Subagio S. Waluyo
`Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari kekafiran dan kemiskinan`
Orang semacam Sulam selain memiliki keterbelakangan mental juga hidup miskin. Kalau sekedar terbelakang mentalnya, tapi dia tergolong tidak miskin atau hidup serba berkecukupan, orang seperti Sulam tidak mungkin tinggal di pasar, baik di Wangon maupun di Jatilawang. Pakaiannya yang tidak layak pakai karena compang-camping (sampai-sampai celana yang kedodoran pun harus diikat dengan tali pelastik di pinggangnya supaya tidak merosot) menjadi representasi gambaran orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan (GK) di negara ini. Konon kabarnya di negara ini pemerintahnya telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dari semula di tahun 2018 sebesar 9,82% di tahun 2019 turun menjadi 9,41% atau dari segi jumlah orang miskin yang semula sebanyak 25,98 juta orang (Maret 2018) menjadi 25,14 juta orang (Maret 2019) (https://www.Idntimes.com/business/economy/ hanaadi-perdana-1/ angka –kemiskinan-ri-turun-lagi-jadi-2514-juta-orang-maret/full)
Dilihat dari angkanya memang terjadi penurunan. Tapi, perlu diingat BPS menetapkan batas GK sebesar Rp 401.220 per kapita, per bulan. Jika dibagi 30 hari kerja, batas GK sebesar Rp 13.374 per kapita, per kepala, per hari. Dengan uang sebesar itu, untuk ukuran masyarakat yang tinggal di DKI Jakarta dan sekitarnya, cukup makan nasi uduk pakai tahu dan semur jengkol dua kali sehari. Wajar kalau orang-orang semacam itu terbatas pendidikannya atau intelektualnya dan rentan kesehatannya. Supaya sedikit terselamatkan dari keterbatasan intelektual dan kesehatan yang rentan sudah saatnya BPS mengikuti Bank Dunia dalam menetapkan batas GK. Bank Dunia menetapkan GK sebesar dua dolar perhari (Rp28.384,00). Dengan mengikuti Bank Dunia diharapkan bangsa ini tidak mengalami kekurangan gizi (malagizi) dan sekaligus kekurangan intelektual.
Kalau menggunakan standar Bank Dunia, jelas jumlah angka orang miskin di Indonesia lebih besar lagi. Boleh jadi lebih dari dua kali lipat dari jumlah di atas. Padahal standar yang digunakan Bank Dunia jauh dari cukup untuk hidup layak sebagai bukan orang miskin (https://arahjaya. com/2019/02/25/ menggugat-kemiskinan-di-indonesia-batas-garis-kemis-kinan-tidak-masuk-akal/). Hal itu bisa terjadi jika hanya dilihat dari indikator ekonomi, yakni dari sisi pengeluaran per kapita per bulan. Penetapan GK yang digunakan masih condong melihat kemiskinan dari kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar berupa makanan (https:// pasar-dana.id/article/2018/ 8/9/kemiskinan-bukan-sekadar-angka/). Sementara itu, untuk mengukur indikator kemiskinan bukan hanya dari pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa makanan (pangan) tapi juga harus mengikutsertakan analisis kualitatif. Kemiskinan menurut Budi Setiyono dalam Model&Desain Negara Kesejahteraan (2018:51-52) bukan hanya berkaitan dengan kekurangan sumber kebutuhan hidup (pangan), kebutuhan lain yang berkaitan dengan ketidakadilan terhadap akses kekuasaan dan status sosial juga sangat dibutuhkan. Untuk itu, wajar-wajar saja jika sampai saat ini yang ada di benak pemerintah hanya meliputi bantuan penyediaan kebutuhan pokok khususnya pangan. Sampai kapanpun kalau pemerintah di benaknya hanya ada pikiran sebatas memenuhi kebutuhan pangan, masalah kemiskinan di negara ini tidak pernah akan bisa diretas.
Berbicara kemiskinan bukan hanya sebatas telah terpenuhinya kebutuhan pangan,tetapi sandang (pakaian yang layak), papan (perumahan /tempat tinggal yang layak), kesehatan, dan pendidikan. Selain itu, masih berkaitan dengan hal di atas, kemiskinan terbagi ke dalam dua bagian besar, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Tokoh seperti Sulam jelas termasuk kemiskinan absolut karena ia menderita kekurangan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di negara ini orang-orang semacam Sulam masih cukup banyak. Masih belum ada data yang valid jumlah masyarakat Indonesia yang termasuk miskin absolut. Saking tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari banyak masyarakat yang melakukan cara-cara menyimpang. Dalam hal ini banyak masyarakat terutama di pedesaan yang karena minimnya aqidah sehingga melakukan cara-cara irasional, cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Adalah Jum, istri Kartawi, dalam cerpen Ahmad Tohari “Warung Penajem” melakukan cara-cara yang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai agama (irasionalitas). Jum yang memiliki hasrat untuk memiliki rumah tembok, TV hitam putih, dan motor bebek agar usahanya berhasil harus menggunakan penajem. Penajem, sebagai cara yang irasional yang digunakan Jum sebagai setiyar (maksudnya ikhtiar) supaya usaha warung kecil-kecilannya berhasil adalah syarat yang harus diberi kepada dukun (pengorbanan) yang meliputi upaya mistik di antaranya bisa berupa uang, ayam cemani atau bahkan tubuh pasien itu sendiri. Rupa-rupanya Jum memilih cara yang ketiga, yaitu bersedia bersetubuh dengan Pak Koyor, sang dukun. Khusus untuk yang ketiga ini yang membuat Kartawi naik darah.
”Jadi betul Kamu…” Tangan Kartawi meraih gelas yang seperti hendak diremukkannya dalam genggaman. Otot yang mngikat kedua rahangnya menggumpal. Matanya menyala. Jum menyembunyikan wajah karena mengira Kartawi akan memukulnya, Tidak, ternyata Kartawi bisa menahan diri meski seluruh tubuhnya bergetar menahan marah.
”Kang,” ujar Jum setelah suaminya agak kendur. ”Dengarlah, saya mau bicara.” Jum berhenti dan menelan ludah yang tiba-tiba terasa lebih pekat. ”Yang saya berikan kepada Pak Koyor bukan begitu-begitu yang sesungguhnya. Saya Cuma main-main, Cuma pura-pura, Tidak sepenuh hati. Kang, saya masih eling. Begitu-begitu yang sebenarnya hanya untuk Kamu. Sungguh, Kang.” Kartawi tatap membatu. Matanya tetap berpijar. Urat rahangnya masih menggumpal. Dalam perasaan yang terpangga itu Kartawi melihat wilayah-wilayah pribadi tempat bersemayam harga diri dan martabat kelelakiannya terinjak-injak. Porak-porak. Jemari kembali meregang untuk meremas gelas yang masih digenggamnya. Jum malah mencoba tersenyum. Tetapi Jum terkejut karena tiba-tiba Kartawi berteriak. ”Lalu apa bedanya begitu-begitu yang main-main dengan begitu-begitu yang sungguhan?” Jum kembali menelan ludah. Dan ketenangannya yang kemudian berhasil ditampilkannya membuat Kartawi harus tetap pada posisi menahan diri. ”Oalah Kang, bedanya banyak. Karena Cuma main-main maka begitu-begitu yang saya lakukan itu tidak sampai ke hati. Tujuan saya hanya untuk membayar penajem, agar warung kita laris, tidak lebih. Jadi, Kamu tidak kehilangan apa-apa, Kang. Semuanya utuh. Kang, jika warung kita bertambah laris, kita juga yang bakal enak-kepenak, bukan?” Belum satu detik setelah Jum selesai mengucapkan kata-katanya Kartawi bangkit. Detik berikut terdengar suara gelas hancur terbanting di lantai. Kartawi ke luar setelah membanting pintu keras-keras. Dan Jum menangis.
(http://yolasastra.blogspot.com/2012/04/warung-penajem.html)
Bagaimana Kartawi tidak marah kalau istrinya jelas-jelas telah berzina (walaupun dikatakan hanya main-main, tidak serius)? Kartawi mellihat begitu rendahnya sang istri mau menyerahkan tubuhnya pada orang lain demi memenuhi hasratnya yang rendah (rumah tembok, TV, dan motor bebek). Tokoh seperti Jum ini jelas-jelas mencerminkan wanita desa yang lugu, yang miskin aqidahnya, dan yang tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam meniti norma-norma kehidupan. Jum wanita desa yang dilihat dari tindak-tanduknya karena kemiskinannya nyaris mendekati kekufuran (hadits tentang ini tergolong dhoif). Atau mungkin juga orang semacam Jum telah teracuni oleh gaya hidup yang serba permisif?
Masih berkaitan dengan cerpen-cerpen yang ditulis Ahmad Tohari yang terdapat dalam Mata yang Enak Dipandang ada kisah yang humoris, yang lagi-lagi menjadi simbol keterbelakangan intelektual dan keluguan orang-orang desa ketika berhadapan dengan dunia kedokteran. Adalah Kang Sarpin dalam “Kang Sarpin Minta Dikebiri” dikenal sebagai lelaki yang dorongan berahinya meledak-ledak dan susah dikendalikan. Orang-orang desa di Jawa menyebutnya sebagai cucuk senthe. Suatu kali Kang Sarpin (sepuluh jam sebelum kematiannya) menemui Tokoh Aku. Dia curhat pada Tokoh Aku tentang dirinya sebagai wong gemblung yang susah mengerem hasrat seksualnya (libidonya tinggi). Kang Sarpin berniat untuk berhenti jadi wong gemblung mengingat sebentar lagi dia punya cucu. Dia ingin mengebiri kemaluannya. Menurut pengakuannya, dia tidak bisa mengatur kemaluannya sehingga untuk menghentikannya cuma dengan cara dikebiri.
“Sekarang, Mas, saya datang kemari untuk minta bantuan. Tolong. Saya suka rela diapakan saja asal saya bisa jadi wong bener. Saya benar-benar ingin berhenti jadi wong gemblung.”
Terasa pandangan Kang Sarpin menusuk mata saya. Saya tahu dia sungguh-sungguh menunggu jawaban. Sialnya, lagi-lagi saya gagal menahan senyum. Kang Sarpin tersinggung.
“Mas, mungkin saya harus dikebiri.”
Saya terkejut. Dan Kang Sarpin bicara dengan mata terus menatap saya.
“Ya. Saya rasa satu-satunya cara untuk menghentikan kegemblungan saya adalah kebiri. Ah, burung saya yang kurang ajar itu memang harus dikebiri. Sekarang Mas, tolong kasih tahu dokter mana yang kiranya mau mengebiri saya. Saya tidak main-main. Betul Mas, saya tidak main-main!”
Tatapan Kang Sarpin makin terasa menusuk-nusuk mata saya. Wajahnya keras. Dan saya hanya bisa menarik napas panjang.
“Entah di tempat lain Kang, tetapi di sini saya belum pernah ada orang dikebiri. Keinginanmu sangat ganjil, Kang.”
“Bila tak ada dokter mau mengebiri, saya akan pergi kepada orang lain. Saya tahu di kampung sebelah ada penyabung yang pandai mengebiri ayam aduannya. Saya kira, sebaiknya saya pergi ke sana. Bila penyabung itu bisa mengebiri ayam, maka dia pun harus bisa mengebiri saya. Ya. Besuk, sehabis menjual beras ke pasar ….”
“Jangan Kang,” potong saya. Tatapan Kang Sarpin kembali menusuk mata saya. “Kamu jangan pergi ke tukang sabung ayam. Dokter memang tidak mau mengebiri kamu. Tetapi saya kira dia punya cara lain untuk menolong kamu. Besuk Kang, kamu saya temani pergi ke dokter.”
(https://kandangpadati.wordpress.com/2008/09/18/cerpen-ahmad-tohari/)
Sebagai manusia biasa, Kang Sarpin menyadari kalau perbuatannya jelas melanggar norma-norma agama dan masyarakat. Menjelang akhir hayatnya dia ingin bertobat dengan cara mengebiri kemaluannya. Tapi, lagi-lagi ini keluguan dan keterbelakangan intelektual orang desa seperti Kang Sarpin cara yang ditempuh salah dan mengundang tawa, yaitu dia ingin mengebiri kemaluannya di tukang penyabung ayam yang bisa mengebiri ayam-ayam sabungannya. Kang Sarpin mengira kalau kemaluannya bisa dikebiri oleh tukang penyabung ayam. Usulannya jelas ditolak oleh Tokoh Aku karena akan membahayakan dirinya. Tokoh Aku bersedia menemani Kang Sarpin ke dokter besok. Tetapi, niat Kang Sarpin untuk mengebiri kemaluanya tidak kesampaian. Allah berkehendak lain. Ternyata, sepuluh jam setelah itu Kang Sarpin ketika berangkat ke pasar membawa sekarung beras. di tengah jalan karena sepedanya oleng tertabrak mobil barang dari belakang.
KANG Sarpin meninggal karena kecelakaan lalu lintas pukul enam tadi pagi. Ia sedang dalam perjalanan ke pasar naik sepeda dengan beban sekuintal beras melintang pada bagasi. Para saksi mengatakan, ketika naik dan hendak mulai mengayuh, Kang Sarpin kehilangan keseimbangan. Sepedanya oleng dan sebuah mobil barang menyambarnya dari belakang. Lelaki usia lima puluhan itu terpelanting, kemudian jatuh ke badan jalan. Kepala Kang Sarpin luka parah, dan ia tewas seketika. Satu lagi penjual beras bersepeda mati menyusul beberapa teman yang lebih dulu meninggal dengan cara sama.
(https://kandangpadati.wordpress.com/2008/09/18/cerpen-ahmad-tohari/)
Cerpen Ahmad Tohari kali ini yang menggunakan alur sorot balik sama seperti cerpen-cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpennya Mata yang Enak Dipandang juga bercerita tentang kehidupan orang-orang di pedesaan. Orang-orang kecil yang lugu, yang terbelakang intelektualnya, yang tentu saja minim aqidah dan pengetahuan keagamaannya. Wajar-wajar saja kalau dalam bertindak sering harus melanggar norma-norma agama dan masyarakat. Meskipun demikian, di tengah-tengah kehidupan seperti itu masih ada orang yang disegani karena ketokohan dan tentu saja keilmuannya. Tokoh Aku, misalnya, baik yang terdapat dalam “Wangon Jatilawang” maupun “Kang Sarpin Minta Dikebiri” dikenal sebagai orang yang fenomenal karena dari segi perilaku terhitung orang yang tawadhu, punya kepedulian sehingga mau berbagi dan santun. Selain itu, sedikit banyak Tokoh Aku punya aqidah yang lurus dan pengetahuan agama yang memadai. Boleh juga Tokoh Aku termasuk orang yang dari sisi ekonomi tergolong berkecukupan dibandingkan dengan kondisi ekonomi orang-orang desa di sekitarnya. Agar kehidupan di pedesaan dinamis yang diisi orang-orang desa yang intelektualnya memadai diperlukan orang seperti Tokoh Aku yang fenomenal ini yang layak untuk diberdayakan dan dikembangkan di pedesaan. Untuk itu, tidak aneh jika Tokoh Aku mau bersaksi bahwa Kang Sarpin termasuk orang baik karena menjelang akhir hayatnya Kang Sarpin mau bertobat meskipun dengan cara yang dianggap salah.
Modin mengawali acara dengan memintakan maaf bagi almarhum kepada semua yang hadir. Modin juga menganjurkan kepada siapa saja yang punya utang piutang dengan Kang Sarpin untuk segera menyelesaikannya dengan para ahli waris. Sebelum doa dibacakan, modin tidak melupakan tradisi kampung kami; meminta semua orang memberi kesaksian tentang jenazah yang hendak dikubur.
“Saudara-saudara, saya meminta kalian bersaksi apakah yang hendak kita kubur ini jenazah orang baik-baik?”
Hening. Orang-orang saling berpandangan dengan sudut mata. Saya melihat Dalban menyikut lelaki di sebelah. “Bagaimana? Sarpin itu tukang main perempuan. Apa harus kita katakan dia orang baik-baik?”
Masih hening. Saya merasa semua orang menanggung beban rasa pakewuh, serba salah. Maka Modin mengulang pertanyaannya, apakah yang hendak dimakamkan adalah jenazah orang baik-baik. Sepi. Anehnya tiba-tiba saya merasa mulut saya bergerak.
“Baik!”
Suara saya yang keluar serta merta bergema dalam kelengangan. Saya melihat semua orang juga Modin, tertegun lalu menatap saya. Entahlah, saat itu saya bisa menyambut tatapan mereka dengan senyum.
(https://kandangpadati.wordpress.com/2008/09/18/cerpen-ahmad-tohari/)
Ahmad Tohari dalam cerpen-cerpennya mengajak semua pembaca untuk bisa memaafkan kesalahan orang seperti Kang Sarpin atau mau berbagi pada orang-orang yang tergolong memang benar-benar gemblung seperti Sulam. Memang kontribusi yang diberikan Tokoh Aku jika dinilai dengan materi terhitung kecil. Tapi, dalam melakukan kebaikan bukan dihitung dari jumlah yang besar, yang sekedar menyenangkan orang sesaat setelah itu berhenti sama sekali. Atau berbuat baik hanya pada moment-moment tertentu. Bukan,bukan itu! Dalam berbuat baik yang paling penting adalah sesuatu yang berkelanjutan, tetap istiqomah sampai Allah memanggilnya kelak. Berbuat baik yang berkelanjutan seperti Tokoh Aku sebagai bukti bahwa ada orang desa yang ternyata tidak tergerus oleh arus modernisasi. Wallahu a`lam bissawab.