pula berpikir.  Tak menyanggah ataupun membenarkan kata-katanya.  Aku hanya menunduk seolah merenung, padahal kepalaku kosong, hampa.

Tahukah Anda bagaimana aku mengambil pilihanku? –ingin juga kukemukan kalimat itu padanya.  Tapi hatiku tak bergerak.  Guru yang tua itu agaknya menafsirkan kebungkamanku sebagai tanda selesainya pertemuan kami, entahlah.

Selanjutnya aku hidup damai dengan peristiwa-peristiwa biasa.  Merencanakan kehidupan bersama serta anak-anak, dan seterusnya.  Hari-hariku menjadi teratur dan jadwal ke-giatan bersiklus bulanan, tak lagi harian atau tahunan sebagaimana sebelumnya biasa kujalani. Biaya-biaya dianggarkan secara teratur dan pengeluaran pun harus selalu diperhitungkan.Tetapi aku menerimanya sebagai sesuatu yang wajar dan semestinya.Semuanya kujalani tanpa kejutan atau luka, sampai Tuhan menegurku dengan cara-Nya sendiri pada suatu saat: suatu kecelakaan dan rumah tanggaku hancur.

…………………………………………………………………………………………

***

Kesan apa yang timbul setelah kita membaca potongan cerita pendek (cerpen) di atas?  Apakah ada nilai-nilai estetikanya? Untuk pertanyaan kedua ini kita bisa secara pasti mengatakan: ada!  Untuk itu, mari kita telaah kata-kata dan kalimat-kalimat yang menunjukkan adanya nilai-nilai estetika pada potongan cerpen tersebut.

Potongan cerpen tersebut sebagaimana dikomentari oleh Korrie Layun Rampan, ketika diminta komentarnya tentang cerpen tersebut, sebagai cerpen yang lebih berupa cerpen esei daripada cerpen dalam arti konvensional, yaitu cerpen yang lebih cenderung berkisah.  Untuk menelaah cerpen yang cenderung berkisah dibutuhkan ketajaman imajinasi kita.  Di samping itu, juga diperlukan pemahaman filsafat yang mendalam.  Tentu saja, sebagai pelengkap, kita perlu pandai-pandai menangkap bahasa simbolik yang terkandung pada setiap kata, frase, atau kalimat.

Pada paragraf pertama saja kita dapati ada empat buah kalimat yang menunjukkan kepiawaian penulis cerpen dalam mengungkapkan kalimat-kalimat yang memerlukan kerutan dahi seperti terlihat pada contoh berikut ini.

1) Perlahan-lahan kereta berderak menyeret kenangan yang merambat pergi bersama waktu.         

2) Kuharapkan gerimis atau cuaca murung.

3) Tetapi langit justru lembayung –  matahari masih membekaskan keremangan di ufuk.

4) Roda-roda besi menderas di atas rel terasa menggilas karat-karat di hatiku.

Pada keempat kalimat di atas, terutama pada bagian-bagian kalimat yang bergaris bawah, penulis menggunakan bentuk personifikasi yang terasa enak untuk dinikmati.  Coba saja kita uraikan, pada butir 1) penulis menggambarkan kereta api berjalan demikian perlahan karena baru saja berangkat dari sebuah stasiun.  Jalannya kereta api yang demikian perlahan itu seirama dengan berlalu-nya kenangan demi kenangan yang terlintas di benak penulis.  Kemudian pada butir 2) penulis mengharapkan suasana yang demikian sepi itu selayaknya disertai dengan gerimis atau cuaca murung (cuaca gelap manakala gerimis), ternyata pada butir 3) justru sebaliknya, matahari masih bersinar meskipun sinar itu telah meredup sehingga masih tersisa keremangan di ufuk barat.  Di penghujung akhir paragraf pertama ini penulis seperti yang terlihat pada butir 4) sekali lagi mengungkapkan betapa suara-suara roda-roda yang bergerak di atas kereta api itu diibaratkan sesuatu yang membuat pilu hatinya selama ini.

Penulis cerpen tersebut telah berhasil melakukan prolog melalui paragraf pembuka yang ditampilkan dengan kalimat-kalimat yang penuh dengan simbol bahasa.  Ia telah berhasil mengajak kita berimajinasi atau membayangkan yang dirasakan penulisnya.  Sejak awal kita diajak penulis cerpen untuk membayang- kan stasiun yang sunyi, kereta yang bergerak perlahan, cuaca yang menjelang sore hari, kereta api yang kosong, dan bunyi derit roda kereta api yang seolah-olah menyayat hatinya.  Suasana yang ditampilkan adalah suasana kesunyian sebagaimana juga terlihat pada paragraf kedua (yang juga merupakan paragraf pembuka).  Ia masih menampilkan gedung-gedung di sekitarnya yang tampak sunyi karena sudah tidak ada lagi aktivitas di gedung-gedung itu.  Kereta yang sesekali berhenti di stasiun kecil, karena harus menunggu kereta api yang lewat dari arah yang berlawanan, memberikan beban berat bagi si Aku akibat begitu banyaknya kenangan pahit yang tidak bisa dihilangkan, yang mengakibatkan ia tidak memperoleh ketenangan.

Tapi tak bisa! Bayang-bayang terus menguntit, tak sudi melepaskan aku barang sedetik pun untuk menjadi tenteram.

Ia bukan saja merasa tidak tenang, tetapi juga mulai tidak percaya pada agamanya karena … Keteduhan biara dan janji-janji Tuhan kini telah silam dari kehidupanku, bagai tak pernah ada…. sehingga wajar-wajar saja kalau tempat ibadahnya selama ini, yang digambarkan sebagai rumah Tuhan, seperti …hantu lama dari lubuk hati …. Dengan demikian, si Aku merasa jiwanya tandus.  Sebagai salah satu solusinya, dalam rangka menghadapi kemelut tersebut, ia memutuskan untuk menikah.

***

Padamu Jua

                    Amir Hamzah

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu – bukan giliranku

Mati hari – bukan kawanku …

                             (Nyanyi Sunyi, 1959:5)

Puisi di atas menggambarkan betapa manusia pada akhirnya harus kembali kepada Tuhannya karena hanya Tuhan yang memberi kedamaian dan kebahagiaan. Manusia yang mencari selain Tuhan ia tidak akan memperoleh cahaya.  Dengan kata lain, ia akan memperoleh kegelapan seperti orang buta yang meraba-raba mencari benda-benda di sekitarnya.  Karena itu, cahaya Tuhan demikian berharga buat manusia dia diibaratkan sebagai:

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Jadi, cahaya Tuhanlah yang  membuat manusia rindu untuk kembali kepada-Nya.

Sebuah pengakuan memang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menyatakan kelemahannya.  Namun, manusia yang ingin menyampaikan pengakuannya tidak bisa langsung berjumpa dengan Tuhan meskipun pada akhirnya ia akan rindu ingin bertemu dengan Tuhan. Ia rindu akan rasa dan rupa Tuhan.  Kerinduan ini sebenarnya merupakan hal yang wajar saja seperti Nabi Musa yang dituntut oleh umatnya (bangsa Yahudi) agar dipertemukan dengan Tuhannya.  Manusia merindukan Tuhan dalam bentuk aslinya karena Tuhan memang tidak akan memperlihatkannya pada manusia.  Kalau Ia menampakkan-nya berarti Tuhan memiliki sifat-sifat kelemahan.  Untuk itu cukup dengan firman-firman-Nya yang wajib diimani oleh manusia.  Biar saja manusia merasa rindu akan rasa dan rupa Tuhan.  Kalau ia ingin berdialog dengan Tuhannya, cukup dengan berdialog lewat firman-firman-Nya:

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

 

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Apakah dengan demikian Tuhan memiliki kecemburuan pada manusia karena Tuhan seolah-olah merahasiakan keberadaannya?  Kalau sifat itu terjadi pada Tuhan, sama saja Tuhan itu manusia.  Kalau Tuhan sama dengan manusia, berarti Tuhan juga punya banyak kelemahan.  Mustahil kalau Tuhan yang Maha segala-galanya memiliki kelemahan.  Untuk itu, kita tidak bisa menerima bait berikut ini.

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Kita tidak bisa menerima kalau Tuhan dipersonifikasikan sedemikian rupa karena mana mungkin Tuhan punya sifat cemburu? Kalau Tuhan cemburu, berarti Tuhan juga memiliki sifat iri/dengki.  Kalau sifat itu terjadi pada Tuhan, apakah tidak mustahil tidak ada bedanya Tuhan dengan manusia? Apakah Tuhan juga ganas?  Kalau Tuhan ganas, perlu kita pertanyakan: di mana sifat rahman dan rahim-Nya? Seandainya, ada orang yang mengatakan bahwa ia orang yang paling menderita karena hukuman Tuhan, perlu dipertanyakan bukankah sebaliknya bahwa bencana apapun yang diderita manusia lebih merupakan pekerjaan manusia juga? Rusaknya alam sekitar kita (lingkungan hidup) bukankah karena ulah manusia?  Kalau memang itu semua merupakan ulah manusia, mengapa Tuhan disalahkan sehingga dengan demikian mudah mengatakan bahwa Tuhan itu ganas seperti yang tercantum pada bait puisi di atas?

Kita juga tidak bisa menerima kalau Tuhan seperti seekor kucing yang mempermainkan buruannya. Pada bait puisi di atas misalnya tertulis di sana Mangsa aku dalam cakarmu/Bertukar tangkap dengan lepas.  Pernyataan tersebut mencerminkan bahwa Tuhan mempermainkan manusia, yang karena cemburu dan ganasnya, menjadikan manusia sebagai buruan yang demikian mudah untuk dipermainkan.  Sekali lagi, ini merupakan salah satu kelemahan Amir Hamzah selaku penulis puisi yang membuat permisalan seperti itu. Selain itu, kita juga menemukan pada bait berikut yang menunjukkan kelemahan Tuhan.

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai

Kelemahan Tuhan tercermin dari baris terakhir, yaitu Serupa dara di balik tirai yang artinya Tuhan dipersonifikasikan sebagai manusia yang mengintip-intip pekerjaan manusia.  Mengapa Tuhan harus berperilaku demikian?  Bukankah Ia Maha Melihat dan Maha Mendengar?  Kalau Ia harus mengintip-intip untuk mengetahui apa saja yang dilakukan manusia, berarti Ia memiliki kelemahan.  Atau pekerjaan mengintip itu merupakan kompensasi dari cemburunya Tuhan melihat perilaku hamba-Nya sebagaimana tercantum pada bait sebelumnya?  Kalau itu yang terjadi, jelas kita tidak bisa menerimanya karena Tuhan mustahil punya sifat cemburu.  Dengan demikian, dua bait pada puisi tersebut harus kita kritisi karena Tuhan tidak bisa dipersonifikasikan seperti itu.

Bait terakhir pada puisi “Padamu Jua”  yang berbunyi:

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu – bukan giliranku

Mati hari – bukan kawanku

mengingatkan kita pada puisi Chairil Anwar yang pernah kita kutip pada Bab I (Pendahuluan), yaitu: 

 

Tuhanku

di pintu-Mu aku mengetuk

Aku tidak bisa berpaling

(DOA)

yang mengisyaratkan bahwa manusia pada akhirnya memang harus kembali pada Tuhannya. Ia harus kembali kepada Tuhannya karena hasil pengembaraan- nya selama ini tidak banyak membawa hasil.  Di sisi lain, manusia memang bisa memperoleh apa saja yang ia inginkan di dunia ini yang semata-mata untuk memuaskan batinnya.  Tetapi, pada akhirnya ia mengalami kesunyian hidup. Baik, Amir Hamzah maupun Chairil Anwar, bahkan semua manusia, sepakat bahwa kesunyian hidup ini hanya bisa diisi dengan mengembalikan semua itu pada Tuhan.  Ini merupakan salah satu bukti betapa manusia sangat bergantung pada Tuhan di manapun ia berada.

***

Secara keseluruhan puisi tersebut mencerminkan betapa indahnya ide/konsep yang ingin disampaikan Amir Hamzah meskipun di sana-sini kita masih banyak melihat betapa lemahnya penyair menggambarkan sifat-sifat Tuhan. Penyair ingin menyampaikan bahwa (1) manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan biar bagaimanapun memerlukan kehadiran Tuhan dan (2) manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab di manapun manusia itu berada pada akhirnya ia akan kembali pada Tuhan.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *