Subagio S. Waluyo
Bulan kabangan ditandai dengan mega menutupi bulan tatkala bulan bersinar penuh pada purnama tanggal lima belas. Orang percaya pada ketika itu bencana akan datang dikarenakan raja penguasa para rakyat jelata meminta persembahan darah untuk membasuh segala dendam dan peneguhan atas kekuasaannya.
***
Bre Redana (BR) membuka cerpen “Bulan Kabangan” (BK) dengan kalimat-kalimat di atas. Sebagai sebuah prolog, BR ternyata berhasil memancing rasa penasaran pembacanya. Bagaimana tidak terpancing kalau di antara kalimat-kalimat tersebut ada ungkapan berbunyi “Orang percaya pada ketika itu bencana akan datang dikarenakan raja penguasa para rakyat jelata meminta persembahan darah untuk membasuh segala dendam dan peneguhan atas kekuasaannya.”? Apakah ada hubungannya BK yang ditandai dengan mega yang menutupi bulan di saat purnama tanggal 15 (bulan-bulan Hijriah) dengan penguasa yang zalim yang mempersembahkan darah demi melanggengkan kekusaannya? Apakah BR terlalu berlebihan mengait-ngaitkan bulan purnama yang tiba-tiba tertutup awan dengan peristiwa yang bersimbah darah Trunajaya? Meskipun demikian, cerpen yang ditulis BR merupakan interpretasi dari Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi Ing Taoen 1647 (Kaetjap Wonten Ing Tanah Nederlan Ing Taoen Welandi 1941). Karena sebuah interpretasi, sah-sah saja BR berupaya mengungkapkan sebuah potongan sejarah lewat sebuah cerpen. Kita tidak perlu membahas berpanjang lebar tentang kesahihan kisah yang ditulis pujangga asal tanah Jawa ini. Kita hanya ingin membahas cerpen yang ditulis BR ini yang bisa menjadi bahan masukan bagi penguasa di negara kita.
***
Kisah dimulai dari Trunajaya yang meneteskan air mata karena menyesali perbuatannya menentang kekuasaan Kerajaan Mataram yang pada waktu itu Amangkurat II atau Amangkurat Amaral sebagai rajanya. Trunajaya yang menyerah kalah, terpaksa mengikuti arahan baik istrinya, Kleting Wungu, maupun pamannya Cakraningrat. Kleting Wungu adik tiri Amangkurat II. Sedangkan Cakraningrat, sang paman, yang memimpin pengepungan di Bukit Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Jadi, baik istri maupun pamannya sama-sama sepakat meminta agar Trunajaya menyerah dan menyesali kesalahannya karena Amangkurat II tidak akan tega menghabisi nyawanya. Selain itu, ada jaminan dari pamannya bahwa dia akan melindunginya.
“Kalau kanda sudah merasa bersalah, mari menghadap baginda raja minta pengampunan. Menurut saya, baginda raja tidak akan tega membunuh kanda. Beliau pasti menaruh iba kepada saya. Kalau kanda tidak bersedia, biarkan saya yang menghadap dulu sendirian,” kata Klenting Wungu, istri Trunajaya yang masih terhitung adik tiri Amangkurat.
Suasana penuh ratap tangis mendadak terpotong oleh kehadiran Cakraningrat, paman Trunajaya, yang memimpin pengepungan Bukit Ngantang. Langsung Trunajaya menghaturkan sembah. Cakraningrat membimbing Trunajaya untuk berdiri dan dipeluknya sang keponakan ini. “Anakku, jangan khawatir dan bimbang hatimu. Kalau ada kemarahan baginda raja, biar aku yang memagarimu,” ucap Cakraningrat sambil menepuk-nepuk pundak keponakannya yang tulang punggungnya menjadi menonjol karena kurus, baju hitamnya berlepot lumpur.
Apa yang terjadi? Ternyata, masih ada dendam bagi sang raja. Dia masih teringat betapa sakit hatinya ketika Trunajaya menghinanya sebelum terkepung di Bukit Ngantang. Masih teringat ketika Trunajaya dengan lantangnya mengucapkan kalau Raja Mataram seperti tebu yang ujungnya saja tidak manis apalagi bongkotnya. Selain itu, Trunajaya juga dengan beraninya mengatakan kalau sang raja adalah trah petani yang dinilai tidak layak menjadi pemimpin di Pulau Jawa. Padahal selama ini Amangkurat II selalu membangga-banggakan dirinya trah petani dihina oleh Trunajaya. Bahkan, sang pangeran, Trunajaya selama ini mengaku dirinya adalah pangeran, berani-beraninya menghina kalau yang berhak menjadi raja itu keturunan Wishnu bukan sapi. Kata-kata itu yang membikin dirinya murka yang suatu saat pasti akan pecah.
“…Raja Mataram itu kalau diumpamakan tebu, ujungnya saja tidak manis, apalagi bongkotnya. Kamu trah petani, sebaiknya kembali ke ladang saja, macul. Pulau Jawa sudah tergariskan nasib, akan dipimpin Trunajaya.
“Hemmm…,” Amangkurat mendehem, kembali menyungging senyum. Itu pertanda kemarahannya memuncak. Baru kali itu seseorang mengaku pangeran. Belum pernah kepercayaan dirinya segoyah waktu itu. Kepercayaan atas asal-usul, dunia kecil dirinya di tengah dunia besar yang diam-diam sering diragukannya sendiri, menjadi miyar-miyur seperti pucuk bambu tertiup angin. Rasa kecil hati sempat menyergap: “Adakah aku memang tidak pantas menjadi raja?”
“Yang berhak di situ adalah keturunan Wishnu, bukan sapi….,” ledek Trunajaya.
Kata-kata itu terus terngiang di telinga. Senyumnya makin tipis, menjadi sisi lain dari murkanya yang sudah pasti akan pecah.
Memang peristiwa berdarah akibat murkanya sang raja itu terjadi. Dimulai dari basa-basi sang raja agar Trunajaya duduk mendekat. Setelah itu, sang raja sempat berpura-pura dengan mengatakan kalau seluruh tanah Jawa itu diminta Trunajaya yang memerintahnya. Sampai tiga kali sang raja menyampaikan hal yang sama. Trunajaya tetap saja tidak mau menerima dan tidak mau berbicara sepatah kata pun. Sampai-sampai Pangeran Selarong menegurnya. Ternyata, Trunajaya bersedia menerima permintaan tersebut. Tetapi, rupanya sang raja juga mengingatkan bahwa dia punya janji kalau keris Kyai Balabar sengaja tidak diganti kalau belum dihujamkan ke dada Trunajaya. Di sinilah letak kelicinan Amangkurat II. Ternyata, terbukti masih ada rasa sakit hati (dendam) Amangkurat II terhadap Trunajaya.
“Sebagai raja, aku tak punya dua ucapan. Ucapan saya yang sekarang, ya ucapan saya yang dulu, dan juga ucapan saya di masa datang. Aku pernah berucap, sewaktu zaman kemuliaan tiba, aku akan bertahta di dalam kerajaan saja, dan yang di luar ini, seluruh tanah Jawa, biar kamu yang menguasainya. Karenanya, terimalah titahku padamu untuk memerintah tanah Jawa ini. Terserah mau kamu apakan. Mangsa bodoa…”
Trunajaya tak berani berucap sepatah kata.Raja mengulangi pernyataannya sampai tiga kali, tapi Trunajaya tetap tidak mau menerima dan diam seribu bahasa.
Pangeran Selarong yang duduk di pinggir mengeluarkan kata-kata, “Trunajaya, apakah kamu tidak mendengar titah baginda? Kalau kamu trah perwira, harus menerimanya, kecuali kamu Cuma trah sudra. Ini titah baginda, di mana ada orang baik ingkar janji?”
Segera Trunajaya menghaturkan sembah,pertanda menerima titah tersebut. Semua yang hadir mengangguk-anggukkan kepala. Pangeran Selarong juga mengangguk-angguk, sambil berbisik-bisik pada kanan-kirinya.
Amangkurat melanjutkan kata-katanya.
“Sekarang permintaanku cuma tinggal satu. Ketika aku mengiringkan ayahanda ke Tegal dulu saat Keraton Kertasura kamu rebut, aku punya janji:keris Kyai Balabar ini sengaja tidak aku ganti atau beri sarung, kalau belum aku sarungkan ke dada kamu…”
Para pangeran dan petinggi istana yang memenuhi ruangan pertemuan segera menangkap maksud dan isyarat raja. Pangeran Selarong memberi isyarat dengan gelengan kepalanya kepada para pengawal. Seketika beberapa pengawal bergerak, menyeret Trunajaya untuk didekatkan sampai ke depan raja. Raja berdiri dari kursi, menyambut tubuh dengan wajah yang pucat pasi itu dengan tusukan keris Kyai Balabar. Tusukan tepat di dada, menembus punggung. Darah muncrat membasahi raja.
Tidak cukup sampai di situ, Amangkurat II juga memerintahkan para bupati untuk melakukan hal yang sama. Mereka serentak menghunuskan kerisnya dan mencabik-cabik tubuh Trunajaya sampai hancur seperti kain yang diurai benangnya. Para adipati juga mendapat jatah memakan jantung Trunajaya. Mereka yang datang terlambat karena tidak ada tempat lagi untuk menghunuskan kerisnya kebagian upaca melumurkan tubuh dan wajahnya dengan darah.
“Para bupati sekalian, sekarang giliran kalian. Kalian makan jantung makhluk celaka ini,” ucapnya dengan suara bergetar. Tanpa menunggu perintah dua kali, para bupati maju menyarangkan keris masing-masing ke tubuh Trunajaya. Dalam sesaat, tubuh Trunajaya telah tercabik-cabik bagai kain yang diurai benangnya satu-satu. Para adipati memakan jantungnya. Ketika Tumenggung Jangrana dan Tumenggung Anggajaya datang dari Pasuruan, keduanya sudah tak dapat tempat lagi di mana keris hendah ditusukkan. Mereka cuma kebagian upacara melumuri tubuh dan wajah dengan darah.
Sebagai penutup dari upacara pelampiasan dendam itu, Amangkurat II memerintahkan memenggal leher Trunajaya. Sang raja menenteng kepala Trunajaya ke tempat peristirahatannya. Semua selir disuruh menginjakkan kakinya ke kepala Trunajaya. Dini hari dia perintahkan para penumbuk padi memasukkan kepala Trunajaya ke lesung dan menghancurkan kepala itu. Begitu kejinya seorang penguasa di masa lalu sampai-sampai untuk melampiaskan dendam kesumatnya dia harus menghancurkan musuhnya sampai benar-benar hancur fisiknya. Jangankan manusia, alam semesta seperti bulan saja digambarkan oleh BR malu melihat kebengisan itu.
Sebelum Amangkurat meninggalkan ruangan, ia memerintahkan agar leher Trunajaya dipenggal, dan kepalanya dia tenteng menuju balai peristirahatan. Semua selir wanita simpanan dia suruh menginjakkan kakinya di atas kepala Trunajaya sebelum para wanita ini masuk ke peraduan. Dini hari nantinya, ia perintahkan kepala tersebut dimasukkan lesung dan dihancurkan.
Bulan menutup mukanya, malu melihat kebengisan ini. Mega berarak kian pekat menutup purnama.
Sungguh agung Keraton Mataram di masa lalu. Puja-puji atas kebesarannya terdengar di mana-mana.
Bulan kabangan mengambang di angkasa. Rakyat di desa-desa biasa berjaga-jaga – mengikuti petuah lama – untuk tidak jatuh tertidur pada petang hari saat bulan purnama.
Bulan kabangan mengisyaratkan masih ada dendam di muka bumi, tersimpan di dada para penguasa yang menjaga kekuasaannya dengan berpupur darah. Penyesalan, pengampunan,pemberian,dan apa saja yang berasal dari mereka adalah kepura-puraan.
Jangan tertidur, bersiap dan berwaspadalah ketika di angkasa menggantung bulan kabangan.
***
Lewat cerpennya BK, BR mau mengajak para pembacanya agar ketika berkuasa menghindari cara-cara kekerasan. Termasuk juga menghindari cara-cara otoriter dan diktator. Lebih jauh dari itu, BR juga mengajak kita untuk menjauhi sifat buruk seperti masih ada dendam. Seorang pemimpin di manapun dia berada kalau masih ada rasa dendam berarti dia penderita psikopat. Sangat berbahaya jika ada pemimpin penderita psikopat. Sang raja tanah Jawa, Amangkurat II, patut diduga penderita psikopat. Kalau bukan psikopat, begitu apiknya dia bermain peran meminta kesediaan sang tawanan, Trunajaya, mendekatinya. Kemudian dia berkata seolah-olah memberikan tawaran kekuasaan pada lawannya. Setelah itu, mulai terlihat perilaku yang sebenarnya, dia hunuskan keris Kyai Balabar-nya dan tanpa ba-bi-bu dia benamkan keris itu ke dada Trunajaya. Bukankah ini perilaku penderita psikopat? Di luar itu semua, ada sebuah konspirasi terselubung antara sang raja, Cakraningrat (sang paman), Pangeran Selarong, dan mungkin saja, istrinya, Klenting Wungu. Atau Klenting Wungu ditawan dan diintimidasi oleh sang raja dan seluruh pejabat publik di Kerajaan Mataram sehingga dia mau berkhianat? Pengkhianatan Klenting Wungu (kalau memang diduga berkhianat) jelas sebuah kejahatan terselubung. Rasa-rasanya istri yang setia tidak mau berkhianat yang mengakibatkan sang suami jadi korban kebengisan sang raja.
Kita tidak tahu persis kesahihan muatan sejarah yang terdapat dalam isi cerpen tersebut. Kita hanya mencatat bahwa dalam dunia politik yang berkaitan dengan kekuasaan, selalu saja diwarnai kekejian, ketamakan, dan kelicikan. Kita juga perlu mencatat bahwa dalam dunia politik untuk mempertahankan kekuasaan, seseorang bisa berlaku seperti yang dikatakan Nicollo Machiavelli, sebagai singa dan juga bisa sebagai kancil. Tidak usah aneh karena kekuasaan sampai-sampai orang yang saking maruknya pada kekuasaan, dia harus melakukan berbagai cara. Kalau cara-cara halus tidak bisa ditempuh, dia harus melakukan cara-cara kasar. Menghabisi lawan politiknya buat orang yang terlibat dalam kekuasaan bukan sesuatu yang baru. Buat mereka yang haus kekuasaan di zaman kiwari ini mereka juga melakukan hal-hal yang sama. Mereka ingin berkuasa dengan cara mengurangi sesedikit mungkin orang-orang yang menjadi lawannya. Tanpa disadari, ternyata mereka sudah mewujudkan oligarki. Tidak mustahil, demi melanggengkan kekuasaan pasti terbetik di benak sang penguasa untuk mewujudkan negara totaliter. Kalau sudah terwujud tinggal melanggah sedikit lagi ke arah negara yang otoriter dan diktator.
Menjadikan negara (bisa juga daerah) yang mengarah pada oligarki, totaliter, otoriter, dan diktator jelas menghancurkan demokrasi. Demokrasi yang digadang-gadang sebagai cara paling ampuh dalam mengelola negara ternyata jangankan di negara kita, di negara Paman Sam (Amerika Serikat) yang konon kabarnya paling demokratis pun sekarang perlu dipertanyakan kekonsistenannya. Donald Trump dalam Bagaimana Demokrasi Mati/Steven Levitsky dan Daniel Ziblat (2019:152-153) menyebutkan kalau Trump jelas-jelas menunjukkan permusuhan mencolok terhadap para wasit (dalam hal ini penegak hukum), intelijen, badan etika, dan pengadilan. Dia memastikan bahwa para kepala badan intelejen AS, termasuk FBI, CIA, dan National Security Agency bakal setia secara pribadi kepadanya dengan harapan menggunakan badan-badan itu sebagai perisai untuk melindungi diri dari penyelidikan terkait dugaan hubungannya dengan Rusia dalam kampanye yang dia lakukan tempo hari. Belum cukup sampai di situ, ternyata trump juga mencoba membersihkan lembaga-lembaga yang independen. Dengan demikian, semakin jelas bukan, kalau biang penganut demokrasi sendiri pun sudah diragukan kekonsitenannya menegakkan demokrasi? Buktinya, Trump sendiri pun berupaya menundukkan lembaga-lembaga independen. Tidak mustahil dia juga berupaya mendekati kelompok-kelompok oposisi agar tidak mengganggu jalannya pemerintahan yang saat ini di bawah kepemimpinannya.
Dalam alam demokrasi sah-sah saja jika ada sebagian kelompok yang ingin beroposisi. Sekarang tinggal sang penguasanya saja apakah oposisi dianggap sebagai musuh? Baik di tingkat nasional maupun daerah orang boleh-boleh saja beroposisi. Sepanjang mereka yang beroposisi tidak menganggap orang-orang yang berkuasa sebagai musuh tidak ada masalah. Mereka yang beroposisi berperan sebagai pengawas. Mereka mengawasi jalannya kekuasaan. Kalau di level daerah, mereka mengawasi sampai sejauh mana sebuah kebijakan diimplementasikan oleh pemerintah daerah (gubernur, walikota/bupati)? Kalau memang ada kebijakan yang belum diimplementasikan atau menyimpang dari yang digariskan dalam kebijakan apa salahnya diberi masukan? Pemerintah yang berkuasa tidak perlu `baper` kalau ada kritikan. Tidak perlu berang. Apa lagi sampai menyebut mereka-mereka yang dianggap berseberangan dengan istilah-istilah yang kasar, entah pembangkang, radikal, atau teroris. Jadi, kalau ada kritikan terima saja. Kalau memang ada kesalahan diperbaiki. Tidak usah membikin suasana tambah `runyem` karena ada kritikan atau masukan. Di alam demokrasi ini bebas kok orang mau menyampaikan apapun sepanjang dalam penyampaiannya terbilang santun dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena kita hidup di alam demokrasi, orang-orang akademis silakan saja melakukan penelitian yang berkenaan dengan kebijakan-kebijakan baik di level daerah maupun nasional. Hasil penelitiannya jangan hanya tersimpan di arsip tapi diseminarkan. Masyarakat di luar perguruan tinggi biar tahu hasil penelitian segelintir `orang-orang pintar` tentang perkembangan ekonomi, pendidikan, sosial, atau politik sekalipun yang terjadi baik di daerah maupun di negara ini.
Kalau ada kebijakan pemekaran daerah di sebuah provinsi atau kabupaten, kemudian ada kalangan akademis yang mau melakukan penelitian pihak pemerintah harus mendukungnya. Walaupun hasilnya nanti ada kemungkinan sedikit mengkritisi kebijakannya, pemerintah tidak perlu berkecil hati. Pemerintah juga tidak perlu naik pitam karena hasil penelitiannya ternyata sedikit banyak menyinggung harga dirinya sebagai aparat pemerintahan. Jadi, pemerintah tidak perlu seperti Amangkurat II yang begitu dendam pada Trunajaya. Tipe penguasa seperti Amangkurat II itu tipe psikopat. Dia bisa berbaik-baik pada orang, tapi ternyata di balik kebaikan itu ada sesuatu yang membahayakan, yaitu melampiaskan dendam dengan cara menghabisi dan menghancurkan jasad orang yang menjadi musuhnya (oposisinya). Itu kalau oposisi disamakan dengan musuh. Kalau oposisi dinilai sebagai ruh yang bisa menumbuhsuburkan alam demokrasi, sikapnya tidak bisa demikian. Dia harus merangkul semua orang. Dia akan benar-benar konsisten bahwa kekuasaan itu sebuah beban atau amanah yang harus dijalankan. Untuk bisa menjalankan amanah tentu saja harus ada sistem check and balance. Dengan adanya sistem check and balance akan terjadi saling mengontrol dan menyeimbangkan pelaksanaan kekuasaan.
***
Berbicara tentang demokrasi belum lengkap kalau belum menyimak puisi yang berisikan kritikan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Rakyat menjerit ketika tanahnya digusur untuk kepentingan segelintir orang-orang elit yang berhasil mengendalikan negara/daerah. Mereka, kaum elit itu, berhasil menekan penguasa agar diizinkan mendirikan hotel, apartemen, supermarket, dan tempat-tempat hiburan. Caranya? Gusur tanah rakyat. Bayar dengan harga murah. Bukan hanya rakyat yang tinggal di perkotaan, para nelayan pun tak lepas dari penderitaan manakala mereka berhadapan dengan kapal-kapal besar yang siap menangkap ikan secara besar-besaran. Sementara nelayan kecil hanya bisa gigit jari karena mereka dengan peralatan seadanya memperoleh ikan juga seadanya. Rakyat kecil lainnya, seperti TKI, pedagang asongan, juga mengeluh tentang susahnya mereka mencari nafkah hidup. Tidak ada tempat bagi rakyat kecil untuk menggantungkan hidupnya. Mereka warga negara sendiri, tetapi mereka diasingkan (teralienasi) akibat para pemimpin yang serakah, haus harta, gila wanita, dan haus kekuasaan. Jadi, tidak ada lagi pemimpin yang bisa dijadikan teladan. Mereka, para pemimpin itu, cuma sibuk pencitraan untuk menutupi kebusukan. Para pemimpin negara ini telah gagal mewujudkan kedamaian, keamanan, dan kenyamanan buat warga negaranya.
Rintihan Rakyat
DI mana lagi kami rakyat bisa hidup, bila di kota tanah serta rumah kami digusur untuk dibangun hotel, apartemen, super market dan tempat hiburan.
Di mana lagi kami nelayan bisa memperoleh penghasian, jika laut sudah dipenuhi kapal-kapal besar penangkap ikan dari negeri luar dan pantai dikapling direklamasi
Di mana lagi kami rakyat bisa bekerja selain menjadi TKI, jika di dalam negeri kami dijadikan kuli, hidup seperti zaman kompeni.
Di mana lagi kami rakyat bisa hidup dengan berjualan rokok dan kopi, jika di samping kios kami sudah menjamur mal, Alfamart, Indomart, Seven Eleven dll.
Di mana lagi kami rakyat bisa membuka warung makan, jika usaha kami sudah dikelilingi Kentucky, Pizza Hut, McD dll.
Ke mana kami rakyat akan mengadu dan menggantungkan harapan, jika para pemimpin pada serakah, haus harta, gila wanita, rakus kuasa.
Ke mana kami rakyat harus mencari pemimpin teladan, jika mereka sibuk beriklan, membangun pencitraan untuk menutup kebusukan.
Ke mana kami rakyat mencari ketenteraman, jika negara gaduh tanpa henti dan negara cuma menjadi tameng kehidupan bagi mereka yang beruang.
Siapa yg mau dengar rintihan hati kami ini?
Apakah kami harus MATI TANPA MARTABAT DI NEGERI SENDIRI?
*Dari Catatan Petang Agus Jabo Priyono. Diedit menjadi puisi oleh M. Hatta Taliwang
(https://rmol.id/read/2016/03/16/239610/)
Penguasa negara ini yang telah bermitra dengan para pengusaha, bahkan telah dikooptasi oleh pengusaha, tidak usah `baper` kalau orang seperti WS Rendra dua puluh tahun yang lalu menulis bahwa rakyat negara ini belum benar-benar merdeka. Kenapa? Rakyat belum merdeka karena tidak punya perlindungan hukum. Hukum yang ada yang tidak sepenuhnya dikendalikan pengadilan karena pengadilan itu sendiri pun tidak mandiri alias bisa dikendalikan oleh penguasa atau pengusaha. Polisi pun sebagai aparat penegak hukum belum berhasil melindungi hak warga negaranya sehingga tidak ada rasa aman dan nyaman bagi warga negaranya. Lebih miris lagi ketika berhadapan dengan birokrasi. Para birokrat, pengendali birokrasi, masih menjadi abdi negara bukan abdi masyarakat. Wajar-wajar saja jika masih ada mental ABS atau budaya patronasme. Wajar-wajar juga jika warga negara ini enggan jika berhubungan dengan para birokrat yang telah terjangkiti penyakit patologi birokrasi.
Dengan puisi ini aku bersaksi
Bahwa rakyat Indonesia belum merdeka.
Rakyat yang tanpa hak hukum
bukanlah rakyat merdeka.
Hak hukum yang tidak dilindungi
oleh lembaga pengadilan yang mandiri
adalah hukum yang ditulis di atas air !
Bagaimana rakyat bisa merdeka
bila polisi menjadi aparat pemerintah
Dan tidak menjadi aparat hukum
yang melindungi hak warga negara ?
Bagaimana rakyat bisa merdeka
bila birokrasi negara
tidak menjadi abdi rakyat,
melainkan menjadi abdi
pemerintah yang berkuasa?
(https://normantis.com/2016/05/01/kesaksian-akhir-abad-puisi-ws-rendra/)
***
Kita tidak menghendaki ada penguasa seperti Amangkurat II yang demikian kejinya menghukum Trunajaya. Yang demi mempertahankan kekuasaannya sampai-sampai harus menghabisi lawan-lawannya dengan cara-cara yang di luar rasa kemanusiaan. Kita juga tidak menghendaki penguasa yang melecehkan nilai-nilai demokrasi dengan menghalalkan segala cara yang jelas-jelas telah melanggar hukum atau kebijakan negara. Kita tidak ingin ada penguasa yang secara diam-diam menghidupkan lagi oligarki sehingga tidak mustahil akan memunculkan totaliterisme model baru. Tidak mustahil dari situ juga akan muncul kediktatoran pola baru. Kita sudah banyak belajar dari pemimpin-pemimpin terdahulu yang saking lamanya berkuasa sampai-sampai rakyat ini masih saja hidup dalam keterbelakangan dan kesengsaraan. Kita berharap bangsa ini banyak belajar dari setiap peristiwa yang pernah dialami. Bukankah Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya:
Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).
(Ali Imran:137).