Subagio S. Waluyo

 

 Aku anak nakal, umurku sembilan tahun.

Kedua orangtuaku menyebutku anak pembawa sial.

          Satu keluarga kompak berkhianat dan mau menghabisi salah seorang nyawa anggota keluarganya karena sudah dianggap gila dan anak pembawa sial.  Satu keluarga ini terkena sindrom psikopat. Mereka walaupun terlihat normal tapi ada faktor kejiwaan yang susah diobati. Mereka telah rusak hati nuraninya. Mereka juga sudah tidak memiliki empati. Wajar-wajar saja kalau mereka cenderung bertindak kriminal. Bukankah memang demikian perilaku orang psikopat? (https:// hellosehat. com/hidup-sehat/ psikologi /ciri-ciri-psikopat/).

          Adalah Gambir dalam Pintu Terlarang (Sekar Ayu Asmara) yang akan disingkirkan oleh keluarganya karena sejak kecil sudah dianggap gila dan anak pembawa sial. Coba kita amati pengakuannya.

Aku anak nakal, umurku sembilan tahun. Kedua orangtuaku menyebutku anak pembawa sial.

………………………………………………………………………………….

Bahagia. Kebahagiaan. Apakah itu kebahagiaan? Aku tidak ingat lagi kapan aku merasakan kebahagiaan.

 

(Pintu Terlarang, 2009:7)

Ironisnya, bukan hanya dianggap anak pembawa sial, Gambir pun tidak kenal yang namanya kebahagiaan karena memang hidupnya minim dengan rasa bahagia. Akibatnya, dia lebih suka  menyendiri.

…………………………………………………………………………………

Aku menyukai kesendirianku. Kesendirianku adalah sebuah dunia di mana aku merasa nyaman. Di mana aku merasa aman.Di dalam kesendirian, aku bisa menciptakan berbagai dunia lain. Menciptakan dunia seperti yang aku inginkan. Sebuah dunia yang terkadang bisa membuatku bahagia.

(hlm. 8)

Gambir lebih menyukai kesendirian karena dengan kesendirian dia merasa bahagia. Gambir tipe orang yang lebih cenderung mengasingkan diri dari lingkungan sekitar. Gambir jelas-jelas penderita sosiopat. Gambir tipe anak salah asuhan karena orangtuanya mungkin berperan dalam perkembangan gangguan mental ini (https:// hellosehat. com/hidup-sehat/psikologi/beda-psikopat-dan-sosiopat/). Gambir mengaku sejak kecil orangtuanya berlaku kasar padanya. Sampai-sampai suatu saat dia harus menelan kecoak yang dicemplungkan bapaknya ketika  memuntahkan makanannya.

…………………………………………………………………………………

Bapak mencemplungkan kecoak ke mulut mengangaku. Kini Ibu memaksaku  mengatupkan mulut. Bapak memaksaku menelan. Glegh.

Aku berteriak sekencang-kencangnya.

Oooouuuwww!!!

 (hlm. 10)

Itu salah satu bentuk kekerasan orangtua Gambir ketika anaknya tidak mau menghabiskan makanannya.  Karena itu, Gambir lebih cenderung menarik diri dalam pergaulan. Gambir lebih asyik dengan dunianya sendiri.

          Apa yang terjadi akibat perlakuan kasar yang diterima Gambir sejak kecil yang kemudian berlanjut dengan pengkhianatan istrinya dan ibunya yang sudah  menganggap dirinya gila dan anak pembawa sial? Tragis, satu keluarga dibunuh Gambir. Dimulai dari Damar, adiknya, yang dibunuh karena terbukti berselingkuh dengan Talyda, istrinya, atas suruhan ibunya sendiri.

………………………………………………………………………………….

Kemarahan Gambir sampai dipuncaknya. Ia memakukan belati tepat ke jantung Damar. Dan adiknya pun terkulai tak bernyawa. Mata Gambir kian merah menahan amarah. Gambir bangkit sambil menendang jasad adiknya dengan kesal. Kata-kata terakhir adiknya  mengiang terus di telinga. Bagaimana mungkin ibunya menyuruh adiknya untuk berselingkuh dengan Talyda? Bagaimana mungkin?

(hlm. 223)

Kemudian, berturut-turut adiknya, Menur, ketika berusaha melindungi terpaksa jadi korban juga. Ibunya sendiri pun tidak luput dibunuh Gambir. Bahkan, sampai pada detik-detik terakhir ketika nyawanya akan berpisah, sang ibu sorot matanya seolah-olah seperti menghakimi dirinya.

……………………………………………………………………….

Kamu gila, Gambir. Kamu tidak waras….”

Kata-kata Menik Sasongko memberebet seperti knalpot tersumbat.

Gambir menancapkan belati ke jantung ibunya berkali-kali.

Napas Gambir tersengal-sengal. Ia melihat mata ibunya melotot. Dalam kematian pun, sorotan ibunya  masih saja menghakimi dirinya. Masih terus saja meremehkan kemampuannya. Menyepelekan karirnya.

Di dua sisi kehidupan yang berbeda—kehidupan dan kematian—ibunya masih saja tidak bisa menghargainya.

(hlm. 235)

Tidak cukup sampai di situ, Gambir pun menghabisi nyawa kedua sahabat karibnya yang telah berselingkuh dengan istrinya. Terakhir, yang jadi korban berikutnya adalah istrinya sendiri, Talyda.

………………………………………………………………………………..

Dengan satu gerakan secepat kilat Gambir menancapkan belati ke dada Talyda. Mata Talyda membelalak, mulutnya mengeluarkan rintihan, kepalanya terkulai. Ia tewas seketika. My guardian angel. Bidadari pelindungku.Bidadari sudah binasa di tanganku. Tiada nikmat senikmat pembalasan.

Wa-ha=ha=ha!!! Tawa Gambir menggema pada dinding-dinding studio.

(hlm. 251-252)

Meskipun, sekian nyawa telah dihabisi, Gambir tidak mau menerima dikatakan gila. Dia merasa tidak gila. Dia minta bukti kalau memang dia gila. Tapi, di sisi lain, dia juga  meragukan apakah dia waras apakah tidak?

……………………………………………………………………………………….

Aku gila? Jangan seenaknya menuduh. Bisa buktikan? Bisa buktikan kau lebih waras dariku? Apa aku gila? Apa aku waras? Bisa ya. Bisa juga tidak.

Ooouuuwww!!!

(hlm. 264)

                   Kenapa Gambir berbuat sekeji itu? Tujuh orang dalam satu malam melayang nyawanya karena kegilaannya. Tuduhan bahwa dia anak gila bisa jadi terbukti kalau dia dengan tanpa rasa kemanusiaan membunuh ibunya, istrinya, adik-adiknya, dan dua orang sahabat karibnya. Gambir memang gila. Gambir telah  melampiaskan sakit hatinya pada orang-orang yang telah mengkhianati dirinya. Tapi, Gambir tidak mungkin melakukan itu semua tanpa ada faktor-faktor penyebabnya. Orang-orang terdekat Gambir seperti ibunya dan istrinya adalah orang-orang yang paling tidak suka dengan keberadaan Gambir. Mereka sering berkamuflase untuk menutupi aib dirinya dan menimpakan kesalahan pada Gambir. Jauh sebelum itu, ayah Gambir, dokter Koentoro atau dokter Koen, adalah seorang ayah yang kejam ketika menghukum anaknya, Gambir. Ibunya, Menik Sasongko, juga sama. Mereka selalu berkolaborasi ketika menghukum Gambir. Cara-cara keji yang diterima Gambir semua terekam dalam ingatannya.

          Dalam Pintu Terlarang selalu disebutkan berulang-ulang kalimat berbunyi: “Aku anak nakal, umurku sembilan tahun. Kedua orangtuaku menyebutku anak pembawa sial.” Rangkaian kalimat itu diungkapkan penulis setiap kali menceritakan perlakuan kasar yang diterima Gambir ketika kedua orangtuanya menghukumnya. Gambir pernah ditenggelamkan ayahnya di air sampai dia megap-megap, telinganya berdengung. Meskipun demikian, dalam kondisi demikian sang ibu mengucapkan kata-kata kasar:

“Biar kapok dia, disuruh mandi saja susah! Dasar anak pembawa sial. Dasar anak nakal!!!!

(hlm. 58)

Gambir juga pernah disayat pecahan beling oleh ayahnya karena hanya memecahkah gelas. Berawal dari seekor semut yang berjalan di bibir gelas. Gambir panik. Sampai-sampai gelas yang dipegang jatuh, pecah. Meskipun telah  melakukan pembelaan, sang ibu tidak bisa toleran terhadap kejadian itu. Begitu ayahnya pulang, kejadian itu dilaporkan ibunya. Spontan sang ayah mengikat Gambir di pohon mangga seraya mengambil pecahan beling. Disertai dengan umpatan-umpatan yang kasar sang ayah menorehkan pecahan beling ke pipi Gambir. Rupanya hukuman belum selesai. Setelah itu giliran sang ibu menghukumnya dengan cara menumpahkan isi toples yang di dalamnya ada ribuan semut ke kepala Gambir. Bisa dibayangkan anak yang takut dengan semut, diikat di pohon mangga, disayat pipinya dengan beling, lalu ditumpahkan di atas kepalanya ribuan semut yang terdapat di dalam toples (hlm. 81).

          Perlakuan kasar kedua orangtuanya menyebabkan kedua lengannya biru-biru atau pipinya yang lebam. Setiap kali gurunya, Pak Chairul, bertanya tentang masalah itu, Gambir kerapkali berbohong. Perlakuan kasar bukan saja menyebabkan faktor fisik Gambir yang menyisakan rasa sakit disertai tangan yang biru dan pipi yang lebam, tapi juga menyebabkan prestasi belajarnya melorot. Terbukti suatu saat Gambir rapornya hampir semuanya merah dan sedikit sekali yang biru. Melihat rapornya yang buruk dan laporan dari gurunya kalau Gambir sering melamun, spontan sang ibu memberi hukuman dengan cara mengurungnya di dalam kamar. Hukuman tidak selesai sampai di situ, ketika ayahnya pulang Gambir dipukul dengan gulungan rapor dan didekap lehernya. Sementara itu, sang ibu dengan pensil di tangan yang telah diruncingkan turut menusukkan pensil yang lancip itu ke tangannya. Darah pun mengalir dari tangannya. Rupanya hukuman belum selesai. Masih ada hukuman penutup dari sang ayah.  Sang ayah menyundutkan rokok ke tangannya. Gambir menjerit kesakitan (hlm. 143).

          Hari sabtu-minggu bagi sebagian orang merupakan hari-hari untuk istirahat setelah sepekan penuh bekerja keras. Tapi, tidak demikian bagi Gambir. Sabtu-Minggu hari-hari yang paling dibenci karena di hari-hari itu ayahnya pulang. Apalagi yang dilakukan sang ayah ketika pulang ke rumah selain menghukum anaknya, Gambir. Akibat hukuman yang selalu diterima dari kedua orangtuanya suatu saat Gambir mengalami depresi. Dia tidak bisa tidur. Diam-diam dia ambil pisau yang dicuri dari kantin sekolah. Dia merasa mendapat bisikan dari alam sekitarnya untuk  membunuh kedua orangtuanya. Dia ingin melakukannya karena dia ingin mengakhiri semua penderitaannya (hlm. 181-183).

          Niat Gambir untuk menghabisi orangtuanya baru terlaksana di saat malam tahun baru. Tahun baru yang sebenarnya diisi dengan kegembiraan, tidak demikian halnya dengan yang terjadi pada keluarga Gambir, yang terjadi malam pergantian tahun dihiasi dengan peristiwa berdarah yang mengerikan. Gambir telah menuruti bisikan-bisikan setan menghabisi nyawa orang-orang terdekat dengan dirinya. Gambir yang awalnya sosiopat, yang  menarik diri dari pergaulan, yang merasa sebagai anak gila, anak pembawa sial ternyata menjadi pembunuh berdarah dingin. Kalau mau ditelisik lebih jauh, ini akibat perilaku kasar yang diterima Gambir sejak kecil. Sampai dewasa dan berumah tangga pun, walaupun hukuman fisik sudah tidak ada, perlakuan ibunya ditambah lagi isterinya yang ikut-ikutan menghukumnya lewat kata-katanya yang menyakitkan dan perbuatan selingkuhnya dengan adiknya dan teman-teman dekatnya membuat dirinya tertekan. Bisikan setan membuat dia gelap mata sehingga dia benar-benar mengikuti bisikan setan.

          Novel Pintu Terlarang walaupun jalan ceritanya sebagian berisikan hal-hal yang bernuansa klenik (tentang `pintu terlarang` yang sering mengganggu Gambir dengan suara-suara anehnya) penulisnya ingin menyampaikan agar setiap orang tidak melakukan kekerasan pada anak. Kekerasan pada anak akan memberi efek yang berbahaya bagi masa depan anak. Akibat dari penganiayaan dan pengabaian, konsekuensinya dapat menuai berbagai dampak negatif pada perkembangan, psikologis, dan fisik korban (https:// hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/dampak-kekerasan-terhadap-anak). Boleh jadi Gambir telah mengalamai goncangan psikologis yang demikian dahsyat. Buktinya, dia menjadi orang yang introvert, menarik diri dari pergaulan, dan suatu saat dia harus berkamuflase untuk mewujudkan niat jahatnya. Ada baiknya setiap orangtua atau calon orangtua yang sebentar lagi punya anak untuk merenungi ungkapan  Dorothy Law Nolte berikut ini.

“CHILDREN LEARN WHAT THEY LIVE”

Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian,ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,ia beajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

(https://www.facebook.com/notes/sipti-amari/anak-belajar-dari-kehidup-annya-sebuah-pengakuan/247617806114/ )

Agar anak tidak punya kebiasaan memaki-maki orang, menyakiti atau berkelahi, rendah diri, dan menyesali diri (mengakui dirinya sebagai anak yang tak berguna atau anak pembawa sial) sebagai orangtua jangan meniru yang telah dilakukan orangtua Gambir. Karena itu, anak jangan dicela, dimusuhi, dicemooah (direndahkan), atau dihina (apalagi melakukan tindakan kekerasan pada anak sehingga anak mengalami cacat fisik. Tapi, sebagai orangtua  harus membesarkan anak dengan toleransi, motivasi, pujian, perlakuan yang baik, menciptakan rasa aman, memberikan dukungan dan kasih sayang. Dengan cara seperti itu anak akan terselamatkan dari penyakit baik psikopat maupun sosiopat. Semoga dari novel Pintu Terlarang banyak orang yang mau belajar untuk menghindari kekerasan pada anak. Wallahu `alam bissawab.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *