Subagio S.Waluyo

Cerpen

Aku baru saja selesai salat duha, ketika tiba-tiba saja anakku nyeletuk.

“Yah, kita gak usah pasang bendera merah putih.”

“Lho, kenapa?”, tanyaku heran.

“Ayah tahu `kan negara kita banyak masalah?”, tanya anakku seolah-olah memancingku untuk meresponnya.

“Maksudnya?”, tanyaku penasaran.

“Iya, pasti ayah tahu kalo negara kita ini banyak masalah. Ayah tahu negara ini banyak hutangnya. Hutangnya itu gak dinikmatin rakyat banyak, tapi dikorup sama pejabat-pejabat negara. Rakyat kita tetap aja miskin. Selain itu, mereka yang korupsi vonisnya ringan. Mereka nanti pas bebas masih punya harta yang dulu dikorup. Terus, hukum gak adil. Dia diibaratkan pisau yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Ayah ngerti `kan maksudnya?”, tanyanya.

“Iya, ayah ngerti”, kataku. “Tapi, apa hubungannya dengan pasang bendera merah putih?”, tanyaku.

“Ya ada hubungannya Yah. Dengan pasang bendera merah putih kita seolah-olah mendukung mereka yang memperkaya dirinya dan keluarganya lewat korupsi. Dengan memasang bendera merah putih kita mendukung pejabat-pejabat negara yang bejat moralnya”, jelas anakku seperti menceramahiku. Aku hanya mengangguk-angguk mengakui kebenaran kata-katanya. Sejurus kemudian aku memberikan penjelasan.

“Kita harus bedakan negara dengan pejabat negara. Negara ini gak punya salah. Yang punya salah itu pejabat-pejabat negaranya. Jadi, dengan memasang bendera merah putih kita menghargai negara ini bukan menghargai pejabat-pejabat negara yang tadi kamu sebutkan telah bejat moralnya.”

“Kamu mengerti apa yang ayah katakan?”, tanyaku.

“Ya, aku ngerti. Kita musti bisa membedakan negara dengan pejabat negara”, katanya.

“Nah, kalo gitu, kita harus pasang bendera merah putih”, kataku.

“Iya, tapi kita pasangnya nanti aja pas 17 Agustus”, katanya.

“Ya, terserah kamulah”, kataku mengalah.

***

          Aku sempat tercenung dengan kata-kata anakku tentang pejabat-pejabat negara ini yang telah bejat moralnya. Aku harus akui memang negara ini dipimpin oleh pejabat-pejabat yang korup. Akibat dari perbuatan mereka-mereka yang tidak bertanggung jawab, berbagai kerusakan moral muncul di hadapanku. Di usiaku yang tidak lagi muda ini terkadang terbesit di benakku tentang kondisi bangsa ketika di masa orde baru yang memang tidak seperti sekarang ini demikian demokratisnya. Tapi, di saat itu korupsi hanya ada di lingkar kekuasaan pemerintah pusat. Sekarang ini korupsi bukan lagi hanya di lingkar kekuasaan sekitar pemerintah pusat, tapi juga sampai ke para anggota dewan baik pusat maupun daerah semuanya menikmati aliran dana yang sebagian berasal dari hutang-hutang negara. Mereka-meraka yang berada di pemerintahan daerah juga ikut-ikut korup. Sampai-sampai para kepala desa pun turut ambil bagian. Wajar-wajar saja jika hutang negara ini semakin besar. Jika dibandingkan dengan masa-masa  sebelumnya, jelas hutang negara saat ini jauh lebih besar. Bisa aku katakan hutang negara ini sudah mencapai rekor tertinggi sehingga layak mendapat penghargaan dari MURI.

          Aku juga sempat merenung sampai aku menemukan benang merah yang mengaitkan antara pimpinan yang rusak dan moral anak-anak bangsa yang semakin hari semakin tidak karuan. Aku yakin kerusakan moral anak-anak bangsa ini berakar dari pimpinan negara yang kucintai ini yang tidak memberikan contoh yang baik buat bangsanya. Aku yakin kalau saja mereka-mereka yang berada di tampuk kekuasaan berperilaku baik, Insya Allah rakyat yang dipimpinnya juga akan berperilaku baik. Tapi, yang kudapati kini membuat aku harus mengurut dada. Bagaimana aku tidak mengurut dada kalau setiap kali aku menyimak berita-berita, baik di media mainstream maupun medsos selalu ditampilkan berita-berita mengenaskan? Ada pejabat partai yang diberi amnesti karena terbukti melakukan suap. Ada pejabat negara yang divonis demikian ringan walaupun terbukti korupsi sampai ratusan triliun rupiah. Ada pensiunan polisi yang sudah jelas-jelas menabrak seorang mahasiswa sampai meregang nyawanya, tapi sang mahasiswa yang ditabraknya malah dijadikan sebagai terdakwa. Sang mahasiswanya sudah meninggal, kok jadi terdakwa? Ada hukuman ringan terhadap aparat keamanan yang telah menghilangkan nyawa ratusan suporter sepakbola ketika terjadi kericuhan. Ada permainan politik lewat bagi-bagi sembako dan uang pada rakyat tapi menggunakan APBN. Ada ini, ada itu yang membuat aku sendiri bukan hanya mengurut dada tapi pusing tujuh keliling melihat kondisi bangsa ini yang semakin hari semakin tidak jelas. Akhirnya, ada rasa khawatir di benak ini: jangan-jangan negara ini akan masuk ke dalam jurang negara gagal? Ujung-ujungnya aku hanya mengatakan `au ah gelap!`.

          Apakah aku harus hanyut pada kondisi negara yang tidak karuan ini seraya ikut terlibat untuk melakukan pemberontakan? Ah, pikiran seperti itu aku buang jauh-jauh. Masih ada yang harus aku perbuat. Aku gak mau seperti orang-orang yang sampai saat ini nyinyir di medsos mengeritik soal pejabat-pejabat negara yang culas. Buatku cukup hanya dibicarakan dengan anggota keluarga dan teman-teman dekatku.Aku juga gak mau terlibat dengan beberapa orang yang mengkritisi ijazah palsu sang mantan presiden karena aku yakin ujung-ujungnya orang-orang yang kritis seperti itu akan dikalahkan oleh kekuasaan. Aku harus melakukan yang lain, yang jauh dari sekedar mengkritisi. Buatku masih banyak yang dilakukan untuk membenahi bangsa ini.

***

          Ah, aku tak mau terbawa arus keadaan. Justru, aku mau melawan arus keadaan. Aku mau berbuat sesuatu yang bermanfaat bukan saja buatku, tapi juga buat orang lain. Aku mau hari-hariku yang tersisa sebelum dipanggil Allah bisa bermanfaat buat orang lain. Aku isi hari-hariku untuk melakukan yang terbaik. Bukankah dengan demikian aku juga punya peran mengisi hari kemerdekaan dengan sesuatu yang bermanfaat. Aku isi hari kemerdekaan dengan caraku sendiri sesuai dengan kemampuanku. Memang, peranku tidak sebesar beberapa teman yang telah bercokol sebagai anggota dewan yang kata orang telah banyak memperjuangkan aspirasi rakyat. Peranku juga tidak sebesar mereka-mereka yang menjabat entah sebagai kepala daerah atau sekelas menteri dan presiden. Tetapi, aku wajib merasa bangga karena aku memiliki peran mencetak generasi masa depan yang masih punya harapan, yang bersih dari dosa, dan tentu saja mereka merupakan horison yang selalu baru bagiku (meniru ungkapan yang digunakan Hartojo Andangdjaja dalam puisinya “Dari Seorang Guru kepada Murid-Muridnya”). Mereka anak-anak duafa yang ingin mengecap pendidikan tetapi tidak memiliki biaya. Kepada merekalah aku mengabdikan jiwa dan ragaku untuk mencetak generasi yang lebih baik dari generasiku yang dikatakan anakku sebagai pejabat yang bejat moralnya.

          Hari-hari berlalu begitu cepat. Tak terasa besok sudah memasuki hari ahad, hari Kemerdekaan ke-80 negara ini. Aku masih asyik dengan renungan tentang negara ini, apakah di Kemerdekaan ke-100 negara ini nanti akan terwujud Indonesia emas atau sebaliknya Indonesia cemas? Di tengah aku merenung, tiba-tiba saja istriku mengagetkanku dengan kata-katanya yang setengah berteriak.

“Bendera kapan tuh mau dipasang?”, serunya.

“Astagfirullah hal adziem. Ayah sampai lupa”, kataku.

“Iaudah pasang aja sekarang!”, seru istriku.

“Ya, segera ayah pasang.”

          Aku ambil batang besi pipa yang panjangnya kurang dari tiga meter. Aku ikatkan bendera merah putih di ujung pipa besi itu. Biar agak tinggi aku ikatkan dengan kawat di batang pohon yang kemarin aku tebang. Benderanya tidak terlampau besar. Tapi, aku sangat menghormatinya karena dari dua warna itu ada lambang yang selalu melekat dalam diriku. Berani untuk selalu melakukan kebaikan dan bersih dari segala hal yang akan mengotori hidupku.  

Kota Bekasi, Menjelang Hari Kemerdekaan RI.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *