Subagio S. Waluyo

RAKYAT BERGERAK 

Fadli Zon

ketika keadilan diinjak-injak

kebenaran makin terkoyak

di mana kau berpijak?

 

ketika kecurangan meruyak

suara rakyat dibajak

di mana kau berpihak?

 

negeri ini makin rusak

dipimpin penguasa congkak

pribumi tergusur jadi budak

komprador asing pesta merompak

 

bangunlah jiwa-jiwa merdeka

mendobrak tembok tirani

saatnya rakyat bergerak bersama

menjemput perubahan esok hari

(https://www.suara.com/news/2019/05/15/120549/isi-puisi-rakyat-bergerak-fadli-zon-keadilan-diinjak-injak)

***

Apa itu keadilan? Mengapa kita harus berbuat adil? Adakah orang atau tokoh yang dianggap adil? Bilamanakah keadilan bisa diwujudkan? Bagaimana cara kita menegakkan keadilan?  Pertanyaan-pertanyaan itulah yang perlu kita ajukan agar kita mengetahui bahwa keadilan memang sesuatu yang sampai saat ini sedang kita perjuangkan. Kita memang berkewajiban memperjuangkan dan menegakkannya karena keadilan sampai saat ini hanya sebatas ide-ide indah yang salah satu di antaranya tercantum dalam sila kelima Pancasila.

Apa itu keadilan? Sebuah pertanyaan sederhana.  Namun pertanyaan itu menggelitik kita untuk mencari jawaban.  Secara sederhana keadilan dalam KBBI (1999:7) didefinisikan sebagai sifat (dalam hal ini perbuatan, perlakuan, dan sebagaimana) yang adil.  Sedangkan kata adil yang melekat pada kata keadilan didefinisikan sebagai 1 tidak berat sebelah; tidak memihak ; 2 berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang.  Jadi, kata keadilan bisa berarti sifat yang:

  • tidak berat sebelah;
  • tidak memihak;
  • berpihak kepada yang benar;
  • berpegang pada kebenaran;
  • sepatutnya; atau
  • tidak sewenang-wenang.

Mengapa kita harus berbuat adil?  Kita harus berbuat adil karena (dengan mengacu pada butir-butir yang menunjukkan arti keadilan di atas) jika kita berat sebelah atau memihak kepada orang atau kelompok yang kuat (ekonominya, kekuasaannya), misalnya, akan terjadi berbagai macam bentuk kemungkaran.  Sebagai bukti bisa kita saksikan nanti tentang nasib negara kita di masa depan.  Akan seperti apa negara ini di masa yang akan datang kalau hutang-hutang luar negeri sudah demikian menumpuknya?  Apakah untuk menutupi APBN yang kerap kali defisit ditanggulangi dengan menaikkan BBM, TDL, atau PPN?  Siapa yang paling menderita dengan kenaikan-kenaikan tersebut?  Rakyat kecil, bukan?  Jika rakyat kecil yang selalu menjadi korban, bagaimana nasib bangsa ini yang sebagian besar adalah rakyat kecil? Bukankah defisitnya APBN salah satu di antaranya karena kita wajib membayar hutang yang kita tahu sendiri bahwa hutang negara yang demikian besar itu lebih merupakan warisan Rezim Orde Baru?  Siapa yang memanfaatkan hutang negara itu kalau bukan para penguasa dan konglomerat yang berkuasa pada waktu itu?  Mengapa mereka tidak diadili? Kalau mereka tidak diadili, apakah akan memberikan kebaikan buat bangsa ini atau sebaliknya? Pertanyaan-pertanyaan itu yang sampai sekarang ini tidak terjawab (dijawab dengan penegakan hukum bukan retorika hukum) yang berakibat pada munculnya berbagai macam bentuk kemungkaran.  Kemungkaran macam apa itu yang muncul saat ini?

Kemungkaran yang muncul saat ini beragam.  Tindakan anarkis, vandalis, dan main hakim sendiri yang berakibat pada ketidakamanan, ketidak-nyamanan, dan ketidaktenteraman merupakan bentuk kemungkaran. Tindakan masyarakat seperti itu lebih disebabkan oleh tidak tegaknya hukum di negara ini (hukum bisa diatur sedemikian rupa) sehingga Taufik Ismail pun merasa malu sebagai warga negara Indonesia.Ungkapan tentang itu terekam dalam bait puisi di bawah ini.

………………………………………………………………………

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

                                                                               (Taufik Ismail, 1998:19)

Jadi, akibat tidak tegaknya hukum terjadi perusakan akhlak. Bagaimana jika akhlak telah rusak?  Kita jangan berharap akan jadi apa negara ini.  Inilah alasan kita untuk menegakkan keadilan.

***

Pertanyaan berikut: adakah orang atau tokoh yang kita anggap adil saat ini?  Kita jawab singkat saja: tidak ada!  Mengapa tidak ada.  Tidak adanya orang atau tokoh yang adil karena memang orang atau tokoh yang kita duga akan bersikap adil, ternyata juga tidak bersikap adil.  Apakah kita bisa menyatakan bahwa penguasa A, penguasa B, pejabat X, pejabat Y, atau tokoh masyarakat P, Q, R, S itu adil?  Atau orang tua kita, bapak ibu kita, Bisakah dijadikan contoh teladan dalam hal keadilan?  Coba kita simak potongan  puisi di bawah ini yang memberikan jawaban atas pertanyaan: bagaimana sebenarnya (sebagian) orang tua kita dalam hal bersikap adil?

Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat di mejanya:

 “Ayah dan ibu yang terhormat,

aku pergi meninggalkan rumah ini.

Cinta kasih cukup aku dapatkan.

Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu.

Ya, aku menolak untuk mendewakan harta,

tetapi kehilangan kesejahteraan.

Bahkan kemewahan yang ayah punya

tidak juga berarti kemakmuran.

Ayah berkata: “Santai, santai!”

tetapi sebenarnya ayah hanyut

dibawa arus jorok keadaan.

Ayah hanya punya kelas,

tetapi tidak punya kehormatan.

Kenapa ayah berhak mendapat kemewahan yang sekarang

ayah miliki ini?

Hasil dari bekerja?  Bekerja apa?

Apakah produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi?

Seorang petani lebih produktif daripada yah.

Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata.

Ayah hanya bisa membuat peraturan.

Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan

          rakyat dari penguasa

Ayah tidak produktif  melainkan destruktip.

Namun toh ayah mendapat gaji yang besar!

Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan?

Tidak pernah, bukan?

Terlalu berisiko, bukan?

Apakah aku harus mencontoh ayah?

Sikap hidup ayah adalah pendidikan bagi jiwaku.

Ayah dan ibu, selamat tinggal.

Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya.”

(WS Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi, 1993:60-61)

Potongan puisi di atas mencerminkan suatu kenyataan: jauh api dari panggang. Artinya, (sebagian) orang tua kita ternyata melakukan hal-hal yang tidak terpuji meskipun semua yang dilakukan demi anak-cucu.  Seorang anak yang terpanggil hati nuraninya (dalam puisi tersebut diwakili oleh sang putra yang  mahasiswa) menulis surat.  Di surat itu ia menuangkan gejolak perasaan hatinya yang terpendam selama ini.  Ia menyampaikan bahwa ia tidak suka cara hidup kedua orang tuanya meskipun kemewahan hidup ia dapatkan. Ia mempersoalkan tentang status dan pekerjaan ayahnya yang hanya memiliki kelas tetapi tidak punya kehormatan karena seorang petani atau buruh jauh lebih terhormat dari pekerjaan orang tuanya.  Bahkan, dengan kasarnya ia mengatakan ayahnya tidak produktif melainkan destruktif meskipun memperoleh gaji yang besar.  Terakhir, ayahnya ternyata juga tidak pernah memprotes ketidakadilan karena ia sendiri terlibat dalam pusaran untuk menegakkan ketidakadilan.

 Sekarang, bagaimana dengan diri kita? Jangan-jangan kita sendiri justru tergolong orang yang tidak adil? Jadi, untuk saat ini kita hanya percaya bahwa orang atau tokoh yang adil baru ada pada para nabi dan rosul.  Di luar itu, jangan dicari (termasuk diri kita sendiri).  Dengan demikian, selama tidak ada orang yang bisa dijadikan contoh teladan sebagai orang atau tokoh yang adil, bilamanakah kita bisa mewujudkan keadilan? Rasa-rasanya sulit untuk mewujudkan keadilan selama belum ada tokoh yang dijadikan contoh teladan dalam menegakkan keadilan.  Tetapi, kita tidak boleh putus asa sehingga kita tidak berkeinginan untuk mewujudkan keadilan.  Untuk itu, kita pertama kali harus menegakkan keadilan buat diri kita dulu sendiri.  Bagaimana caranya?  Ini pertanyaan menarik yang perlu kita renungkan melalui sebuah puisi di bawah ini.

JANGAN

                              Sutardji Calzoum Bachri

kita dari akar yang sama

dari pohon sejrah yang sama

kita dari bangsa yang sama

dari kemanusiaan yang satu

maka

jangan berucap dengan peluru

jangan bergumam dengan dentuman

jangan berkata lewat batu

jangan sampaikan lewat pentungan

utarakanlah dengan mawar

dengan bijak tingkah lembut merdu

utarakanlah dengan sabar

asal dari nurani yang satu

                                                                        Mei 1998

***

Sutardji Calzoum Bachri melalui puisinya di atas mengajarkan kita cara bersikap adil kepada sesama kita, yaitu untuk tidak menggunakan bahasa kekerasan (entah dengan peluru, bom, batu, atau pentungan).  Tetapi, gunakan kelembutan (juga keindahan dan keharuman seperti mawar) dan kesabaran yang berangkat dari hati nurani manusia. Ia mengingatkan kita sekalian karena kita berasal dari akar yang sama, pohon sejarah yang sama, dan bangsa yang sama (yang lebih penting lagi adalah manusia yang memiliki rasa kemanusiaan), yaitu bangsa Indonesia. Singkatnya, kita mulai menegakkan keadilan (juga kebenaran) dengan menghindari kekerasan karena kekerasan tidak akan menghasilkan sesuatu yang terbaik.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *