Subagio S.Waluyo

Di saat-saat berselancar di dunia maya, tampaknya ada kebiasaan baru di kalangan insan akademis yang nyaris menjadi sebuah budaya, yaitu copy paste atau copas. Kebiasaan ini bisa menjadi budaya atau telah membudaya di kalangan mereka terutama pada saat harus mengerjakan tugas atau ujian. Tugas-tugas yang kerap mereka kerjakan (baik di kalangan mahasiswa maupun dosen) sebagian besar merupakan produk dari copas. Terkadang jika ada dosen yang demikian teliti memeriksa pekerjaan mereka (dengan catatan dosen tersebut juga tidak gagap teknologi) ternyata pekerjaan mereka lebih merupakan hasil copas dari berbagai sumber. Boleh jadi yang mereka kerjakan merupakan paper atau laporan hasil penelitian orang lain yang diunggah di website. Memang, ada beberapa bahan yang diperoleh dengan berbayar tetapi juga tidak sedikit yang gratis. Pekerjaan insan akademis yang katanya sangat menjunjung nilai-nilai akademis jelas-jelas tergolong cybercrime `kejahatan virtual`.

***

Sebenarnya yang melakukan kejahatan virtual bukan hanya mahasiswa, dosen sebagai ilmuwan yang telah `mumpuni` ilmunya juga sama. Kejahatan virtual yang dilakukan mahasiswa dan dosen (sebut saja mereka insan akademis) di kampus lebih pada kejahatan melakukan budaya copas. Budaya copas bisa terjadi di kampus lebih karena masih lemahnya pemahaman insan akademis tentang undang-undang terkait dengan Hak Cipta (Undang-undang Nomor 28 tahun 2014  tentang Hak Cipta). Selain itu, minimnya budaya baca dan menulis di kalangan insan akademis. Sebagai tambahan, sebagian para insan akademis masih bercokol mentalitas menerabas dan belum memperoleh manfaat dari ilmu yang digelutinya selama ini.

Tentang minimnya budaya baca di kalangan insan akademis sudah bukan barang baru lagi. Sejak munculnya telepon seluler (ponsel) dan tablet, ada kecenderungan di kalangan insan akademis menghilangkan kebiasaan baca menjadi kebiasaan buka-buka ponsel atau tablet untuk mencari data. Bukankah di setiap ponsel atau tablet  dilengkapi dengan salah satunya mesin mencari data: google search? Lewat google search sang insan akademis sangat terbantu manakala mencari entah kata atau data apapun. Lewat google search juga insan akademis bisa mencari buku-buku (ebook), hasil-hasil penelitian (laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan sebagainya), atau berbagai media online yang memang sangat mudah mendapatkannya. Kalau memang ada kebiasaan membaca sampai tuntas, misalnya, ebook yang didapatkannya dari google search, berarti insan akademis seperti itu masih memiliki budaya baca. Tapi, kalau sekedar membaca sebagian atau hanya ingin mengetahui isinya, berarti insan akademis ini sudah terkena sindrom hilangnya budaya baca. Bahkan, banyak juga di kalangan insan akademis jangankan membaca ebook, membaca whatsapp (WA) yang agak panjang saja sudah malas untuk menuntaskannya. Karena itu, tidaklah aneh kalau budaya menulis di sebagian kalangan akademis juga menghilang.

Hilangnya budaya menulis selain tersedianya sarana yang lebih mudah lewat ponsel atau tablet, juga karena masih bercokolnya mentalitas menerabas di kalangan insan akademis. Dimaksudkan dengan mentalitas menerabas menurut Koentjaraningrat (Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, 2015: 52) ialah mentalitas yang bernafsu mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha. Mentalitas menerabas sama dengan instantisme (A. Mangunhardjana dalam Isme-Isme dari A Sampai Z, 2001:113) sikap yang menuntut segala yang dimaui ada seketika. Insan akademis yang sudah terkena sindrom mental menerabas (instantisme) melakukan sesuatu dengan sabar, selangkah demi selangkah, atau menunggu dengan waktu yang baginya cukup lama merupakan sesuatu yang sulit dijalankan. Artinya, mereka tidak akan sabar melakukan sesuatu dengan tekun, sabar, dan tetap konsisten meskipun hanya menulis, misalnya, sebuah buku teks PT. Apakah sebuah PT yang memiliki visi, misalnya, menjadikan PT unggulan di tahun 2025 akan terwujud kalau budaya menulis saja mengalami kemandegan? Bahkan, yang lebih parah lagi kalau terbukti ternyata insan akademis di sebuah PT belum memperlihatkan adanya perubahan sikap. Dalam hal ini masih bercokol di kalangan insan akademis mentalitas menerabas yang juga merupakan bukti bahwa mereka belum sama sekali memperoleh manfaat dari ilmu yang mereka geluti.

***

Insan akademis yang memperoleh manfaat dari ilmu yang digelutinya tidak akan mau melakukan cara-cara yang tidak bermoral (menerabas). Biar bagaimanapun ilmu yang selama ini digelutinya akan memberikan dampak terhadap pembentukan moral atau unsur moral harus mempengaruhinya selama mereka menggeluti ilmunya. Selama ilmu yang digeluti insan akademis tidak memberi dampak pada perilakunya, selama itu juga akan ditemui cara-cara ilegal dalam menjalankan tri dharma PT. Insan akademis yang berada di PT yang selayaknya menjadi contoh terbaik dalam menjalankan tri dharma PT  karena masih belum bisa mengambil manfaat dari ilmu yang digelutinya, tidak mustahil visi dan misi yang diemban PT tersebut hanya sebatas slogan atau kalimat-kalimat tanpa makna. Naudzubillahi min dzaalik!

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *