Subagio S. Waluyo

A K U

Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku

Ku mau tak seorang `kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

 

Aku ini binatang jalan

Dari kumpulannya terbuang

 

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

 

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

 

Maret 1943

***

Puisi di atas bukan puisi yang asing lagi bagi kita. Puisi tersebut sudah kita kenal sejak di bangku SD karena guru-guru kita di SD sudah mengenalkannya pada murid-muridnya. Pada waktu itu guru-guru kita menyuruh murid-muridnya untuk membacakannya dan bila perlu dihafalkan agar bisa dideklamasikan. Kita pun bisa menyaksikan teman-teman kita (termasuk kita sendiri) dengan mimik muka yang dibuat-buat membacakan dan ada juga yang mendeklamasikannya.  Apakah pada waktu itu kita tahu isi puisi tersebut?  Rasa-rasanya, jika ada yang tahu, hanya beberapa murid.  Sebagian besar lebih cenderung untuk membaca dan mendeklamasikannya.  Tentang isinya atau amanatnya (pesan moral) yang ingin disampaikan penyairnya tidak pernah terpikirkan oleh kita.

Berkaitan dengan puisi Chairil Anwar di atas (agar kita terhindar dari membacakan dan mendeklamasikan puisi dengan mimik yang dibuat-buat namun tidak mengerti isi puisinya) ada hal-hal yang perlu kita bicarakan di sini.  Isi puisi di atas, kalau kita amati ada unsur harapan penyairnya tentang sesuatu yang diperjuangkan.  Baris yang berbunyi `Ku mau tak seorang `kan merayu dan Aku mau hidup seribu tahun lagi  merupakan salah satu bukti bahwa sang penyair berkeinginan agar tidak ada kompromi (politik dagang sapi) dalam mewujudkan kemerdekaan negeri ini (`Ku mau tak seorang `kan merayu). Oleh karena itu, ia bertekad agar negeri ini bisa benar-benar menikmati udara kemerdekaan selama- lamanya (Aku mau hidup seribun tahun lagi).

Di samping dua baris yang secara jelas menunjukkan unsur harapan dengan adanya kata `mau` masih ada dua baris dan satu bait yang sebenarnya juga menunjukkan hal yang sama.  Kita bisa perhatikan pada baris yang berbunyi Aku tetap meradang menerjang dan Aku akan lebih tidak perduli.  Kedua baris itu menyatakan bahwa sebagai pejuang tidak ada kata pantang menyerah karena ada satu prinsip `merdeka` atau `mati` dan seorang pejuang tidak perduli dengan tubuh yang penuh luka, bahkan nyawa pun jika memungkinkan dikorbankan.  Sedangkan bait yang menunjukkan unsur harapan terlihat pada Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri.  Artinya, seorang pejuang yang bertekad mewujudkan kemerdekaan, ia harus menahan segala macam bentuk penderitaan. Ia harus perjuangkan kemerdekaan itu dengan menahan segala macam bentuk penderitaan karena ia merasa yakin bahwa penderitaan itu pada akhirnya akan hilang dan berganti dengan kenikmatan.

Agar kita memiliki pemahaman yang utuh tentang puisi “Aku” ada baiknya kita meangambil sesuatu yang tersirat pada puisi di atas.  Pada puisi “Aku”, jika kita renungkan, ada hal yang ingin disampaikan penyairnya, yaitu:

  • setiap orang pada saat menghadapi sesuatu yang pelik atau tidak mengenakkan (yang membuat seseorang boleh jadi menderita) harus diawali dengan sikap optimis;
  • sudah menjadi ketentuan Tuhan bahwa segala sesuatu yang ingin kita capai (kemerdekaan) harus dimulai dengan pengorbanan yang sudah tentu akan menimbulkan penderitaan;
  • menghindari penderitaan dan menggantikannya dengan kompromi (melakukan dialog dengan kelompok lain) adalah sikap yang perlu dijauhi karena hasil yang diperoleh melalui kompromi tidak seoptimal dari hasil yang diperoleh karena perjuangan; dan
  • tidak selamanya penderitaan akan mengikuti kehidupan seseorang (bangsa) karena semua itu pasti akan berakhir dengan kebahagiaan manakala seseorang benar-benar sabar melakoni penderitaannya.

Uraian di atas sangat boleh jadi kurang memuaskan kita. Karena itu boleh-boleh saja kita mengambil contoh lain sehingga kita memiliki gambaran yang utuh tentang harapan. Salah satu cara untuk memperluas wawasan kita tentang harapan adalah dengan menelaah sebuah cerita atau kisah. Teks di bawah ini, yang akan kita analisis terutama dari sisi harapannya, diharapkan mempermudah kita memahami konsep tentang manusia dan harapan.

BANGKU BATU

Motinggo Busye

…………………………………………………………………………………………………

Sementara itu, hari ulang tahunku yang ke tujuh puluh enam sudah dekat pula.  Ketika aku melihat kalender, ulang tahunku jatuh pada hari Minggu.  Secara tak sengaja, menyelinap saja ingatan kepada Juliati.  Jika aku tak membuat kesalahan yang gegabah ketika menelpon dulu, tentulah hari ulang tahunku yang ketujuh puluh enam dirayakan di bangku batu di Taman Monas itu bersama Juliati.

Setelah shalat subuh dan membaca sura Al Mulk dan mencicil beberapa ayat Al Qur`an, sebagaimana hari Sabtu kemarin, hari Minggu itu aku melangkah ke Monas menjinjing satu boks berisi kue-kue.

Aku sungguh terkejut karena kulihat ada seorang wanita duduk di bangku batu itu.  Dan wanita itu tak lain Juliati.  Aku sangat gembira.  Sangat sangat sangat gembira.

“Roy.  Selamat ulang tahun, semoga tetap sehat dan panjang umur,”  katanya seraya memberi sebuah bungkusan kecil.  Juliati menyuruh aku membuka kado itu.  Ternyata sepasang sepatu olahraga.

“Roy.  Kautahu, mengapa aku tidak ke sini selama hampir enam bulan?  Mesti-nya kau sudah tahu, Roy,” katanya.

“Aku sudah tahu.  Kamu jengkel sebab aku melakukan apa yang kamu larang.  Aku minta maaf,” kataku.

“Oke. Tapi kamu juga harus maafkan Willy, Roy. Aku tak ingin ada konflik dengan anakku sendiri.  Orang setua kita harus pandai-pandai mengelak dari konflik.  Betul kan?  Tapi kini aku berani ke sini lagi, karena Willy sudah tak di Indonesia lagi.  Dia sudah kawin dengan orang bule itu.  Kini aku sudah sendirian di rumah.  Mengambil uang pensiun juga sendiri, begitu juga membayar rekening listrik dan telepon,” kata Juliati.

Juliati meneruskan:”Sekarang kamu boleh menelpon saya anytime, Roy.  Namun jangan harapkan aku yang menelpon kamu.  Aku tetap saja tidak akan menelpon kamu.  Aku seperti mengidap trauma, selalu merasa istrimu masih hidup.”

Karena Juliati kali ini yang banyak bicara, hampir saja aku lupa mengucapkan terima kasih karena dia ingat hari ulang tahunku dan memberi kado dengan  ukuran sepatu olah raga yang pas pula.

Tetapi ada satu hal penting.  Walapun setelah pertemuan itu aku dan Juliati masih bertemu terus setiap pekan, dan walaupun aku sudah diperkenankan berkunjung ke rumahnya, tetapi satu hal senantiasa aku takut menyatakan kepadanya.  Itu menjadi sebuah rahasia abadi.  Rahasiaku itu aku pendam dalam-dalam.

Katakanlah aku bisa coba-coba menyatakan hal itu kepada Juliati, dan Juliati pun senang hati menerimanya.  Kalau memang begitu, tentu aku tidak menderita apa-apa malahan tambah bahagia, tambah sehat dan punya masa tua yang indah.  Katakan- lah semisal Juliati menerimanya!

Sebaliknya, jika hal itu kunyatakan pada Juliati, dan Juliati tak senang dan dia menolak, aku akan terkena stroke.  Tak sedikit orang-orang berusia lanjut tidak mampu menerima hal yang mengejutkan lalu terkena stroke.

Lebih bagus seperti ini saja.  Tiap Minggu duduk mengobrol berdua di bangku batu ini.  Kami tak kurang cerita-cerita masa lalu kami, atau cerita masa lalu teman-teman kami.  Bahkan kami sering sama mengisahkan cerita yang sudah daur ulang.  Sebagai orang lanjut usia kami sadar bahwa kami cuma punya cerita-cerita tentang masa lalu.  Kami hampir tak punya cerita tentang masa datang.  Itu sebenarnya bisa, jika aku punya keberanian untuk menyatakan sesuatu yang amat rahasia itu kepada Juliati.  Ah, lebih baik itu tetap rahasia terpendam.  Bangku batu itu nantinya menjadi batu yang tak berguna, menjadi batu biasa seperti batu-batu lainnya.  Tidak, aku tidak ingin ke-hilangan bangku batu ini.

Pada akhirnya aku coba juga memberanikan diri untuk menyatakan hal itu.  Jika dia menolak, aku sudah rela sekiranya terkena stroke.

“Juli,” ucapku gemetar, “Aku akan menyatakan sesuatu.”

Dia menatapku, kemudian meluncurlah ucapannya:”Sebaiknya jangan.  Aku sudah tahu apa yang mau kaukatakan.  Kita kan sudah tua? Buat apa kita menjadi anak kecil lagi, Roy?  Mendingan seperti ini saja seterusnya.  Kamu hidup di rumahmu, menggoreng telur mata sapi dan tempe setiap pagi.  Aku di rumahku, menunggu surat-surat dari anakku.  Sekali seminggu kita ketemu di bangku batu ini.  Kita tidak terlibat dalam konflik, bukan?”

Lama aku terdiam.

“Jika orang satu rumah, biasanya ada konflik.  Orang tua sebaiknya menghindari konflik,” katanya.

“Betul juga,” ucapku.

“Jangan marah Roy.  Walaupun sikapku aneh, aku tetap saja menganggap istrimu masih hidup.  Tahu kamu, aku hadir di bangku batu ini seolah-olah mencuri-curi agar istrimu dan suamiku tidak memergoki kita,” ucapnya tertawa kecil.

(Dua Tengkorak Kepala, 1999:119 – 123) 

***

Meskipun kita hanya mengambil sebagian dari cerpen “Bangku Batu”, kita sudah melihat adanya unsur harapan pada kisah di atas.  Unsur harapan tersebut tersurat dari ucapan dan tindakan tokoh `aku` terhadap Juliati teman lamanya ketika di SMA dulu.  Kalau tokoh `aku` demikian menaruh harapan pada Juliati (mengingat sikap Juliati yang demikian baik dan memberikan hadiah di saat hari ulang tahunnya yang ke-76), tidak demikian halnya dengan Juliati. Juliati ternyata tidak memberikan harapan pada tokoh `aku` (tidak merespon keinginan tokoh `aku`).  Mengapa Juliati tidak menyambut keinginan tokoh `aku`? Ia menolak keinginan tokoh `aku` karena  ia menyadari, baik dirinya maupun tokoh `aku` sudah sama-sama tua.  Di samping itu, bayangan istri tokoh aku masih melekat di benaknya.  Bahkan, ia merasa bahwa pertemuan rutinnya di bangku batu itu lebih merupakan tempat persembunyian dari intaian mendiang istri tokoh `aku` dan juga suaminya sendiri yang telah lama meninggal dunia.  Oleh karena itu, ia mengambil keputusan agar hubungannya seperti sekarang saja (hubungan persahabatan).

Jika kita telusuri teks di atas, unsur harapan yang ada pada tokoh `aku` dimulai ketika pada suatu Minggu tokoh `aku` bertemu kembali dengan Juliati, temannya, setelah selama enam bulan tidak bertemu.  Bahkan, bukan hanya itu, ternyata Juliati ingat betul bahwa hari itu merupakan ulang tahun tokoh `aku` yang ke-76.  Tokoh `aku` yang mengira Juliati marah padanya, ternyata salah duga.  Justru, Juliati memberikan surprise, dengan memberikan hadiah ulang tahunnya berupa sepatu olah raga (“Roy.Selamat ulang tahun, semoga tetap sehat dan panjang umur,” katanya seraya memberi sebuah bungkusan kecil.  Juliati menyuruh aku membuka kado itu).  Dengan pemberian itu bagi tokoh `aku` ada anggapan bahwa Juliati sangat memperhatikan dirinya sehingga tumbuh kesempatan untuk menyatakan harapannya.  Harapan itu semakin kuat karena anak bungsu Juliati, Willy, sudah tidak berada lagi di Indonesia.  Di samping itu, setelah anaknya pergi, Juliati tinggal sendiri (“ Oke. Tapi kamu juga harus maafkan Willy, Aku tak ingin ada konflik dengan anakku sendiri.  Orang setua kita harus pandai-pandai mengelak dari konflik.  Betul kan?  Tapi kini aku berani ke sini lagi, karena Willy sudah tak di Indonesia lagi.  Dia sudah kawin dengan orang bule itu. Kini aku sudah sendirian di rumah.  Mengambil uang pensiun juga sendiri, begitu juga membayar rekening listrik dan telepon,” kata Juliati).

Harapan untuk menyampaikan hasratnya semakin kuat manakala Juliati membolehkan menelponnya setiap waktu meskipun dari pihak Juliati tidak akan menelpon tokoh `aku` karena masih ada trauma dengan istrinya ( ”Sekarang kamu boleh menelpon saya anytime, Roy.  Namun jangan harapkan aku yang menelpon kamu.  Aku tetap saja tidak akan menelpon kamu. Aku seperti mengidap trauma, selalu merasa istrimu masih hidup” ).  Selayaknya, tokoh `aku` ketika Juliati mengatakan bahwa ia tidak berkenan menelponnya karena masih ada trauma dengan istrinya, ia harus menyadari kalau Juliati tidak menghendaki adanya hubungan yang lebih jauh dari sekedar berteman.  Tetapi, tokoh `aku` yang tidak pandai membaca perkataan seseorang, bertindak sebaliknya.  Artinya, ia tetap memiliki harapan terhadap Juliati (Tetapi ada satu hal penting.  Walapun setelah pertemuan itu aku dan Juliati masih bertemu terus setiap pekan, dan walaupun aku sudah diperkenankan berkunjung ke rumahnya, tetapi satu hal senantiasa aku takut menyatakan kepadanya.  Itu menjadi sebuah rahasia abadi.  Rahasiaku itu aku pendam dalam-dalam) meskipun ia juga menyadari adanya risiko yang akan terjadi jika diterima keinginannya dan ditolak (Katakanlah aku bisa coba-coba menyatakan hal itu kepada Juliati, dan Juliati pun senang hati menerimanya.  Kalau memang begitu, tentu aku tidak menderita apa-apa malahan tambah bahagia, tambah sehat dan punya masa tua yang indah.  Katakanlah semisal Juliati menerimanya! Sebaliknya, jika hal itu kunyatakan pada Juliati, dan Juliati tak senang dan dia menolak, aku akan terkena stroke.  Tak sedikit orang-orang berusia lanjut tidak mampu menerima hal yang mengejutkan lalu terkena stroke).   

Dengan cukup berani tokoh `aku` menyampaikannya (“Juli”, ucapku gemetar, “Aku akan menyatakan sesuatu” ). Juliati yang pandai membaca keinginan tokoh `aku` meskipun belum selesai disampaikan secara langsung menjawabnya (Dia menatapku, kemudian meluncurlah ucapannya:”Sebaiknya jangan.  Aku sudah tahu apa yang mau kaukatakan.  Kita kan sudah tua? Buat apa kita menjadi anak kecil lagi, Roy?  Mendingan seperti ini saja seterusnya.  Kamu hidup di rumahmu, menggoreng telur mata sapi dan tempe setiap pagi.  Aku di rumahku, menunggu surat-surat dari anakku.  Sekali seminggu kita ketemu di bangku batu ini.  Kita tidak terlibat dalam konflik, bukan?”).  Jawaban Juliati memupus harapan tokoh `aku` walaupun dibujuk dengan “Jangan marah Roy.  Walaupun sikapku aneh, aku tetap saja menganggap istrimu masih hidup.  Tahu kamu, aku hadir di bangku batu ini seolah-olah mencuri-curi agar istrimu dan suamiku tidak memergoki kita,” ucapnya tertawa kecil.

 ***

Potongan cerita di atas mengajarkan kita bahwa tidak semua harapan yang kita inginkan dapat terkabul dengan baik. Manakala harapan terkabul kita tidak boleh melupakan itu merupakan suatu kenikmatan dari-Nya.  Namun, manakala kita tidak memperolehnya kita tidak pun harus berbesar hati.  Di sisi lain, kita pun selayaknya pandai melihat suatu fenomena manakala ada ucapan atau ungkapan (tersirat) yang menunjukkan tidak adanya titik harapan buat kita. Hal itu sangat membantu kita agar kita tidak terlalu terburu-buru menyampaikan keinginan atau harapan kita walaupun kita melihat banyak sela yang seringkali mempengaruhi kita.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *