Subagio S.Waluyo
Kejujuran mata uang yang berlaku di mana-mana. Adagium itu sampai sekarang ini masih melekat di benak setiap orang ketika berbicara tentang kejujuran. Adagium itu meskipun masih melekat, tapi dalam prakteknya banyak orang yang sudah membuang jauh-jauh yang namanya kejujuran. Banyak orang yang beranggapan kalau seseorang mau lulus ujian, mau punya harta melimpah, mau punya kedudukan terhormat, atau mau tetap bertahan sebagai pejabat singkirkan kejujuran itu. Buang kata kejujuran ke tempat yang jauh. Adagium yang masih melekat di benak orang akhirnya hanya sebatas simbol yang tidak bermakna sama sekali.
***
Adagium tentang kejujuran memang sudah luntur di masyarakat. Adagium itu sudah dianggap asing. Orang yang kerasukan budaya konsumtif sudah tidak peduli dengan adagium tentang kejujuran. Kalau didapati ada orang yang jujur, mereka akan mencibirnya. Buat mereka orang yang jujur lebih merupakan penghambat dalam melicinkan niat-niat buruk mereka. Niat-niat buruk mereka dalam hal ini bisa jadi berkaitan erat dengan perilaku nepotisme. Orang-orang yang menganut nepotisme pasti menginginkan segala cara karena yang ada di benaknya adalah cara memperoleh sesuatu dengan cara yang mudah. Kalau cara-cara yang halal tidak bisa dilakukan, cara-cara yang haram juga boleh dilakukan asalkan keinginannya tercapai. Sebagai tambahan, perlu juga diketahui, orang-orang yang punya penyakit seperti itu bukan hanya di kalangan orang-orang tua, orang-orang muda sekalipun berpendidikan tinggi (termasuk insan akademis) juga punya perilaku yang sama, yaitu punya kecenderungan menghalalkan segala cara. Orang-orang yang menghalalkan segala cara bisa disebut orang-orang pragmatis.
Dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit seorang insan akademis yang jujur (yang memiliki integritas) akan berhadapan dengan entah atasannya atau sesama koleganya yang cenderung pragmatis. Orang yang pragmatis adalah orang yang lebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan dan ajaran atau boleh juga orang yang lebih menitikberatkan pengalaman hidup daripada prinsip yang muluk-muluk, yang melayang-layang di udara (A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dari A Sampai Z, 2001:189).Orang yang pragmatis bisa juga dikatakan sebagai orang yang diragukan integritasnya. Orang yang pragmatis lebih disebabkan oleh rasa kecewa terhadap kenyataan hidup. Bisa juga orang menjadi pragmatis karena lemahnya iman.
Insan akademis yang pragmatis (karena imannya lemah) bisa melakukan segala cara. Kalau sudah seperti itu, insan akademis yang pragmatis bisa menjadi insan akademis yang bertindak serba boleh atau penganut paham permisivisme. Permisivisme adalah sikap, pandangan, pendirian yang berpendapat segala cara hidup, perilaku, perbuatan yang melanggar prinsip, norma, dan peraturan (etis) boleh saja dilakukan (A.Mangunhardjana, 2001: 182). Jadi, para insan akademis yang tidak jujur, yang cenderung pramatis, tidak aneh kalau mereka juga melanggar aturan. Insan-insan akademis yang pragmatis, sekaligus permisif, tidak juga aneh kalau melakukan kebohongan. Bentuk-bentuk kebohongan yang sering dilakukan orang-orang yang pragmatis dan permisif, di antaranya adalah khianat, mungkir (tidak menepati janji), kesaksian palsu, fitnah, dan menggunjing (Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, 1999:86-88). Dengan demikian, insan akademis yang pragmatis dan permisif adalah insan akademis yang mempunyai penyakit di dalam hatinya.
Bagaimana supaya terhindar dari dua penyakit itu (pragmatis dan permisif)? Tidak ada cara kecuali menggali kembali nilai-nilai agama yang berkaitan dengan akhlak. Agama sudah jelas mengajarkan bahwa orang yang beragama secara benar, yang juga dibuktikan dengan ibadah yang benar akan menampilkan akhlak yang juga benar. Kalau masih ada orang yang berakhlak buruk, itu menunjukkan bahwa ibadah yang dilakukannya juga masih buruk. Jadi, ada saling keterkaitan antara ibadah dengan akhlak. Dengan demikian, orang yang berakhlak baik menunjukkan ibadahnya juga baik sehingga orang seperti itu bisa dikatakan telah beragama dengan baik.
Insan akademis yang beragama dengan baik dan benar juga tidak akan mungkin melakukan cara-cara ilegal, misalnya, untuk memenuhi persyaratan pengurusan seperti akreditasi, baik di tingkat prodi maupun PT. Dia juga tidak mau memanipulasi data dengan melakukan cara-cara yang tidak terpuji. Dalam hal ini walaupun banyak kemudahan untuk mengakses data dari internet, karena memiliki integritas, dia tidak mau memanfaatkannya dengan melakukan pencurian data (copas). Insan akademis jenis ini masih memiliki integritas karena berprinsip lebih baik bekerja keras daripada melakukan cara-cara yang cenderung pragmatis dan permisif. Dengan menghindari dua kata ini, dia bisa menjadi ilmuwan yang telah banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dipelajari dan diajarkannya pada anak didiknya.
***
Insan akademis yang masih memiliki integritas tentu saja akan lebih mengedepankan mental corporate mindset. Insan akademis jenis ini bukan termasuk golongan steady (fixed) mindset karena tidak terkurung pengalaman masa lalu. Untuk itu, insan akademis yang sampai saat ini masih belum bisa mengeluarkan dirinya dari kungkungan pengalaman masa lalu tentu saja akan melakukan cara-cara pragmatis dan permisif. Insan akademis jenis ini jelas diragukan integritasnya. Agar menjadi insan akademis yang memiliki integritas, dia harus rutin melakukan introspeksi diri: apakah selama ini perbuatannya sudah sesuai dengan tuntunan dan tuntutan agama?