Subagio S.Waluyo

Bagian terakhir dalam penulisan paragraf yang diawali dengan kutipan adalah kutipan yang diambil dari teks yang terdapat di prosa, baik cerpen, novel, maupun naskah drama. Pada prinsipnya memulai kutipan dari teks-teks yang terdapat di prosa sama saja dengan lirik-lirik lagu atau baris-baris pada puisi. Bedanya muatan yang terdapat dalam lirik-lirik lagu atau baris-baris pada puisi dibutuhkan pencarian sesuatu di balik kata-kata atau frasa-frasa yang ditulis sang penulis lagu atau penyair. Sedangkan dalam teks-teks prosa lebih mudah dipahami sehingga tidak perlu mencari sesuatu yang ada di balik kata-kata atau frasa-frasa yang diungkapkan penulisnya. Memang, terkadang ada juga penulis cerpen yang dalam penyampaian kalimat-kalimatnya memerlukan kerutan dahi karena kalimat-kalimat yang diungkapkannya sulit dimengerti. Meskipun demikian, sebagian besar ungkapan penulis dalam karya-karya prosa mudah dipahami oleh pembacanya.

Bre Redana (BR) membuka cerpen “Bulan Kabangan” (BK) dengan kalimat-kalimat yang berbunyi:

“Bulan kabangan ditandai dengan mega menutupi bulan tatkala bulan bersinar penuh pada purnama tanggal lima belas. Orang percaya pada ketika itu bencana akan datang dikarenakan raja penguasa para rakyat jelata meminta persembahan darah untuk membasuh segala dendam dan peneguhan atas kekuasaannya”.

Sebagai langkah awal, kita akan memulainya dengan mengutip teks cerpen yang ditulis Bre Redana tersebut. Kita bisa menulis di kalimat pertama seperti ini:

1) Kalimat-kalimat yang diungkapkan Bre Redana dalam cerpennya berjudul `Bulan Kabangan` di awal cerpennya jelas membutuhkan kerutan dahi.

Mana buktinya?

2) Coba saja kita lihat kalimat pertamanya, “Bulan kabangan ditandai dengan mega menutupi bulan tatkala bulan bersinar penuh pada purnama tanggal lima belas.

Apa langkah awalnya?

3) Untuk memahami muatan yang ada di  kalimat pertama itu, di langkah awal kita harus memahami arti frasa `bulan kabangan`.
4) Kita baru bisa memahaminya setelah disebutkan di situ adanya indikator, yaitu bulan purnama yang ditutupi mega sehingga sinar bulannya redup.

Bukankah hal yang biasa kalau terkadang juga kita melihat bulan tidak bersinar penuh (redup)? Ya, tapi, ini ada kejadian yang luar biasa. Apa itu?

5) Redupnya bulan purnama yang seharusnya bersinar terang merupakan sebuah pertanda. 

Pertanda? Pertanda apa?

6 )Pertanda bahwa akan ada bencana sebagaimana diungkapkan dalam cerpen tersebut, “Orang percaya pada ketika itu bencana akan datang dikarenakan raja penguasa para rakyat jelata meminta persembahan darah untuk membasuh segala dendam dan peneguhan atas kekuasaannya.”

 Apakah bisa dibuktikan pertanda tersebut?

7) Untuk membuktikannya kita harus tuntas membaca cerpen Bre Redana itu.
8) Di situ kita akan mendapatkan pelajaran bahwa alam semesta sangat berduka ketika seorang raja melakukan cara-cara yang keji untuk menghabisi nyawa musuhnya.

Kalau begitu, kita salin saja kalimat-kalimat yang diberi nomor-nomor di atas ke dalam satu paragraf sehingga menjadi sebuah paragraf yang utuh dan padu biar terlihat tulisan yang sebenarnya.

(1) Kalimat-kalimat yang diungkapkan Bre Redana dalam cerpennya berjudul `Bulan Kabangan` di awal cerpennya jelas membutuhkan kerutan dahi. (2) Coba saja kita lihat kalimat pertamanya, Bulan kabangan ditandai dengan mega menutupi bulan tatkala bulan bersinar penuh pada purnama tanggal lima belas. (3) Untuk memahami muatan yang ada di kalimat pertama itu, di langkah awal kita harus memahami arti frasa `bulan kabangan`. (4) Kita baru bisa memahaminya setelah disebutkan di situ adanya indikator, yaitu bulan purnama yang ditutupi mega sehingga sinar bulannya redup. (5) Redupnya bulan purnama yang seharusnya bersinar terang merupakan sebuah pertanda. (6) Pertanda bahwa akan ada bencana sebagaimana diungkapkan dalam cerpen tersebut, “Orang percaya pada ketika itu bencana akan datang dikarenakan raja penguasa para rakyat jelata meminta persembahan darah untuk membasuh segala dendam dan peneguhan atas kekuasaannya.” (7) Untuk membuktikannya kita harus tuntas membaca cerpen Bre Redana itu. (8) Di situ kita akan mendapatkan pelajaran bahwa alam semesta sangat berduka ketika seorang raja melakukan cara-cara yang keji untuk menghabisi nyawa musuhnya.    

***

“Sudah hampir lebaran, ya Pak”

“Oh iya. Kamu nanti akan memakai baju yang baik. Tetapi aku tidak akan menyerahkan baju itu kepadamu sekarang. Nanti saja, tepat pada hari lebaran kamu pagi-pagi kemari.”

“Di pasar Wangon dan Jatilawang orang-orang sudah membeli baju baru.”

“Ya, tetapi untukmu, nanti saja. Aku tidak bohong. Bila baju itu kuberikan sekarang, wah, repot. Kamu pasti akan mengotorinya dengan lumpur sebelum lebaran tiba.”

“Aku kan wong gemblung, Pak.”

“Nanti dulu, aku tidak berkata demikian.”

(`Wangon-Jatilawang` cerpen Ahmad Tohari)

Potongan dialog yang diambil dari cerpen Ahmad Tohari `Wangon-Jatilawang` jelas dialog yang mudah dipahami. Isi cerpen tersebut secara keseluruhan juga mudah dipahami. Cerpen itu berkisah tentang seorang anak yang memiliki keterbelakangan mental: Sulam. Sulam anak yatim yang diwarisi dari ibunya penyakit keterbelakangan mental (bahasa Jawanya `wong gemblung`). Sebagai anak yang terbelakang mentalnya Sulam jelas tidak seperti anak normal lainnya yang hidup teratur, bersekolah, dan bertempat tinggal. Karena tidak memiliki semua itu, wajar saja Sulam berjalan wara-wiri Wangon-Jatilawang. Artinya, dia bolak-balik berjalan dari Pasar Wangon ke Pasar Jatilawang dan sebaliknya. Pakaiannya kotor tidak karuan. Keterbelakangan mentalnya itu membuat dia sering dipermainkan oleh anak-anak di sepanjang jalan Wangon-Jatilawang. Sekarang kita coba fokus dulu ke dialog di atas. Dialog dimulai dari ucapan Sulam “Sudah hampir lebaran, ya Pak”, yang kemudian dibalas (katakan saja Tokoh Aku) “Oh iya. Kamu nanti akan memakai baju yang baik. Tetapi aku tidak akan menyerahkan baju itu kepadamu sekarang. Nanti saja, tepat pada hari lebaran kamu pagi-pagi kemari.”

Kita coba tulis saja seperti ini:

1) Sulam bertanya, “Sudah hampir lebaran, ya Pak”.
2) Tokoh Aku langsung menanggapinya, “Oh iya. Kamu nanti akan memakai baju yang baik. Tetapi aku tidak akan menyerahkan baju itu kepadamu sekarang. Nanti saja, tepat pada hari lebaran kamu pagi-pagi kemari.”

Ada sesuatu yang menarik? Ya, ketika ….

3) Tokoh Aku bukan menjawab `ya` melainkan memberikan jawaban seperti yang tercantum di atas sehingga  Sulam pun segera meresponnya.

Meresponnya? Ya?

4) Sulam menyampaikan,  “Di pasar Wangon dan Jatilawang orang-orang sudah membeli baju baru.”
5) Anehnya, pernyataan Sulam oleh Tokoh Aku ditanggapi, “Ya, tetapi untukmu, nanti saja. Aku tidak bohong. Bila baju itu kuberikan sekarang, wah, repot. Kamu pasti akan mengotorinya dengan lumpur sebelum lebaran tiba.”

Bagaimana reaksi Sulam mendengar jawaban Tokoh Aku?

6) Tentu saja walaupun termasuk terbelakang mentalnya Sulam bisa menangkap kalau dirinya `wong gemblung` sehingga keluar ucapannya yang sarkasme “Aku kan wong gemblung, Pak.”
7) Jawaban Sulam walaupun singkat, bisa membuat Tokoh Aku kaget seraya menjawab, “Nanti dulu, aku tidak berkata demikian.”

Tokoh Aku sudah terlanjur memberikan jawaban yang tidak mengenakkan bagi Sulam. Kalau bisa dikatakan:

8) Di sini Tokoh Aku jelas telah mati langkah karena menurut Sulam Tokoh Aku sama dengan orang lain yang menstigmanya sebagai `wong gemblung.

Selanjutnya, kita tulis paragraf utuh yang memuat kutipan dialog cerpen di atas.

(1) Sulam bertanya, “Sudah hampir lebaran, ya Pak”. (2) Tokoh Aku langsung menanggapinya, “Oh iya. Kamu nanti akan memakai baju yang baik. Tetapi aku tidak akan menyerahkan baju itu kepadamu sekarang. Nanti saja, tepat pada hari lebaran kamu pagi-pagi kemari.” (3) Tokoh Aku bukan menjawab `ya` melainkan memberikan jawaban seperti yang tercantum di atas sehingga Sulam pun segera meresponnya. (4) Sulam menyampaikan,  “Di pasar Wangon dan Jatilawang orang-orang sudah membeli baju baru”. (5) Anehnya, pernyataan Sulam oleh Tokoh Aku ditanggapi, “Ya, tetapi untukmu, nanti saja. Aku tidak bohong. Bila baju itu kuberikan sekarang, wah, repot. Kamu pasti akan mengotorinya dengan lumpur sebelum lebaran tiba”.  (6) Tentu saja walaupun termasuk terbelakang mentalnya Sulam bisa menangkap kalau dirinya `wong gemblung` sehingga keluar ucapannya yang sarkasme “Aku kan wong gemblung, Pak”. (7) Jawaban Sulam walaupun singkat, bisa membuat Tokoh Aku kaget seraya menjawab, “Nanti dulu, aku tidak berkata demikian”. (8) Di sini Tokoh Aku jelas telah mati langkah karena menurut Sulam Tokoh Aku sama dengan orang lain yang menstigmanya sebagai `wong gemblung`.  

***

         (https://images.app.goo.gl/AaJHMASLayeW6PMo9)

Hutan Raya terhampar di seluruh pulau, dari tepi pantai tempat ombak-ombak samudera yang terentang hingga ke Kutub Selatan menghempaskan diri setelah perjalanan yang amat jauhnya hingga ke puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi dan setiap hari diselimuti awan tebal. Hutan raya berubah-ubah wajahnya. Yang dekat pantai merupakan hutan-hutan kayu bakau, dan semakin jauh ke darat dan semakin tinggi letaknya, berubah pula kayu-kayu dan tanaman di dalamnya, hingga tiba pada pohon-pohon besar dan tinggi, sepanjang masa ditutup lumut, yang merupakan renda-renda terurai dari cabang dan dahan.

Sebagian terbesar bagian hutan raya tak pernah dijejak manusia dan di dalam hutan raya hidup bernapas dengan kuatnya. Berbagai margasatwa dan serangga penghuninya mempertahankan hidup di dalamnya. Demikian pula tanaman dan bunga-bunga anggrek, yang banyak merupakan mahkota di puncak-puncak pohon tinggi.

Di bahagian atas hutan raya hidup siamang, beruk dan sebangsanya dan burung-burung; dan di bawah, di atas tanah, hidup harimau kumbang, gajah dan beruang; di sepanjang sungai tapir, badak, ular, buaya, rusa, kancil dan ratusan makhluk lain. Dan di dalam tanah serangga berkembang biak.

(Harimau Harimau/Mochtar Lubis)

Potongan teks di atas jelas bukan sebuah cerpen karena kalau yang namanya cerpen tidak akan mungkin sedetil itu menggambarkan suasana hutan. Kalau melihat dari paparannya, kita bisa mengatakan itu diambil dari potongan teks terdapat di novel. Memang benar, potongan teks itu diambil dari novel Mochtar Lubis: Harimau Harimau. Sebagai seorang sastrawan, Mochtar Lubis sangat piawai ketika memaparkan suasana hutan yang dijadikan lokasi penulisan novelnya. Boleh jadi kepiawaian Mochtar Lubis memaparkan suasana hutan karena ditunjang oleh pengalamannya sebagai seorang wartawan.

Bagaimana memasukkan potongan teks dalam novel ke sebuah paragraf yang mau kita tulis? Kita tidak bisa memasukkan semua kalimat ke dalam paragraf yang mau kita tulis. Kita cukup pilih saja kalimat-kalimat yang menurut kita menarik untuk dikutip misalnya kalimat yang berbunyi: Hutan raya berubah-ubah wajahnya. Pasti kita akan bertanya: Kok, hutan raya bisa berubah wajahnya? Sekarang kita tulis saja seperti ini:

1) Mochtar Lubis ketika menulis tentang hutan menyebutkan kalau hutan raya berubah-ubah wajahnya.

Kita bisa mengatakan:

2) Maksudnya, wajah hutan yang dekat pantai tidak sama dengan yang jauh ke darat atau ke arah pegunungan.

Di sini bisa kita tulis:

3) Hutan yang dekat pantai merupakan hutan-hutan kayu bakau, kita bisa menambahkan, yang dicirikan dengan pepohonan yang pendek (menyerupai tanaman perdu) dan hidup di air.

Kita juga bisa menambahkan:

4) Sementara itu, semakin jauh ke darat dan semakin tinggi letaknya, berubah pula kayu-kayu dan tanaman di dalamnya.

Di sini kita juga bisa menyampaikan:

5) Artinya pepohonan di hutan itu sebagaimana digambarkan Mochtar adalah pohon besar dan tinggi

(hingga tiba pada pohon-pohon besar dan tinggi,)

6) Mochtar juga menambahkan kalau pepohonan itu di setiap dahan cabang ditutupi lumut seperti renda-renda yang terurai

(sepanjang masa ditutup lumut, yang merupakan renda-renda terurai dari cabang dan dahan).

7) Rupanya itulah yang dimaksud Mochtar `hutan raya berubah-ubah wajahnya`.

Supaya mudah dibaca, kita tulis saja dalam bentuk paragraf.

(1) Mochtar Lubis ketika menulis tentang hutan menyebutkan kalau hutan raya berubah-ubah wajahnya. (2) Maksudnya, wajah hutan yang dekat pantai tidak sama dengan yang jauh ke darat atau ke arah pegunungan. (3) Hutan yang dekat pantai merupakan hutan-hutan kayu bakau yang dicirikan dengan pepohonan yang pendek (menyerupai tanaman perdu) dan hidup di air. (4) Sementara itu, semakin jauh ke darat dan semakin tinggi letaknya, berubah pula kayu-kayu dan tanaman di dalamnya. (5) Artinya, pepohonan di hutan itu sebagaimana digambarkan Mochtar adalah pohon besar dan tinggi. (6) Mochtar juga menambahkan kalau pepohonan itu di setiap dahan dan cabang ditutupi lumut seperti renda-renda yang terurai. (7) Rupanya, itulah yang dimaksud Mochtar `hutan raya berubah-ubah wajahnya`.

***

PANJI TUMBAL: “Negara kacau. Rakyat hidup di dalam kemiskinan. Kejahatan merajalela, baik di kalangan rakyat maupun di kalangan pejabat. Inilah saatnya Anda mengambil alih kekuasaan.”

PANGERAN REBO: “Jangan kita terburu nafsu!”

PANJI TUMBAL: “Apakah Anda tidak melihat?”

PANGERAN REBO: “Saya melihat dan mendengar tetapi pembangunan memang memakan waktu dan pengorbanan tak bisa kita hindarkan.”

(Panembahan Reso/W.S. Rendra)

Melihat potongan teks di atas kita bisa mengatakan kalau potongan teks itu diambil dari naskah drama. Memang benar, potongan teks di atas diambil dari naskah drama. Tepatnya, potongan teks itu diambil dari naskah drama berjudul Panembahan Reso karya W.S. Rendra. Naskah drama ini terhitung menarik karena ceritanya mengangkat tentang perebutan kekuasaan (suksesi) sebagai persoalan utamanya. Kekuasaan di sini adalah kekuasaan ala Jawa. Meskipun mengambil latar kerajaan di Jawa, menilik dialog di atas mengarah pada kritikan terhadap kekuasaan Orde Baru. Coba saja kita amati bunyi dialog yang menyentil kekuasaan Orde Baru itu: “Saya melihat dan mendengar tetapi pembangunan memang memakan waktu dan pengorbanan tak bisa kita hindarkan.” Bukankah kalimat itu sudah mengarah pada pemerintahan Orde Baru yang pada saat itu memang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan?

Terlepas dari muatan yang terkandung dalam naskah drama itu, kita coba masukkan potongan teks tersebut ke dalam tulisan. Coba kita masukkan teks yang berbunyi: “Negara kacau. Rakyat hidup di dalam kemiskinan. Kejahatan merajalela, baik di kalangan rakyat maupun di kalangan pejabat. Inilah saatnya Anda mengambil alih kekuasaan.” Kita mulai saja menulis:

1) WS Rendra melalui Panembahan Reso mengungkapkan, “Negara kacau. Rakyat hidup di dalam kemiskinan. Kejahatan merajalela, baik di kalangan rakyat maupun di kalangan pejabat.”

Melihat ungkapan tersebut kita berkomentar, ….

2) Rendra benar-benar tidak pernah mau berhenti mengkritisi Pemerintah Orde Baru.
3) Tidak cukup sampai di situ, Rendra juga berkeinginan kuat untuk (kalau bisa) menumbangkan kekuasaan.

Kok, sampai sejauh itu?

4) Buktinya, dia menulis: “Inilah saatnya Anda mengambil alih kekuasaan.

Bahkan, pada teks di atas terjadi dialog yang intinya berisikan:

5) Bukankah Panji Tumbal meminta Pangeran Rebo mengambil kekuasaan?

Di sini kita bisa menulis:

6) Meskipun demikian, Pangeran Rebo meminta Panji Tumbal untuk menahan diri dengan mengatakan, “Jangan kita terburu nafsu!”

 Tidak cukup sampai di situ,

7) Pangeran Rebo juga berusaha mengajak berpikir logis dengan mengeluarkan kata-kata yang bijak: “Saya melihat dan mendengar tetapi pembangunan memang memakan waktu dan pengorbanan tak bisa kita hindarkan.”

Pangeran Rebo juga berusaha mengajak berpikir logis dengan mengeluarkan kata-kata yang bijak: “Saya melihat dan mendengar tetapi pembangunan memang memakan waktu dan pengorbanan tak bisa kita hindarkan.”

Bisa saja kita menguatkan pendapat Pangeran Rebo dengan mengatakan:

8) Dengan kata lain, melakukan perebutan kekuasaan tidak semudah membalikkan tangan karena sudah pasti membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit.

Seterusnya kita tulis sebuah paragraf yang benar-benar enak untuk dibaca.

(1) WS Rendra melalui Panembahan Reso mengungkapkan, “Negara kacau. Rakyat hidup di dalam kemiskinan. Kejahatan merajalela, baik di kalangan rakyat maupun di kalangan pejabat.” (2) Rendra benar-benar tidak pernah mau berhenti mengkritisi Pemerintah Orde Baru. (3) Tidak cukup sampai di situ, Rendra juga berkeinginan kuat untuk (kalau bisa) menumbangkan kekuasaan. (4) Buktinya, dia menulis: “Inilah saatnya Anda mengambil alih kekuasaan.” (5) Bukankah Panji Tumbal meminta Pangeran Rebo mengambil kekuasaan? (6) Meskipun demikian, Pangeran Rebo meminta Panji Tumbal untuk menahan diri dengan mengatakan, “Jangan kita terburu nafsu!” (7) Pangeran Rebo juga berusaha mengajak berpikir logis dengan mengeluarkan kata-kata yang bijak: “Saya melihat dan mendengar tetapi pembangunan memang memakan waktu dan pengorbanan tak bisa kita hindarkan.” (8) Dengan kata lain, melakukan perebutan kekuasaan tidak semudah membalikkan tangan karena sudah pasti membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit.

***

Menulis paragraf yang diawali dengan mengutip potongan teks yang terdapat baik dalam cerpen, novel, dan naskah drama ternyata juga mudah. Buktinya, kita telah mempraktekkannya dengan menampilkan dua cerpen. Setelah itu, kita coba mengambil potongan teks yang terdapat di novel. Terakhir, kita coba juga mengambil potongan dialog yang terdapat di naskah drama. Jadi, dengan mengambil potongan teks dan dialog yang kemudian kita teruskan dengan kalimat-kalimat kita sendiri terwujud sebuah paragraf yang enak dibaca dan perlu (mengambil jargon dari majalah Tempo). Karena itu, semua orang yang mau belajar menulis tidak ada alasan sulit memulainya. Mulai saja mengutip dari potongan-potongan teks di cerpen, novel, atau drama sekalipun. Selain itu, kita juga perlu memperluas kosa kata dengan satu cara: tumbuhkan budaya baca. Ya, hanya dengan menumbuhkan budaya baca kita bisa menulis karena memang menulis sangat erat dengan membaca. Bukankah penulis yang baik adalah pembaca yang baik?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *