Subagio S. Waluyo
jangan mengeluh jua , hai orang yang mengadu
Jangan putus asa , melihat lengang kebunmu
Cahaya pagi telah terhampar bersih
Dan kembang-kembang telah menyebar harum narwastu
Khilafatul-Ard akan diserahkan kembali ke tanganmu
Bersedialah dari sekarang
Tegaklah untuk menetapkan engkau ada
Denganmulah Nur Tauhid akan disempurnakan kembali
Engkaulah minyak atar itu , meskipun masih tersimpan dalam
kuntum yang akan mekar
Tegaklah, dan pikullah amanat ini atas pundakmu
Hembuslah panas nafasmu di atas kebun ini
Agar harum-harum narwastu meliputi segala
Dan janganlah dipilih hidup ini bagai nyanyian ombak
hanya berbunyi ketika terhempas di pantai
Tetapi jadilah kamu air-bah , mengubah dunia dengan amalmu
(Muhammad Iqbal “Harapan Kepada Pemuda”)
Corona memang makhluk Allah. Tidak ada yang memungkiri pernyataan itu. Yang jadi masalah bukan pada letak pernyataan itu, tapi ada apa di balik pernyataan itu? Bukankah orang yang menyampaikan pernyataan itu terkesan yang namanya makhluk Allah pasti akan tunduk pada Allah, Sang Pencipta, yang juga dengan kekuasaan-Nya bisa mematikan yang namanya corona sebagai makhluk-Nya? Meskipun demikian, bisa-bisa saja di balik pernyataan itu ada kesan menyepelekan peringatan tentang bahaya corona. Atau bisa juga di balik pernyataan itu ada kesan sikap fatalis atau dalam istilah Jawa `nerimo ing pandum` (menerima dengan pemberian). Ternyata, lewat pandemi corona kita jadi tahu ada orang fatalis di tengah-tengah bangsa ini.
***
Fatalis dalam KBBI didefinisikan sebagai orang yang percaya atau menyerah saja kepada nasib (https://kbbi.web.id/fatalis). Kalau begitu tidak bisa disalahkan orang yang mengatakan corona itu makhluk Allah. Karena makhluk Allah, dia hanya akan tunduk pada Allah. Memang, orang yang masih punya pemikiran seperti itu tidak bisa disalahkan. Sah-sah saja setiap orang menyampaikan pendapat seperti itu. Tetapi, pemikiran seperti ini tidak bisa dibenarkan karena Allah sendiri dalam Surat Ar-Ra`ab ayat 11 berfirman “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Jadi, ayat ini sudah jelas mengarahkan kita untuk berbuat sesuatu. Seperti sekarang ini kita berhadapan dengan pandemi Covid-19 yang boleh dikatakan sangat dahsyat serangannya. Negara besar seperti AS saja yang boleh dikatakan negara adidaya tidak berdaya menghadapi serangan Covid-19. Karena itu, tidak bisa menghadapi pandemi Covid-19 ini cukup dengan mengatakan kalau corona makhluk Allah.
Orang fatalis dilihat dari orientasi nilai budayanya tergolong masyarakat tradisional. Tetapi, mereka juga sudah mengecap dunia pendidikan (banyak juga di antara mereka yang berpendidikan tinggi) sehingga tidak layak lagi disebut masyarakat tradisional. Meskipun demikian, disebut masyarakat modern juga belum bisa. Satu kaki masih di masyarakat tradisional dan satu kaki lagi belum sampai ke masyarakat modern. Kita masukkan saja mereka ke dalam masyarakat transisi. Sebagai masyarakat transisi wajar-wajar saja kalau, misalnya, berhadapan dengan gejala alam (seperti sekarang corona), mereka masih punya pemikiran untuk menjaga keselarasan dengan alam (Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, 2015:34). Pemikiran seperti ini yang menyebabkan mereka cenderung pasrah saja pada pandemi Covid-19. Karena beranggapan kalau corona makhluk Allah, corona pasti tidak akan masuk ke rumah-rumah Allah (mushola dan masjid). Saking yakinnya, mereka beranggapan corona tidak akan menyerang orang-orang yang beriman pada Allah.
Adalah Jamaah Tabligh (JT) yang beranggapan kalau orang-orang yang beriman pada Allah tidak akan terkena corona. Karena merasa corona tidak akan menyerang orang-orang beriman, mereka nekad melaksanakan Ijtima` Dunia Zona Asia 2020 di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Acara yang semula dilaksanakan tanggal 19-22 Maret 2020 itu pada akhirnya oleh aparat setempat dibubarkan. Perhelatan yang tergolong besar itu semula akan dihadiri oleh ribuan peserta dari seluruh Indonesia dan negara lain. Bahkan, beberapa peserta sudah berada di lokasi acara di antaranya dari Malaysia, Thailand, Pakistan, India, Brunei, Timor Leste, Arab Saudi, Bangladesh, dan Filipina. Para peserta Ijtima` Dunia 2020 yang sempat kecewa dengan pembubaran itu dipulangkan dengan pengawalan melalui bandara dan pelabuhan. (https://tirto.id/ijtima-jamaah-tabligh-di-gowa-di-batalkan-jokowi-ucap-terima-kasih).
Kita tidak perlu mempermasalahkan perhelatan JT yang berakhir dengan pembubaran. Yang mau kita tuju adalah pensikapan mereka terhadap pandemi Covid-19. Sikap mereka terhadap pandemi Covid-19 menunjukkan sikap keras kepala, boleh juga kalau disebut egois. Sah-sah juga kalau disebut mereka menunjukkan tidak peduli pada nasib orang lain, tidak menaati anjuran pemerintah, atau kalau mau disebut ini lebih merupakan penunjukkan masyarakat yang fatalis juga boleh. Bukti bahwa mereka itu fatalis ungkapan-ungkapan yang dikemukakannya di antaranya seperti yang diucapkan salah seorang ustadz: “Baru satu macam virus Corona datang, seluruh dunia geger! Gampang selesaikan itu Corona, kirim jamaah-jamaah ke tempat Corona! Virus Corona takut sama jamaah, jamaah tidak takut sama Corona! Jamaah hanya takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala!” (ucapan ini disamput pekikan takbir ribuan peserta). Ucapan tersebut mencerminkan masyarakat yang boleh dikatakan pasrah terhadap nasib walaupun diembel-embeli dengan kata Allah.
Berbagai media mengabarkan bahwa JT menggelar ijtima’ dunia zona Asia 2020 di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ijtima’ itu bukan hanya diikuti oleh para peserta lokal dari seluruh Indonesia, tetapi dikabarkan melibatkan ribuan orang dari 48 negara. Kegiatan tersebut tetap dilangsungkan meskipun tidak mendapatkan izin dari pemerintah Kabupaten Gowa.
Agaknya, mereka merasa yakin dan karenanya menjadi keras kepala, bersikap egois, tak peduli kepada nasib orang lain, enggan bekerja sama, tidak menaati ajakan pemerintah, dan dengan jubah kebesarannya itu merasa tidak kuatir dengan wabah virus Corona, karena “kami lebih takut kepada Tuhan!” Begitulah keyakinan mereka. Saya mendengar salah satu dari berbagai video kegiatan tersebut, di mana ada seorang “ustadz” dalam suatu sesi kegiatan mereka dengan nada agitasi yang meyakinkan ribuan audien JT menyatakan sebagai berikut, “Baru satu macam virus Corona datang, seluruh dunia geger! Gampang selesaikan itu Corona, kirim jamaah-jamaah ke tempat Corona! Virus Corona takut sama jamaah, jamaah tidak takut sama Corona! Jamaah hanya takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala!” (ucapan ini disamput pekikan takbir ribuan peserta). Sang ustadz berjubah dan bersorban ala warga Pakistan itu melanjutkan ceramah provokatifnya dengan penuh semangat, “Allah yang kuasa, Corona tidak berkuasa! La ilaha illa Allah!” (Jamaah pun beramai-ramai menirukan ucapan tahlil itu). “Itu baru dakwah namanya. Menyelesaikan masalah dengan cara sendiri, bertambah masalah, bertambah masalah! Begitu banyak biaya untuk menyelesaikan masalah, (masalah) bukannya berkurang, (tetapi masalah makin) bertambah!” (https://islami.co/cara-aneh-jamaah-tabligh-melawan-virus-corona/) |
***
(https://images.app.goo.gl/1AUeUKhmiZEiFMEt9)
Apakah jamaah yang datang di perhelatan akbar itu aman dari pandemi Covid-19? Ternyata, begitu mereka kembali ke tempat asalnya masing-masing terbukti cukup banyak juga di antara mereka yang positif terpapar corona. Bahkan, di antara mereka juga ada yang meninggal. Salah satu contoh kasus yang membuat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Kebumen harus pontang-panting melacak keberadaan 58 warga Kebumen yang mengikuti acara di Gowa itu. Berita terbaru (25 April 2020) menyebutkan dari 58 warga Kebumen tersebut ada 18 orang yang positif dinyatakan terpapar corona setelah mereka menjalani rapid test. Itu baru satu kabupaten. Tim yang menangani Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga bukan hanya melacak keberadaan 58 warga tersebut, tetapi juga dalam kurun waktu lebih dari satu bulan itu mereka telah berinteraksi dengan siapa saja. Memang, dilihat dari kuantitasnya sedikit mereka yang berangkat. Tapi, yang sedikit itu (terutama yang positif itu) sudah dipastikan berpartisipasi dalam menyebarkan virus corona. Tidak mustahil dari yang sedikit itu, satu kabupaten Kebumen bisa saja terpapar Covid-19. Ini dampak yang harus dipikirkan oleh mereka para peserta Ijtima’ Dunia Zona Asia 2020 di Kabupaten Gowa,Sulawesi Selatan.
KEBUMEN – Sebanyak 58 warga Kebumen yang mengikuti acara Ijtima Ulama Dunia 2020 Zona Asia di Gowa keberadaannya berhasil ditemukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sebanyak 18 dari 58 orang tersebut dinyatakan positif corona usai menjalani rapd test.
Pelacakan dilakukan setelah 2 orang yang mengikuti acara tersebut, positif Covid-19 berdasar hasil pemeriksaan spesimen yang dilakukan laboratorium virologi BBTKLPP Yogyakarta. “Begitu diketahui 2 warga Kebumen yang mengikuti acara di Gowa positif Covid-19, langsung dilakukan pelacakan riwayat perjalanan pasien. Tidak mudah menemukan semua warga Kebumen yang ikut dalam acara di Gowa meski ada data by name and by address. Apalagi jumlahnya ada 58 orang,” ujar anggota Bidang Hubungan Masyarakat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Kebumen, Kusbiyantoro, Jumat 24 April 2020. Kerja keras gugus tugas yang melibatkan berbagai pihak, lanjut Kusbiyantoro, semua warga Kebumen yang ikut dalam acara di Gowa akhirnya bisa ditemui. Bahkan sudah dilakukan rapid test atau tes cepat pada yang bersangkutan serta keluarganya. “Ada 18 orang yang ikut dalam acara di Gowa, hasil rapid test atau tes cepatnya positif. Rapid test juga dilakukan pada keluarganya, namun hasilnya negatif,” ungkap Kusbiyantoro yang menjabat Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Ke-18 orang yang hasil rapid test-nya positif, dikatakan secara medis tidak menunjukkan gejala dan tanda-tanda klinis, atau tergolong orang tanpa gejala (OTG). Mereka karantina mandiri dengan dipantau secara ketat. |
Sampai saat ini belum diketahui seberapa banyak orang yang terpapar Covid-19 dari mereka-mereka yang ikut perhelatan akbar di Gowa itu. Namun, yang pasti begitu banyak pemberitaan di seputar anggota JT yang terpapar Covid-19 sudah bisa disimpulkan bahwa setiap ada kerumunan orang di sebuah tempat bisa dipastikan akan ada korban serangan Covid-19. Buat ormas yang namanya sudah mendunia (konon kabarnya ormas ini jamaahnya tersebar di 88 negara) sudah saatnya mereka mengempaskan jauh-jauh sikap fatalis yang berakibat fatal. Mereka tidak boleh lagi bicara seenaknya sehingga yang keluar dari mulutnya ucapan-ucapan yang cenderung meremehkan. Boleh jadi ucapan tersebut berangkat dari hawa nafsu karena kalau berangkat dari hati yang bersih tidak akan muncul ucapan seperti itu. Ucapan mereka juga dapat menunjukkan kekurang-pahamannya dalam mengkaji nilai-nilai Islam. Orang yang kerap mengkaji nilai-nilai Islam (salah satu di antaranya mengkaji shiroh baik shiroh Rasulullah maupun shiroh Sohabat, misalnya) akan menemukan ada kasus serupa yang bisa dijadikan analogi. Karena aktivitasnya lebih ke arah tabligh-tabligh saja, tidak aneh jika suatu saat ketika berhadapan dengan masalah pandemi Covid-19, mereka gamang, tidak siap sehingga muncul ungkapan-ungkapan yang cenderung meremehkan.
***
Peristiwa pandemi Covid-19 memberikan begitu banyak hikmah buat kita. Salah satu hikmahnya kita menemukan ada sebagian anak bangsa (jangan-jangan sebagian besar) yang masih memiliki sikap fatalis. Sebagai umat terbesar di negara ini melihat ada sebagian anak bangsa yang masih fatalis, tampaknya kita tidak bisa berdiam diri. Ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah bahkan MUI (yang di dalamnya terhimpun ormas-ormas Islam) jangan sampai mengeluarkan ungkapan-ungkapan miring tentang mereka. Sebaliknya, ormas-ormas Islam di bawah komando MUI harus ada upaya membantu JT agar mereka mau mendalami Islam secara benar dan kaafah (menyeluruh). Mereka yang terlibat di JT juga harus mau belajar dari saudara-saudaranya yang bukan dari jamaahnya. Mereka yang di JT harus meyakini bunyi ayat yang dikutip di atas (Ar-Raad:11). Dengan cara seperti itu diharapkan tidak ada lagi pandangan sempit yang mengarah pada sikap menyerah pada nasib.Sebagai pelengkap, agar terjadi hubungan yang harmonis antarormas, sudah saatnya `orang-orang pintar` yang ada di ormas-ormas Islam menunjukkan sikap tawadhu` (rendah hati). Jangan mentang-mentang karena paling tahu tentang ilmu-ilmu ke-Islam-an meremehkan pendapat orang lain yang bukan dari ormasnya. Sikap fanatik terhadap golongannya harus disingkirkan jauh-jauh. Saat ini yang sangat dibutuhkan adalah memberikan pencerahan terhadap sesama saudaranya dengan kerendahhatian dan kesabaran. Wallahu a`lam bissawab.
Sumber Gambar : (https://images.app.goo.gl/HRM55WUpiT6Q2EyV7)