Subagio S.Waluyo
Instantisme seperti yang disampaikan penulis dalam “Catatan dari Menara Gading (13)” adalah sikap yang menuntut segala yang dimaui ada seketika (A. Mangunhardjana dalam Isme-Isme dari A Sampai Z, 2001:113). Dengan melihat pada pendapat A. Mangunhardjana bisa disimpulkan kalau instantisme sama dengan mentalitas menerabas. Bisa juga dikatakan karena didasari mentalitas menerabas, orang memiliki sikap yang menuntut segala yang dimauinya ada seketika. Di tulisan itu Penulis juga menyampaikan bahwa orang yang sudah terjangkit instantisme tidak akan sabar melakukan sesuatu dengan tekun, sabar, dan tetap konsisten meskipun hanya menulis, misalnya, sebuah buku teks PT. Hal itu sesuai dengan pendapat yang disampaikan A. Mangunhardjana (2001:116) bahwa instantisme dapat memperlancar hidup, menghemat waktu, tenaga, bahan, dan uang. Dengan melihat pada pendapat tersebut wajar-wajar saja kalau sebagian besar orang (termasuk insan akademis) yang cenderung bersikap instantisme.
***
Di atas telah disebutkan kalau instantisme dapat memperlancar hidup, menghemat waktu, tenaga, bahan, dan uang. Boleh jadi banyaknya insan akademis menjalani praktek instantisme melihat hal-hal yang positif dari instantisme (walaupun melakoni sikap seperti itu tidak bisa dibenarkan). Ketika dilakukan akreditasi, misalnya, baik program studi maupun universitas seperti yang Penulis sampaikan di “Catatan dari Menara Gading (03)”, para pejabat struktural dibantu para insan akademis dan karyawan PT menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk keperluan akreditasi. Pada saat bahan-bahan yang dibutuhkan (borang-borang) masih dirasakan kurang, mereka tidak mau mengambil bahan dari luar prodi atau universitas. Kalau di tingkat prodi, bisa saja mereka mengambil bahan dari prodi yang ada di universitas tersebut. Kalau tidak dapat, terpaksa mereka meminjam/mengambil dari luar universitas asalkan prodinya masih sejenis. Terus bagaimana dengan yang di level universitas? Mereka yang sudah terlanjur stigma penganut instantisme akan meminjam/mengambil data dari PT lain. Tentu saja yang dipinjam/ diambil datanya dari PT yang akreditasinya `Unggul`. Tidak mustahil demi memenuhi borang-borang akreditasi insan akademis melakukan tindakan tercela apalagi kalau bukan meng-copas bahan dari internet. Bukankah itu pekerjaan jalan pintas yang paling gampang dilakukan?
Kebijakan yang ditempuh insan akademis dalam `mengakali` borang-borang akreditasi di satu sisi memang menguntungkan. Tapi, di sisi lain, karena praktek-praktek seperti itu jelas-jelas ilegal akan menciptakan insan akademis yang malas bekerja. Dalam hal ini malas bekerja bukan berarti malas mengajar bagi para dosen atau malas belajar bagi para mahasiswa, melainkan mereka malas menjalankan secara sebenarnya tri dharma kedua (penelitian) dan ketiga (pengabdian masyarakat). Memang, mereka mau melakukan penelitian dan pengabdian yang dibiayai, baik oleh prodi, fakultas, universitas, maupun instansi pemerintah/swasta. Jika prodi, fakultas, atau universitas sekalipun tidak menyediakan dana, mustahil mereka mau melakukannya. Singkatnya, mereka mau melakukan kedua dharma di atas karena dibiayai. Selain itu, karena tuntutan sertifikasi dosen (serdos) bahwa setiap dosen harus mengisi butir-butir yang berkaitan dengan penelitian dan pengabdian masyarakat, mereka lagi-lagi sibuk mencari berkas-berkas dari mana saja (kalau bisa dari hasil copas di internet) atau lewat `biro jasa`, baik yang ada di PT tempat sang dosen mengajar maupun dari luar PT.
Sikap instantisme yang dianut oleh sebagian besar insan akademis kalau diteliti lebih jauh, boleh jadi lebih disebabkan oleh budaya baca dan tulis yang sudah lama ditinggalkan. Sebagian besar mereka minim membaca tuntas (termasuk membaca kritis) apalagi menulis. Kalau diminta menulis jurnal untuk keperluan serdos, sudah bisa ditebak mereka akan menggunakan `biro jasa`. Sebagai ilmuwan tidak usah mungkir kalau sangat bergantung pada `biro jasa`. Jangankan untuk menulis jurnal, ketika menulis tesis atau disertasi juga bisa dipastikan berhubungan dengan `biro jasa`. Perilaku seperti itu wajar-wajar saja kalau ditiru oleh sebagian besar mahasiswanya. Bukankah memang ada adagium `guru kencing berdiri`, murid kencing berlari`?
Sebenarnya untuk melakukan penelitian dan pengabdian tidak susah-susah amat. Kalau ada kebiasaan menulis, kenapa tidak coba-coba menulis di website/blogspot seperti yang dilakukan Penulis sampai saat ini? Nanti dari tulisan-tulisan yang ada website/blogspot dikumpulkan jadi buku. Kalau memang serius mau menulis buku teks, juga bisa dari menulis di website/ blogspot. Modal utamanya ada kemauan. Siapa saja orang kalau memang ada kemauan pasti ada jalan. Selain itu, biasakan sebagai ilmuwan membaca apa saja karena dengan membaca akan memperluas wawasan. Dengan membaca akan menemukan sekian banyak, misalnya, fenomena sosial yang kelak bisa dijadikan bahan tulisan. Jadi, tidak harus terpaku untuk bikin penelitian yang dibiayai oleh prodi, fakultas, universitas, dan berbagai instansi pemerintah/swasta. Bukankah dengan menulis seorang ilmuwan juga sudah melakukan penelitian? Tentang pengabdian, seorang ilmuwan coba membuat proposal ke salah satu, misalnya, LSM untuk ikut bantu-bantu sebagai relawan. Di kota-kota besar di negara ini ada ratusan LSM yang sangat membutuhkan uluran tangan ilmuwan dari PT. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi ilmuwan untuk melakukan apapun demi memenuhi tuntutan dharma kedua dan ketiga.
***
Instantisme memang ada unsur positifnya. Tapi, juga tidak sedikit unsur negatifnya. Sebagai insan akademis, sikap ini harus disingkirkan. Instantisme jelas tidak bisa dijadikan budaya oleh siapapun (apalagi para insan akademis). Kalau sampai menjadi budaya, instantisme akan merusak seluruh bidang kehidupan manusia. Agar terhindar dari instantisme, insan akademis harus mengubah mindset-nya. Mindset yang cenderung ingin sesuatu itu lebih cepat, lebih hemat, dan memperlancar segala urusan harus diganti dengan kerja keras. Dengan kerja keras setiap insan akademis akan memperoleh sesuatu yang terbaik. Dengan kerja keras setiap insan akademis bersih dari perilaku buruk. Juga dengan kerja keras setiap insan akademis akan selalu mendapat keberkahan. Wallahu a`lam bissawab!
Sumber Gambar: