Subagio S. Waluyo
Ada apa dengan idealisme ilmuwan? Apakah idealisme ilmuwan masih ada atau memang sudah mulai luntur. Kalau memang mengalami kelunturan, mengapa bisa terjadi kelunturan idealisme ilmuwan? Terus, apa yang harus dilakukan agar terjadi konsistensi idealisme ilmuwan? Serentetan pertanyaan akan berseliweran di hadapan setiap orang yang menghendaki agar ilmuwan tetap menjaga idealismenya. Tetapi, apakah mungkin di tengah kehidupan yang konon kabarnya serba materi ini masih bisa dipertahankan idealisme ilmuwan?
***
Lantaran terhipnotis oleh materi bisa saja seorang ilmuwan menjadi orang yang ambigu. Ambigunya di sini: apakah sang ilmuwan akan tetap bertahan di posisi civil society atau subordinasi penguasa? Karena terhipnotis oleh materi, sang ilmuwan memilih menjadi subordinasi penguasa. Kalau sudah seperti itu, sang ilmuwan sudah luntur idealismenya. Jadi, sudah bisa dijawab faktor penyebab lunturnya idealisme seorang ilmuwan. Dengan kata lain, ilmuwan jenis ini bisa ditebak kalau ujung-ujungnya pada materi. Masukkan saja ilmuwan jenis ini sebagai ilmuwan materialisme (bahasa kerennya: `matre`).
Ilmuwan `matre` bukan hanya mengharapkan materi (dalam hal ini hanya uang), tapi juga jabatan, kedudukan, dan kehormatan. Karena tujuan hidupnya mengarah pada materi, orang tidak usah heran kalau suatu saat sang ilmuwan lebih melihat orang yang dihadapinya. Tidak usah heran juga kalau ada kecenderungan menyepelekan orang yang dianggap lebih rendah kedudukannya. Juga tidak usah heran kalau orang jenis ini telah mematikan sikap kritis objektif akademis. Kok, bisa-bisanya ilmuwan yang materialisme mematikan sikap kritis objektif akademis?
Ilmuwan yang sudah kadung menjadi penganut materialisme bisa dipastikan menyepelekan hasil-hasil kerja akademis yang ditopang penelitian yang bermutu. Buat ilmuwan jenis ini, karena sudah terbius oleh sikap yang serba pragmatis-permisif (lihat tulisan “Ilmuwan Pragmatis-Permisif”) mau tidak mau akan mengesampingkan hasil-hasil penelitian. Buat dia hasil-hasil penelitian hanya digunakan sebagai bahan referensi di saat menulis entah buku atau jurnal atau laporan penelitian. Hasil-hasil penelitian yang dijadikan referensi dalam penulisan tidak pernah diimplementasikan dalam kerja-kerja akademis. Dalam pembelajaran, misalnya, mereka-mereka yang sudah kadung menjadi pengikut setia perilaku pragmatis-permisif, jangan diharap akan menerapkan yang diperolehnya, baik dari hasil penelitiannya maupun dari hasil mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah. Sang ilmuwan baru benar-benar mau mengikuti arahan dari orang atau instansi yang menyampaikannya kalau memberikan keuntungan materi buat dirinya atau PT-nya.
Sang ilmuwan tanpa disadarinya telah membuat goyahnya pilar-pilar keilmuan. Goyahnya pilar-pilar keilmuan lebih disebabkan oleh kemalasan sang ilmuwan selaku akademisi. Mereka yang seharusnya mempertahankan sendi-sendi intelektual, kebudayaan, dan moral karena kemalasannya telah mematikan ruh idealisme. Ruh idealisme yang bisa mewujudkan universitas sebagai ujung tombak demokrasi telah hilang. Ujung tombak universitas itu telah tumpul. Ketumpulan itu dicirikan dengan munculnya sikap ambigu di antara para ilmuwan, yaitu antara civil society dan subordinasi penguasa.
Ilmuwan yang tidak memiliki ruh idealisme sudah beralih dari akademisi menjadi pengusaha. Karena sudah menjadi pengusaha, tidak usah heran kalau banyak didapati ilmuwan yang berperilaku pengusaha. Bagaimana kalau sang ilmuwan telah menjadi pengusaha? Bisa ditebak, akan muncul dalam dirinya keserakahan (lihat “Menciptakan Ilmuwan yang tidak Serakah”). Ilmuwan jenis ini bisa dipastikan sebagai ilmuwan amoral. Ilmuwan amoral sudah pasti akan menghalalkan segala cara. Ilmuwan jenis ini jangan banyak diharap karena bisa dipastikan mereka-mereka ini tidak akan melahirkan karya-karya pemikiran autentik. Kalau ada karya-karya ilmiah yang diklaim sebagai hasil karyanya, bisa dipastikan mereka-mereka ini banyak melakukan copas dari berbagai bahan referensi di internet.
Wajar-wajar saja jika berbagai masalah kemasyarakatan tidak pernah terselesaikan karena sang ilmuwan cenderung tidak menghasilkan karya-karya ilmiah yang autentik. Sang ilmuwan yang berjiwa pengusaha tanpa disadarinya telah menciptakan menara gading. Sang ilmuwan telah membuat jarak dengan masyarakat sekitarnya. Sang ilmuwan telah tidak lagi menjadi bagian dari civil society. Sang ilmuwan lebih cenderung menjadi subordinasi penguasa. Dengan demikian, sang ilmuwan dengan ilmunya tidak/belum dapat memberikan pencerahan.
***
Setiap ilmuwan bisa dipastikan banyak meraup ilmu yang mencerahkan. Ilmuwan yang berhasil menempuh pendidikan doktor, misalnya, tentu saja bisa dipastikan memiliki kadar keilmuan yang lebih tinggi dari sebelumnya karena di bangku kuliah tertinggi itu sang ilmuwan memperoleh ilmu-lmu yang mencerahkan. Tapi, kenapa sekian banyak ilmu yang diperolehnya yang juga tentu saja berhasil mencerahkannya itu tidak memberi bekas sama sekali atau pencerahan buat orang sekitarnya? Sebagai bukti bahwa sang ilmuwan tidak/kurang memberi pencerahan adalah banyaknya problem masyarakat yang tidak terselesaikan. Bukankah hal itu yang ironis? Agar tidak terjadi hal yang ironis itu hanya ada satu cara, yaitu ruh idealisme itu harus ditiup ke setiap ilmuwan. Ruh idealisme itu hanya bisa ditiupkan kepada mereka kalau struktur pimpinan yang tertinggi (rektor, misalnya) di PT tempat mereka mengabdi bisa memberikan contoh teladan terbaik buat sang ilmuwan. Pimpinan PT itu telah menjadi panutan bagi bawahannyaWallahu a`lam bissawab.