Subagio S. Waluyo
Tak bisa kupungkiri memang, beberapa hari ini aku terus mencoba menentramkan jiwa, menyelimuti kalbu yang mulai tertoreh. Menutupi kegelisahan yang aku sendiri tak memahaminya. Aku melangkah setapak, namun kalut itu masih ada. Kembali ku gelengkan kepala, berharap bayangan yang tak berwujud itu segera hilang meninggalkan diriku. Aku menjerit pelan ” Pergilah, aku mohon…” . Terasa ruang ini begitu sempit. Padahal sebelumnya aku sangat mencintai ruang ini, disinilah tempatku menghilangkan jenuh hari-hariku, melepaskan gerutuan yang kudapat dijalanan. Kini, ia tak berarti apa-apa. Seolah ada tempat lain yang lebih nyaman bagiku, dan aku bisa tenang disana. Yup, jelas tempat itu memang ada, Firdaus Nya. Lantas, apa saat ini detik penantian itu sudah dekat? Rabb, hatiku memang gelisah, tapi aku tidak ingin mengahdapMu dalam kondisi seperti ini.
(“Butir Kegelisahan”/Cerpen dari Gadis Intifadhah)
***
Seorang ibu rumah tangga mengeluhkan tentang anaknya yang gagap jika berbicara. Anaknya sejak berumur lima tahun sangat sulit untuk menyebut kata-kata yang dimulai dengan huruf `s` seperti mengucapan kata `saya` yang terasa sulit sehingga diucapkan “…ssssa-sa-saya….“ Ibu tersebut gelisah jika sampai dewasa nanti anaknya akan gagap seperti itu karena sudah banyak cara yang dilakukan tidak banyak membawa hasil.
Ibu rumah tangga lainnya juga mengeluhkan tentang penyakit anaknya yang `aneh`. Dikatakan `aneh` karena anak pertamanya (ibu tersebut mempunyai dua anak, anak pertama berusia sembilan tahun sedangkan yang kedua baru berumur setengah tahun) yang baru dua tahun lalu menggunakan kacamata minus setengah dengan silindris ringan, ternyata sekarang anak itu didapati sering menggosok-gosok matanya. Anaknya juga mengaku kalau akhir-akhir ini penglihatannya buram. Sang ibu merasa gelisah kalau anaknya akan mengalami kebutaan karena kelainan retina.
Ada lagi keluhan yang disampaikan seorang ibu rumah tangga. Keluhan sang ibu rumah tangga ini tidak berhubungan dengan kesehatan fisik anaknya melainkan berhubungan dengan wajah anaknya. Ia mengeluhkan kalau wajah anaknya sama dengan wajah pembantunya. Ia juga mengakui kalau anaknya justru lebih dekat dengan pembantunya daripada ibunya. Ibu ini gelisah jika sampai besar nanti wajah anaknya tidak menyerupai, baik ibu mapun bapaknya. Bahkan, lebih dari itu seandainya sang anak menganggap ibunya selama ini adalah pembantu rumah tangganya.
Masih banyak lagi keluhan yang disampaikan ibu-ibu rumah tangga tentang anaknya. Belum lagi keluhan-keluhan lainnya yang berhubungan erat dengan kehidupannya di rumah tangga. Belum lagi keluhan dari bapak-bapak di seputar tempat kerjanya atau juga di rumah tangga. Belum lagi keluhan dari anak-anak remaja atau orang-orang dewasa yang masih lajang. Jadi, demikian banyak orang yang mengeluhkan permasalahannya yang belum juga bisa mereka selesaikan sehingga muncullah berbagai macam bentuk kegelisahan.
Manusia hidup memang tidak akan mungkin menghindari kegelisahan. Justru dengan adanya kegelisahan itu menunjukkan bahwa kita selaku manusia masih hidup karena kehidupan itu sendiri selalu menyajikan berbagai peristiwa dan pengalaman.Tidak semua peristiwa dan pengalaman yang kita rasakan itu mengenakkan.Tidak sedikit peristiwa dan pengalaman yang kita temukan justru tidak mengenakkan, menegangkan, dan menekan. Tidak sedikit pula orang yang dikuasai dan menjadi korban kegelisahan yang dalam istilah psikologi disebut sebagai anxiety complex (Mangunhardjana, 1987:7).
***
Kegelisahan memang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia modern yang terkadang tidak bisa diselesaikan. Jika kegelisahan itu tidak bisa diselesaikan akan menimbulkan penyakit-penyakit sosial lainnya. Peristiwa Mei 1998 yang ditandai oleh berbagai macam bentuk kerusuhan sosial boleh jadi merupakan salah satu luapan kegelisahan manusia mengingat pada waktu itu nilai tukar rupiah yang demikian rendahnya. Hal itu berakibat pada inflasi yang ditandai dengan membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok yang tentu saja tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat kecil. Menghadapi hal itu mereka menjadi gelisah. Kegelisahan itu terealisasi dalam bentuk penjarahan, tindakan vandalis, dan anarkis. Potongan kisah di bawah ini menggambarkan seorang WNI keturunan Cina (Pheng Hwa) yang merasa gelisah karena dengan identitas dirinya. Ketika ia baru saja pulang dari luar negeri, kegelisahan itu semakin menjadi-jadi karena tidak ada seorang pun anggota keluarganya yang bisa dihubungi. Boleh jadi anggota keluarganya pada waktu itu menjadi korban kerusuhan (entah keluarganya telah menjadi korban atau mengungsi). Namun, yang pasti kegelisahan telah menghinggapi sebagian besar WNI keturunan (terutama Cina) karena di antara mereka banyak yang menjadi korban kerusuhan Mei 1998.
PANGGIL AKU: PHENG HWA
Veven Sp Wardhana
Sejarah telah menyeretku menjadi bunglon: cepat berganti nama begitu ber-pindah tempat hinggap. Ada saatnya kukenalkan diriku sebagai Pheng Hwa, ada masa-nya kusebutkan namaku sebagai Effendi Wardhana, sebuah nama sebagaimana tertulis di KTP, atau menurut istilah kami sering disebut sebagai nama pemberian negara.
Karena aku dan keluargaku tinggal di kota kawedanaan, sementara komunitas waniktio1) tidak begitu banyak, sekalipun orang terbiasa memanggilku Pheng Hwa, atau Ping An jika itu sudah sangat akrab, toh saat ke kantor polsek atau instansi pemerintah aku harus menyebutkan nama pemberian negara itu.
Lama-lama, bukan hanya pada kantor resmi itu harus kusebutkan nama KTP itu. Pada kawan sekolah lanjutan di kota kabupaten, pada rekan sekolah di Yogya, pada sesama karyawan di perusahaan tempatku bekerja di Jakarta pun nama yang sama dengan yang di KTP itulah yang kuperkenalkan. Lalu, aku pun kemudian jadi terbiasa dengan nama Effendi Wardhana, sementara kalau ada yang memanggilku Pheng Hwa, bahkan dulu terkadang singkek 2 kuping jadi mendadak gatal.
…………………………………………………………………………………………………..
Di negeri asing ini, dengan nama Pheng Hwa atau Effendi Wardhana, aku tak lagi merasa asing atas diriku sendiri sebagaimana yang selama ini diam-diam menye-linap dan mengendap dalam benak.
Aku tak lagi menggubris aku akan dipanggil dengan nama apa, toh, aku sudah tidak lagi merasa ngumpet – entah dari apa – jika harus menyebutkan nama pemberian negara itu. Juga aku tak lagi perlu merasa khawatir – entah karena apa – jika kemudian ada yang memanggilku pakai nama waniktio itu.
Aku merasa baru terlahir kembali.
Ada perasaan plong macam itulah aku kini pulang kembali ke Tanah Air, ke Jakarta, menyusul istriku yang sudah pulang lebih dulu enam bulan sebelumnya.
Saat mendarat di Cengkareng, hari sudah hampir pagi. Menjelang melewati meja pemeriksaan paspor, aku mencium gelagat aneh. Entah apa.Petugas imigrasi yang memeriksa paspor pun perlu menatapku dengan tajam, sambil bercampur rasa penasar- an. Entah pula karena apa. Sambil menunggu bagasi, aku mencari telepon umum dan menelpon ke rumah, mengabarkan pada istriku bahwa aku sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Di seberang tak ada yang mengangkat telepon. Kuulang lagi menelpon rumah dengan nomor satunya. Tetap saja tak ada yang mengangkat di seberang sana.
Sabuk bagasi terus berputar dan satu persatu tas mulai diturunkan. Kucoba kuulang menelpon. Hampa.
Setelah kuambil beberapa tasku dan kutumpuk di atas troli, aku beranjak menuju jalan keluar.
“Ada keluarga yang menjemput?” tanya petugas di pintu keluar sambil meng-ambil tiket bagasiku. Aku tak sempat menjawabnya karena mataku segera kuedarkan ke deretan para penjemput di serambi itu. Sama sekali aku tak menemukan istriku atau keluarga yang lain. Yang kulihat adalah banyaknya orang berdesak-desak tidur di sem-barang tempat. Ah, kenapa suasana bandara ini malah seperti stasiun kereta api di Senen atau Gambir?
Kucoba lagi menelpon ke rumah. Yang terdengar tetap nada sambung, tapi tetap juga di seberang sana tak ada yang mengangkatnya.
Berulang-ulang kucoba lagi menelpon lewat telepon umum di sebelahnya, di sebelahnya lagi, di sebelahnya lagi. Tetap tak ada yang mengangkat.
Tak ada pula sopir taksi yang menawarkan jasanya. Tak ada mobil lalu lalang di jalanan seberang. Aku makin merasakan bahwa aku sedang tidak berada di wilayah bandara.
Ternyata, bukan hanya aku yang gagal mengontak telepon ke rumah. Para penelpon lainnya juga mengeluhkan hal yan sama:jika tidak ada yang mengangkat, justru telepon di seberang sedang on-line.
Diam-diam aku teringat pada film The Philadelphia Experiment 12 yang pernah kutonton entah berapa tahun lewat. Buru-buru kucari seorang petugas.
“Tahun berapa sekarang ini?” tanyaku pada seorang petugas.
Tampaknya pertanyaanku dianggap ganjil. Tahun berapa? Pastilah petugas itu menganggap aku terguncang oleh jetlag yang sangat luar biasa.
“Sekarang tanggal 15 Mei,” jawabnya menegas-negaskan, seolah sekalian meralat pertanyaanku.
“Ya, tapi tahun berapa?” sergahku. Dan bukan hanya petugas itu yang kini menunjukkan raut wajah penuh rasa heran. Orang-orang di sekeliling yang kebetulah mendengar pertanyaanku yang tampaknya cukup keras itu bahkan menampakkan ekspresi yang menuduh bahwa aku adalah orang sinting.
“Tahun berapa sekarang?” tanyaku pada orang di sampingku. Raut muka yang kutanya itu mengkerut. Aku tafsirkan di sedang bertanya mengenai diriku.
“Panggil saja nama saya: Pheng Hwa. Saya benar-benar tidak bertanya soal jam, hari, atau tanggal. Tapi, tahun! Tahun berapa sekarang?”
Catatan:
1. Waniktio kependekan dari warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.
2. Singkek, sebutan untuk Tionghoa totok.
(Kumpulan Cerpen Kompas 1999 Derabat, 1999:159 – 160; 163 – 165)
Gambaran kegelisahan sudah ditampakkan ketika penulis baru saja memulai sebuah ceritanya (Sejarah telah menyeretku menjadi bunglon: cepat berganti nama begitu berpindah tempat hinggap.) karena Effendi Wardhana (pelaku utama dalam cerpen itu) adalah WNI keturunan Cina (nonpribumi). Karena itu pula, ia sebagai waniktio harus menjadi bunglon dengan mengubah-ubah nama. Dengan demikian, sebagai manusia yang seharusnya bisa hidup sewajarnya dengan menggunakan satu nama,tampaknya ia harus pandai-pandai mengganti namanya setiap saat. Pergantian nama sangat bergantung pada tempat, situasi, dan kondisi.
Pheng Hwa atau Effendi Wardhana sebagai WNI yang sebenarnya sudah merasa Indonesia adalah tanah airnya justru harus berganti-ganti nama. Dengan berganti-ganti nama sebagai manusia yang ingin menikmati udara kebebasan sebagaimana manusia Indonesia lainnya, ia sebenarnya menderita karena selalu dihantui kegelisahan. Kegelisahan itu bukan saja dari keharusan gonta-ganti nama yang sudah jelas-jelas merepotkannya, tetapi juga faktor keturunan yang melekat pada dirinya.
Tampaknya, faktor keturunan bagi sebuah negara yang dalam undang-undangnya tidak membeda-bedakan kedudukan dan status warga negaranya pada kenyataannya tidak demikian. Kenyataan menunjukkan setiap kali ada kerusuhan meskipun tidak melibatkan kalangan nonpribumi, tetap saja mereka menjadi korban. Salah satu bukti bisa dilihat di banyak tempat ketika terjadi kerusuhan bertebaran tulisan besar-besar di toko-toko (entah siapa yang punya) seperti `milik pribumi`, atau `pribumi Muslim`. Berarti ada kesan bahwa setiap kali ada kerusuhan pasti diwarnai dengan SARA sehingga banyak kalangan non-pribumi yang pada akhirnya menjadi bunglon dengan menyebut dirinya sebagai `pribumi` atau masih diembel-embeli dengan kata `Muslim` di belakangnya. Jadi, mereka bukan saja telah menggonta-ganti nama tetapi juga menyebut dirinya sebagai `pribumi` atau `pribumi Muslim`. Bahkan, tidak mustahil di KTP-nya pun kalau memungkinkan, mereka mengganti agamanya meskipun agama yang dipeluknya tidak sesuai dengan yang tercantum di KTP. Perilaku seperti itu jelas menggambarkan sosok perilaku manusia yang dihantui kegelisahan. Kalau mereka tidak gelisah, tidak mungkin mereka mau berbuat seperti itu.
Salah seorang di antara mereka yang juga mengalami kegelisahan adalah Pheng Hwa alias Effendi Wardhana. Kegelisahan Pheng Hwa bukan saja tampak dari kerap kalinya penggantian nama, tetapi juga ketika ia baru saja pulang dari luar negeri. Ketika baru saja sampai di Bandara Soekarno-Hatta ia berupaya menghubungi istrinya di Jakarta. Ternyata, berkali-kali ia menelpon istrinya, berkali-kali pula tidak ada yang mengangkat telpon di rumahnya meskipun tetap ada nada sambung. Kegelisahannya semakin bertambah manakala ia melihat di seputar bandara banyak orang yang berdesakan tidur di sembarang tempat (mereka yang sementara mengungsi ke luar negeri karena takut menjadi korban kerusuhan). Puncak dari kegelisahan terjadi ketika ia menanyakan pada petugas bukan hari, tanggal, atau bulan melainkan tahun (“Tahun berapa sekarang ini?”). Jelas, bertanya tentang tahun merupakan sebuah pertanyaan yang aneh. Karena demikian gelisahnya (yang terkadang manusia menjadi panik dan tidak bisa mengendalikan diri) ia minta dipanggil `Pheng Hwa` (Panggil saja nama saya: Pheng Hwa.) yang justru nama tersebut jarang digunakan di negaranya sendiri apalagi dalam situasi yang pada saat itu tidak menguntungkan buat orang seperti dia.
***
Kegelisahan bukan saja terjadi pada kehidupan manusia. Kegelisahan juga bisa terjadi pada kehidupan bangsa.Tentang kegelisahan kehidupan bangsa juga terekam dalam karya-karya sastra Indonesia. Tentang kegelisahan kehidupan bangsa (yang dikaitkan dengan masa depan bangsa) bisa dilihat pada puisi Taufik Ismail (1998: 87 – 89) di bawah ini.
KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU
kepada Kang Ilen
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya.
Kembalikan
Indonesia
padaku.
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam,yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentukanya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,yang menyala bergantian.
Kembalikan
Indonesia
padaku.
Paris, 1971.
Empat puluh sembilan tahun yang lalu, ketika puisi ini ditulis, kondisi Indonesia memang jauh berbeda dengan sekarang. Kita pada waktu itu dengan jumlah penduduk seratus juta baru saja melaksanakan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) Pertama. Sebagai negara yang baru saja terjadi penggantian kekuasaan ( empat tahun) dari Soekarno ke Soeharto, kondisi Indonesia benar-benar masih memprihatinkan karena ekonomi negara kita memang belum sehat benar. Keprihatinan ini direkam oleh Taufik Ismail. Dengan ketajaman imajinasinya ia membayangkan kondisi bangsa Indonesia di masa depan. Mengapa ia bisa membayangkan demikian jauh yang akhirnya melahirkan puisi di atas?
Sebagai penyair, Taufik telah melihat adanya berbagai gejala yang akan muncul di masa depan. Peralihan kekuasaan sebenarnya bukan saja terjadinya peralihan orang yang berkuasa, tetapi juga terjadi peralihan kebijaksanaan negara. Artinya, kalau di masa Soekarno Pemerintah Indonesia pada waktu itu lebih cenderung mengedepankan pembangunan politik, di masa Soeharto lebih cenderung mengedepankan pembangunan ekonomi. Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, karena kondisi ekonomi Indonesia pada waktu itu masih morat-marit, terpaksa Indonesia meminta bantuan dari negara-negara kaya. Dengan meminta bantuan pada negara-negara kaya, berarti mulai saat itu Indonesia berhutang pada negara-negara tersebut.
Taufik melihat adanya gejala yang tidak sehat, yaitu mentalitas bangsa kita yang belum siap melaksanakan pembangunan ekonomi. Salah satu tanda ketidaksiapannya adalah masih adanya penyakit aji mumpung yang berakibat pada penyelewengan anggaran pembangunan yang justru sebagian besar anggaran itu diperoleh dari pinjaman. Kalau bisa dikatakan, mulai saat itu sudah muncul penyakit KKN yang jauh lebih hebat daripada di masa sebelumnya. Apa yang akan terjadi jika penyakit itu muncul? Melihat gejala yang nantinya merusak kehidupan bangsa, Taufik merasa gelisah. Kegelisahan itu ditampakkan Taufik pada puisi di atas ketika pada saat itu bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang miskin karena demikian banyak di antara mereka yang kelaparan. Mereka kelaparan (penyakit kemungkinan kurang makan atau KKM) karena pada saat itu negara telah bangkrut. Yang bisa menikmati pembangunan hanya sebagian kecil. Sebagian besar rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, Indonesia ke depan adalah Indonesia yang kelabu (suram) seperti diibaratkan dalam bait puisinya Hari depan Indonesia adalah bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian. Jadi, hari depan Indonesia dikiaskan sebagai bangsa yang terkadang terang (walaupun terangnya hanya 15 wat) dan terkadang gelap.
***
Lingkungan hidup Indonesia ke depan adalah lingkungan hidup yang rusak karena telah dilakukan pengurasan sumber daya alam (SDA) habis-habisan tanpa memikirkan akibatnya. Lingkungan itu bertambah rusak lagi manakala asap industri mengganti lahan-lahan pertanian. Berdirinya ribuan pabrik dan berakibat pada kegaduhan karena saat itu masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat industri. Masyarakat industri adalah masyarakat yang sibuk siang-malam bekerja bersama mesin pabrik yang terus berputar. Bukan hanya itu, kebijakan pemerintah yang lebih memusatkan pembangunan di Pulau Jawa akan berakibat pada penumpukan penduduk di pulau tersebut sehingga dikhawatirkan tidak ada keseimbangan karena sebagian besar penduduk Indonesia menumpuk di Pulau Jawa. Untuk itu, Taufik dengan mencurahkan kegelisahannya melalui puisi di atas mengajak kita untuk merenungkan kondisi bangsa Indonesia di masa depan.