Subagio S. Waluyo
Sedari kecil terlalu dimanjakan orangtua, diberi berbagai fasilitas atau kemudahan sehingga merasa selalu mendapatkan apa yang diinginkan tanpa mempedulikan neraca kebutuhan, dan faktor lainnya.
Kehadiran ‘influencer’ di media sosial sangat mempengaruhi rasa kecemburuan untuk memiliki benda-benda mewah yang sebenarnya tidak sanggup untuk didapatkan sehingga memaksakan segala cara meskipun harus berutang.
Pergaulan atau bergaul dengan orang-orang yang memiliki standar hidup mewah, menggunakan barang-barang bermerek, sehingga muncul rasa minder ketika tidak sepadan dengan mereka. Akhirnya demi mengikuti pergaulan tersebut, Anda rela menghabiskan uang untuk membeli barang yang sama.
Menjamurnya akses keuangan bagi masyarakat untuk meminjam uang dan mencicilnya dengan mudah.
***
Beberapa waktu lalu, saya sempat melihat di kaca belakang angkot K-02 (Pondok Gede—Terminal Bekasi) ada tulisan “MEOK” yang buat saya tulisan tersebut tidak asing lagi karena tulisan yang sama di tahun-tahun 70-an pernah saya jumpai di Jembatan Merah,Tebet, Jakarta Selatan. Bagi saya yang waktu itu masih bersekolah di SLA ada sesuatu yang asing dengan tulisan itu. Saya sempat bertanya pada beberapa teman atau orang-orang yang lebih tua. Ternyata mereka tidak tahu apa yang dimaksud dengan “MEOK”. Saya juga sempat buka di Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh P.W.J. Poerwadarminta, ternyata jawabannya nihil alias tidak ada. Tulisan itu baru saya dapati ketika suatu saat di salah satu majalah terbitan Pusat Bahasa memuat tulisan tentang grafiti, yaitu corat-coret remaja di tembok atau di tempat-tempat terbuka umum yang terkadang disertai dengan gambar-gambar atau simbol-simbol yang menunjukkan jati diri mereka, ternyata kata tersebut merupakan sebuah akronim. Kata “MEOK” itu sendiri jika ditulis lengkap akan berbunyi `Makan Enak Ogah Kerja`.
Penulis grafiti “MEOK” saya kurang tahu apakah mereka termasuk dalam komunitas orang-orang yang tergolong “MEOK” atau yang berempati pada “MEOK” atau yang tidak suka kehadiran “MEOK”. Mungkin-mungkin saja penulis grafiti “MEOK” sudah tidak ada atau seandainya adapun usianya sudah lanjut (manula). Mudah-mudahan saja seandainya mereka sudah tua bukan lagi tergolong manusia “MEOK” karena akronim itu mencerminkan manusia yang cenderung malas mencari nafkah. Manusia yang ada kecenderungan mau hidup enak tanpa ada cucuran keringat. Manusia yang tentu saja tidak punya kemandirian. Manusia seperti ini boleh juga tergolong manusia yang `hedonis`. Mereka bisa juga dimasukkan sebagai penganut paham `hedonisme`.
Kata `hedonis` menurut A.Mangunhardjana (Isme-Isme dari A sampai Z, 1997:90-92) berasal dari kata `hedone` yang berarti `kenikmatan`. Semua bentuk kenikmatan yang dilakukan manusia secara pribadi, baik kenikmatan indriawi bagi orang-orang yang sensual, kenikmatan intelektual bagi para ilmuwan, maupun kenikmatan estetis bagi pencinta materi (kebendaan) disebut `hedonis`. Karena kenikmatan tersebut lebih bersifat pribadi, kenikmatan di sini menjadi perkara subjektif. Jadi, dalam hal ini orang-orang yang merasakan kenikmatan etis, moral, religius mereka tergolong `hedonis`. Namun, dalam kenyataannya kata tersebut mengalami penyempitan makna. Kata `hedonis` saat ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan sikap konsumeristis. Dengan kata lain kata `hedonis` selalu dikaitkan dengan budaya konsumtif. Manusia atau masyarakat yang menganut paham ini biasa disebut `konsumerisme` atau di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan sebutan `matre` (maksudnya materialistis). Sedangkan kata `konsumerisme` diartikan sebagai sikap hidup yang lebih mau menikmati daripada menahan, mengkonsumsi daripada memproduksi. Dengan demikian, orang yang `hedonis` karena sudah dipastikan disertai dengan pendekatan sikap `konsumeristis` lebih suka mendapat daripada memberi atau membeli daripada memproduksi/membuat sendiri.
***
Orang `hedonis` atau “MEOK” adalah orang yang lebih mengedepankan tangan di bawah daripada tangan di atas. Tipe peminta-minta karena tuntutan konsumeristis daripada orang yang tergolong pemurah karena suka memberi. Tipe manusia seperti ini adalah tipe yang tidak mau susah. Kalau perlu menghindari kesusahan atau penderitaan sekalipun karena hidup ini harus diisi dengan kesenangan dan kenikmatan bukan kesusahan dan penderitaan. Tipe manusia seperti ini adalah tipe orang yang tidak bisa memberi manfaat buat orang lain. Sebaliknya, dia menjadi jenis manusia yang selalu memanfaatkan kebaikan orang lain. Karena tidak bisa memberi manfaat buat orang lain, orang “MEOK” tidak memiliki rasa peduli. Ia lebih mementingkan diri sendiri. Ia tidak mau tahu kalau ada orang di sekitarnya meminta uluran tangan atau belas kasihannya. Ia cenderung bikin orang susah. Jadi, orang “MEOK” merupakan orang bermasalah yang bisa dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang berpenyakit sosial.
Orang “MEOK” karena ada kecenderungan untuk memperoleh sesuatu tanpa kerja keras, ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan kenikmatan sesaat. Di bidang politik orang-orang “MEOK” akan mempraktekkan cara-cara Nicolo Machiavelli untuk mendapatkan kekuasaan. Salah satu cara ajaran Nicolo Machiavelli yang dinilai tidak bermoral adalah untuk mendapatkan kekuasaan seseorang bisa melakukan apa saja, termasuk ke dalamnya melakukan cara-cara baik halus maupun kasar. Kalau perlu untuk mendapatkan kekuasaan sah-sah saja orang tersebut membunuh lawan politiknya. Kalau di negara ini, misalnya, dari pemilu ke pemilu atau pilkada ke pilkada selalu ada saja keributan, pasti faktor penyebabnya lebih disulut orang-orang yang tidak puas dengan hasil pemilu atau pilkada karena dianggap ada kecurangan. Unsur kecurangan tersebut jika ditelusuri lebih jauh lagi faktor penyebabnya karena masih dipraktekkannya cara-cara ala Nicolo Machiavelli, yaitu melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Itu baru di bidang politik. Bagaimana di bidang-bidang lainnya?
Kalau mau ditelisik demikian banyak di luar politik bidang-bidang kehidupan yang dilakukan orang-orang “MEOK” untuk memperoleh kenikmatan dunia dengan cara-cara yang ilegal. Meskipun demikian, kita tidak boleh terpesona bahwa hidup itu indah sehingga harus selalu indah. Atau hidup itu nikmat sehingga kita harus hidup dalam suasana kenikmatan. Kalau sudah demikian falsafah hidup kita, kita tergolong orang yang mendukung hedonisme. Hedonisme harus kita hindari karena hedonisme menjadikan kita sebagai hamba konsumerisme. Dengan kata lain, hedonisme menjadikan kita manusia yang kontraproduktif. Orang yang hedonis atau “MEOK” dari segi perilakunya sama dengan orang-orang yang ingkar pada Tuhannya (kafir) yang menikmati kesenangan dunia dan mereka makan seperti layaknya hewan makan (Surat Muhammad : 12).
***
Hedonis juga bisa dikaitkan dengan orang-orang yang hidupnya selalu mencari kenikmatan dunia tanpa kerja keras. Untuk mendapat kenikmatan dunia orang-orang hedonis karena memang tidak bekerja melakukan berbagai cara yang penting kenikmatan dunia bisa mudah diperolehnya. Orang-orang yang mementingkan kenikmatan dunia tanpa kerja keras juga banyak ditemukan dalam karya fiksi Indonesia. Sebut saja cerpen, misalnya. Di cerpen-cerpen koran, seperti Koran Kompas atau di Lakon Hidup yang ada di Google juga ditemukan cerpen-cerpen yang bermuatan gaya hidup hedonis. Ada sebuah cerpen yang berkisah tentang orang-orang hedonis. Di cerpen yang ditulis Aba Mardjani, “Sukro dan Sukra”, tokoh Sukra adalah orang yang memang jelas-jelas menunjukkan orang yang hedonis. Ketika Sukro, pekerja serabutan, suatu saat didatangi oleh Sukra ditawari pekerjaan pekerjaan yang ditawarkan jelas saja ditolak Sukro karena pekerjaan tersebut menanggung resiko tinggi:merampok yang bagi Sukro pekerjaan itu menakutkan. Sukro tampaknya masih memiliki keimanan karena selain merampok, Sukra juga pernah menawarkan pekerjaan yang lebih ringan, seperti pengedar narkoba. Tawaran ini lagi-lagi ditolak Sukro karena pekerjaan tersebut baginya merusak bangsa. Rupanya, Sukra yang dikenal menghalalkan segala cara tidak berhenti sampai di situ, dia juga menawarkan pekerjaan yang membikin kenikmatan bagi Sukro, yaitu mencarikan perempuan yang bisa memenuhi syahwat lima turis dari Jepang. Tawaran ini pun jelas-jelas ditolak Sukro karena menganggap itu pekerjaan haram.
Ketika Sukro menolak tawaran Sukra agar dicarikan perempuan yang bisa memenuhi syahwat lima turis Jepang tersebut, ada ucapan Sukra yang menunjukkan bahwa Sukra orang yang menghalalkan segala cara. Di antara ucapannya agar Sukro berpikir rasional karena selama ini dia bekerja keras hanya mendapatkan sedikit saja rezeki. Bahkan, rezeki yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Dia juga menyampaikan kalau pekerjaan yang ditawarkan tidak butuh kerja seharian. Cukup beberapa jam saja sudah diperoleh uang yang cukup besar. Selain itu, Sukra juga menawarkan (tawaran terakhir) agar Sukro mau menjadi pemuas nafsu seksual perempuan setengah baya (berondong) atau mau memenuhi syahwat seorang laki-laki yang tidak suka perempuan (gay, homo) yang masih tergolong muda (usianya dua-tiga tahun di atas Sukro). Lagi-lagi kedua tawaran itu ditolak oleh Sukro. Ini menandakan Sukro bukan jenis manusia hedonis karena ia lebih suka kerja keras daripada memperoleh sesuatu dengan cara yang tidak halal (haram).
Sukra tiba-tiba muncul lagi ketika aku sedang duduk berteduh dengan seplastik air dingin di tanganku. “Untuk apa kau bekerja keras kalau sebenarnya ada pekerjaan lain yang jauh lebih ringan dengan penghasilan yang jauh lebih besar,” kata Sukra sembari mengepulkan asap rokoknya.
“Merampok itu bukan pekerjaan ringan, Kra,” jawabku sinis. Sukra mengakak. “Kalau kau takut merampok, aku bisa memberimu pekerjaan lainnya. Ada banyak pilihan pekerjaan, Sukro. Itu kalau kau mau. Kalau tidak, selamanya hidupmu susah. Selamanya miskin.” Aku diam saja. Semilir angin membelai dan menyejukkanku. “Kalau kau mau,” Sukra meneruskan kalimatnya. “Jadi pengedar, misalnya. Ada ekstasi, sabu-sabu, ganja, atau apa saja yang dibutuhkan konsumen.” “Pekerjaan itu cuma merusak bangsa sendiri, Sukra!” aku membentak. Sukra mengakak lagi. “Kalau bukan kita yang melakukannya, orang lain yang mengambil alih. Sama saja. Apa salahnya justru kita yang mengambil kesempatan itu.” “Kesempatan merusak orang lain? Merusak bangsa sendiri?” “Sudahlah kalau kau memang tak tertarik,” Sukra membanting rokoknya. Lalu beranjak pergi dengan membawa derai tawanya. Sukra muncul lagi di hari ketiga ketika aku makan siang di sebuah warung Tegal. Ia langsung duduk di sebelahku. Tanpa basa-basi kepadaku, ia ikut memesan makanan. “Diajak merampok enggak mau, jadi pengedar enggak mau. Jadi maumu apa?” Sukra berkata kepadaku. Agak berbisik. Aku diam saja. “Oya, nanti malam, kalau kau mau, aku ada pekerjaan untukmu. Bukan merampok. Bukan jadi pengedar.” “Jadi apa?” “Aku punya tamu. Lima turis Jepang. Mereka mau ke Bali besok sore. Mereka butuh teman wanita. Bisa kau carikan? Bayarannya besar, Kro. Upahmu seratus ribu untuk setiap satu perempuan. Ini tanpa risiko. Kau bisa cari di banyak tempat di Jakarta ini,” kata Sukra. Lalu disebutnya nama sebuah hotel tempat di mana aku bisa menemuinya. “Itu pekerjaan haram,” kataku singkat membuat Sukra tertawa. “Haram? Ya, mungkin kau benar. Tapi, cobalah berpikir sedikit lebih rasional, Sukro. Setiap hari kau bekerja keras. Untuk hasil yang pasti tak sepadan. Hanya cukup untuk makan. Itu pun mungkin pas-pasan. Nah, kalau kau ambil pekerjaan yang kutawarkan ini, dalam beberapa jam saja kau sudah bisa mengantongi uang lima ratus ribu. Apalagi kalau pekerjaanmu bagus. Setiap pekan aku pasti punya tamu orang asing. Dan mereka membutuhkan wanita-wanita penghibur. Jadi, setiap pekan kau bisa membawa pulang lebih banyak dibandingkan apa yang sudah kau peroleh selama ini.” Buru-buru kutinggalkan Sukra di warung Tegal itu. Ia mengakak seperti biasanya seraya meraih tanganku. Menahanku dengan paksa. “Tenang dulu, Kro! Mau ke mana kau? Baiklah kalau kau tak mau menerima tawaranku. Tapi setidaknya kita bisa ngobrol-ngobrol. Tentang apa saja.” Dengan perasaan agak jengkel aku terpaksa duduk lagi. Mendengar celoteh Sukra. Tentang hidup enak dengan jalan pintas. Merampok. Jadi pengedar. Jadi makelar wanita. Kini entah apa lagi yang akan ia tembakkan dan cekokkan kepadaku di warung Tegal yang kecil dan pengap itu, tempat di mana aku bisa menjejalkan makanan ke perutku sampai kenyang hanya dengan uang lima ribuan. Di bawah pohon mahoni yang daunnya meneduhkan dan menyejukkan itu kami kemudian duduk berdua di dua buah batu besar. Berhadap-hadapan. “Aku punya tawaran pekerjaan lain yang sangat menyenangkan. Tak begitu berat. Secara fisik kau juga mungkin akan mendapatkan kenikmatan selain juga menerima bayaran yang sangat sepadan,” Sukra memulai serangannya. Aku cuma terdiam. “Wajahmu cukup ganteng. Apalagi kalau sedikit kau rawat. Dan muda. Sebagai pekerja kasar, kau juga berotot. Kurasa pekerjaan ini cocok untukmu. Lagi pula, kau tak perlu bekerja setiap hari atau setiap malam. Kau hanya bekerja bila tenagamu benar-benar dibutuhkan. Sebelum atau sesudah menunaikan tugasmu, kau bisa tetap berkumpul bersama istrimu.” Aku masih saja bungkam. Tetap belum dapat kutebak ke mana arah bicaranya. “Kau tahu pekerjaan apa yang aku maksud?” Sukra seperti memaksa aku bicara setelah terus-menerus diam mendengarkan. Aku menggeleng. “Aku punya dua klien. Yang pertama seorang wanita setengah baya. Cantik. Janda. Kaya. Kesepian. Kau bisa bekerja untuknya. Mungkin dua kali seminggu. Mungkin juga seminggu sekali. Tergantung kebutuhannya. Tapi gajimu tetap tiap bulan. Tidak tergantung pada seberapa banyak kau bekerja. Kau bahkan tetap menerima gaji andai klienku ini ke luar negeri dan kau tak bekerja dalam sebulan. Atau, bisa juga dia mengajakmu ke luar negeri.” Sebelum aku berkata-kata, Sukra melanjutkan, “yang kedua adalah seorang pria. Usianya mungkin dua atau tiga tahun lebih tua darimu. Ia masih membujang. Ia tak suka wanita. Ia menyukai sesama jenis. Nah, kau juga bisa bekerja untuknya. Tidak setiap hari juga. Dan, kau bisa ambil klienku yang wanita saja, atau yang pria saja. Boleh juga kedua-duanya sekaligus kalau kau mau dan mampu. Gajimu pun jadi dua kali lipat?? “Kedua-duanya pekerjaan haram,” aku berkata ketus. Sukra tertawa. “Mengapa bukan kau saja yang melakoninya?” “Kro, Sukro. Aku mau menolongmu. Aku malaikat penolongmu. Semua pekerjaan yang pernah kutawarkan kepadamu itu sudah kulakoni. Sekarang aku mau berbagi denganmu. Itu saja.” “Aku tidak tertarik,” berkata begitu, aku buru-buru meninggalkan Sukra. Tanpa menoleh. |
Orang MEOK atau hedonis demi memenuhi keinginannya boleh jadi akan melakukan berbagai cara. Baginya tidak ada istilah halal-haram. Semuanya akan diterabas. Tokoh Sukra di petikan cerpen di atas bisa kita lihat perilaku Sukra benar-benar seperti setan. Boleh jadi orang yang tergolong hedonis walaupun fisiknya manusia normal, dia telah menjadi setan dalam perilakunya. Dia akan berusaha mempengaruhi orang-orang di sekitarnya agar mau melakukan yang dia tempuh. Orang-orang seperti ini akan merusak moral bangsa. Oleh karena itu, pendidikan di negara ini harus bisa mencegah lahirnya anak-anak yang hedonis. Sulit kita bayangkan kalau generasi muda kita ke depan menjadi penganut hedonis. Mereka akan hidup konsumtif. Mereka akan boros. Demi memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti dalam cerpen “Sukra dan Sukro”, mereka akan menghalalkan segala cara.
***
Orang “MEOK” yang pasti tidak punya kepribadian atau integritas diri. Bisa juga disebut sebagai orang yang tidak punya afiliasi, yaitu orang yang dalam bahasa agamanya, tidak punya komitmen aqidah, ibadah, dan akhlak. Untuk itu, orang “MEOK” jangan diharapkan bisa berpartisipasi. Apalagi untuk memberikan kontribusi rasa-rasanya tidak mungkinlah. Oleh karena itu, kita perlu menghindar dari penyakit “MEOK”. Bagaimana untuk menghindari penyakit tersebut? Lakukan tiga tangga kehidupan, yaitu afiliasi, partisipasi, dan kontribusi. Dengan cara demikian, diharapkan kita bisa menjadi model manusia Muslim yang ideal sehingga terhindar dari perilaku hidup yang hedonis atau “MEOK”. Wallahu a`lam bissawab.
Sumber Gambar:
( https://images.app.goo.gl/XDCG2QdkPpZGYByVA)