Cerpen

Subagio S.Waluyo

“Yah, Wasim baru aja pulang dari haji”, kata istriku.

“Alhamdulillah, dia sama istrinya sehat-sehat aja `kan?, tanyaku.

“Alhamdulillah sehat. Cuma pulang dari haji kulitnya sedikit hitam.”

“Biasalah kalau orang pulang haji kulitnya seperti itu. Di sana `kan panasnya luar biasa. Kita juga dulu sama kata orang-orang agak hitam. Yang penting `kan sampai di tanah air sehat wal afiat.”

“Wasim sekarang berhak dapat gelar Haji ya, Yah?”, tanya istriku.

“Layaklah kita sebut Pak Haji Wasim. Kalo kita sapa cukup Pak Haji atau Ji. Itu `kan gelar yang diperoleh gak sampai empat tahun seperti orang kuliah di perguruan tinggi.”

“Ya, dapatnya sih memang cepat, gak sampe dua bulan. Tapi, nunggunya buat berangkat haji lama.”

“Bukannya dia pakai haji plus makanya gak terlalu lama nunggu?”, tanyaku penasaran.

“Ya, dia suami istri dibiayai sama anak-anaknya pakai haji plus. Mereka `kan berangkat berenam. Pak Haji Wasim suami istri sama dua orang anaknya plus dua orang menantunya.”

“Iaudah, ayah nanti mau datang silaturahim ke rumahnya.”

“Ya. Jangan lupa bawa buah-buahan, Yah”, kata istriku mengingatkan.

“Ya, nanti sambil ke rumahnya ayah mampir ke toko buah yang dekat dengan rumahnya.”

***

          Hampir tiga puluh tahun lalu ketika aku membutuhkan tukang untuk menyelesaikan rehab rumahku yang tak kunjung selesai, seorang temanku membawakan  aku seorang laki-laki kecil yang tingginya tidak sampai 160 cm. Temanku memperkenalkan namanya: Wasim. Laki-laki kecil dari Sokaraja, Banyumas. Temanku menyampaikan kalau Wasim ini tukang bangunan yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja sebagai tukang bangunan. “Kalau masalah hasil kerjanya nanti bisa dilihat sendiri,” jelas temanku. Tanpa berpikir panjang aku siap menerimanya. Keesokan harinya Wasim bersama satu orang temannya langsung bekerja meneruskan penyelesaian bangunan rumahku yang sempat terhenti. Memang, dari cara kerjanya dan hasil kerjanya aku memberikan nilai sangat baik. Tapi, sebagai seorang yang mengaku beragama Islam, Wasim sama sekali tidak mengerjakan salat. Aku tahu Wasim tidak mengerjakan salat ketika di hari sabtu aku di rumah, aku dapati Wasim tidak mengerjakan salat. Istriku menginformasikan kalau Wasim mengerjakan salat jumat saja. Sementara itu, temannya taat pada agamanya. Temannya ini secara konsisten mengerjakan salat lima waktu.

          Ada sedikit keresahan kalau aku mempekerjakan seseorang yang tidak sama sekali mengerjakan salat lima waktu. Melihat itu, aku tidak bisa membiarkan hal itu berlangsung lama. Suatu saat aku ajak Wasim berbicara face to face. Aku tanya kalau dia bisa tidak salat. Ternyata, Wasim tahu bacaan salat. Bahkan, Wasim mengaku selama di kampungnya mengerjakan salat. Aku ingatkan tentang dosa besar jika seorang Muslim meninggalkan salat. Aku juga ingatkan kalau kita tidak tahu kapan dipanggil Allah. Sambil berkata begitu aku berikan Wasim baju salat, sarung, dan kopiah. Aku minta mulai hari ini supaya mengerjakan salat. Tidak lupa aku juga menjanjikan kalau dia mengerjakan salat lima waktu aku berikan uang tambahan bukan saja buat Wasim, tapi juga buat temannya yang memang taat mengerjakan perintah Allah lima waktu.

          Alhamdulillah mulai saat itu Wasim mengerjakan salat. Terkadang juga aku ajak salat magrib berjamaah di masjid sebelum dia pulang ke rumah kontrakannya yang berada di luar komplek perumahanku. Sebagai hamba Allah aku merasa bersyukur dengan perubahan yang terjadi pada Wasim. Aku berpikir lebih baik pekerjaan penyelesaian rumah lebih lama daripada aku memperkerjakan orang yang tidak salat. Aku tidak tahu persis apakah di rumah kontrakannya dia mengerjakan salat isya dan subuh. Aku hanya berharap Wasim selama di rumahnya benar-benar mengerjakan salat isya dan subuh.

          Setelah rumahku selesai direhab, dari mulut ke mulut aku sampaikan pada para jamaah masjid kalau aku punya tukang yang kinerjanya terbilang bagus. Selain itu, aku tambahkan kalau Wasim dan temannya termasuk orang yang taat beribadah. Alhamdulillah ada seorang jamaah masjid yang langsung meresponnya. Sejak itu banyak jamaah yang berminat mempekerjakannya. Saking banyaknya jamaah dan juga warga di komplek perumahannku yang berminat sampai-sampai ada semacam waiting list buat warga yang meminta jasanya.

***

          Sudah sebulan lebih Wasim pulang kampung. Biasanya dia pulang cuma sebentar hanya 3-4 hari. Aku menduga dia jatuh sakit. Ternyata, dugaanku benar. Wasim jatuh sakit. Dia menyampaikan padaku begitu sampai di kampung halamannya jatuh sakit. Wasim datang padaku dalam kondisi sebenarnya belum sehat benar. Aku anjurkan dia agar istirahat dulu. Selama beristirahat aku berikan sedikit uang sangu. Aku memang terbiasa memberikan uang sangu terutama kalau Wasim pamit mau pulang kampung. Beberapa hari kemudian dia datang lagi padaku dalam kondisi sudah lebih sehat. Langsung saja aku telpon Pak Harry tetanggaku yang tempo hari minta bantuan tenaganya untuk merehab rumahnya. Beberapa saat kemudian Wasim dijemput Pak Harry. Aku bersyukur karena Wasim tidak begitu lama menunggu untuk mendapat pekerjaan.

          Setelah lebih dari sebulan pekerjaan di rumah Pak Harry selesai, Wasim pamit pulang kampung sekalian menyampaikan mau boyong keluarganya ke kota ini. Dia juga mengabarkan kalau istrinya nanti bekerja sebagai pembantu rumah tangga (Asisten Rumah Tangga) di rumah Pak Harry karena suami-istri itu bekerja. Selain itu, Wasim mengabarkan kalau sudah mendapat kontrakan untuk keluarganya. Aku sempat kaget mendengar kabar kalau dia mau memboyong keluarganya ke kotaku ini. Aku bersyukur karena nantinya bukan hanya Wasim yang bekerja, tapi juga istrinya.

          Beberapa hari kemudian Wasim dan keluarganya benar-benar boyongan ke perkampungan di luar komplek rumahku. Wasim hanya memiliki dua anak. Anak pertama, laki-laki umur dua belas tahun dan baru saja lulus SD. Anak kedua, perempuan umur delapan tahun dan juga baru saja naik ke kelas tiga SD. Aku sempat melihat rapot kedua anaknya. Ternyata, nilai rapot anak-anak Wasim sangat baik. Melihat prestasi sekolah kedua anaknya dan kondisi keluarganya yang terbilang miskin aku tergerak untuk menolongnya. Setidak-tidaknya kedua anaknya mendapat beasiswa agar kelak bisa melanjutkan pendidikan tinggi. Alhamdulillah ada yayasan baitul mal (YBM) dari salah satu BUMN terkenal yang berminat membantu kedua anak itu untuk mendanai pendidikannya. Aku juga menyampaikan ke jamaah masjid agar bersedia membantu pendidikan anak-anak Wasim dengan menyisihkan sebagian infaq masjid mengingat Wasim juga termasuk jamaah yang rajin salat berjamaah lima waktu walaupun tempat tinggalnya di luar komplek rumahku. Aku juga menyampaikan ke para jamaah kalau aku sering memergoki Wasim setiap jumat pagi sebelum masuk masjid memasukkan uangnya ke kotak masjid yang terletak di pintu masuk masjid. Alhamdulillah usulku di respon para jamaah masjid. Sejak saat itu kedua anak Wasim dibiayai dana pendidikannya oleh YBM dari salah satu BUMN terkenal dan infaq masjid.

          Kedua anak Wasim ternyata benar-benar anak-anak yang amanah. Terbukti prestasi pendidikannya tetap baik. Selain itu, kedua anak Wasim juga aktif mengikuti berbagai kegiatan di masjid. Boleh dikatakan keduanya merupakan anak-anak masjid. Tidak terasa anak yang pertama bisa mengecap pendidikan tinggi di salah satu PTN terkenal di negara ini. Beberapa tahun kemudian begitu anak yang pertama selesai, anak yang kedua juga memasuki PTN yang sama. Anak pertama yang telah selesai pendidikan S1-nya karena nilai IPK-nya tinggi dan memiliki kompetensi di bidang IT dan menguasai bahasa Inggris bekerja di perusahaan asing. Anak kedua yang menempuh pendidikan dokter dibiayai oleh kakaknya.

          Jodoh bagi kedua anak Wasim memang tidak terlalu jauh. Mereka menikah dengan sesama aktivis masjid dan juga sama-sama menyelesaikan pendidikan tinggi walaupun di PT yang berbeda. Seiring perjalanan waktu, lahir dari pernikahan kedua pasangan anak itu anak-anak yang menyejukkan mata kedua orangtua mereka. Baik anak pertama maupun anak kedua masing-masing telah dikarunia dua orang anak. Kehidupan mereka juga sudah benar-benar mapan. Wasim dan keluarganya tidak lagi tinggal di luar komplek. Kedua anaknya tinggal di kota lain dekat dengan kotaku. Rumahku yang satu lagi di ujung komplek yang selama ini dikontrakkan dibeli oleh anak-anaknya. Karena anak-anakku tidak berminat menempati rumah itu, akhirnya aku jual saja ke keluarga Wasim dengan harga di bawah pasaran. Bersama istrinya, Wasim menempati rumah itu. Wasim telah menjadi bagian dari warga komplek tempat tinggalku. Sejak tinggal di komplek perumahanku, Wasim salat lima waktu di masjid komplek perumahanku.

***

          Tanpa terasa Wasim dan aku sudah sama-sama lansia. Karena usianya sudah memasuki lebih dari enam puluh tahun, aku minta Wasim bantu-bantu mengurusi masjid. Pekerjaan sebagai tukang bangunan dilimpahkan pada orang-orang yang selama ini menjadi anak buahnya. Wasim sekali-sekali turun ke lapangan mengawasi pekerjaan mereka. Orang menyebutnya sebagai mandor. Aku mengangkat Wasim sebagai ketua marbot masjid di komplek perumahanku karena semakin hari semakin banyak jamaah dan aktivitas masjid sehingga sangat membutuhkan tenaga yang telaten mengurusinya. Karena selama ini aku lihat Wasim termasuk orang yang telaten dalam melakukan pekerjaan, aku minta Wasim menjadi ketua marbot. Jadi, Wasim bertugas mengawasi para marbot yang bekerja di masjidku. Semua orang yang terlibat dalam pengurusan masjid mendapat imbalan walaupun dari segi jumlahnya mendekati UMR di kotaku. Mereka beranggapan dengan bekerja di masjid mendapat keberkahan.

          Jika ada orang yang bertanya, keberkahan apa yang diperoleh orang-orang yang memakmurkan masjid Allah? Jawabannya sederhana saja, lihat saja keluarga Wasim yang telah berhasil mendidik anak-anaknya sehingga anak-anaknya berencana menghajikan kedua orangtuanya. Begitu jawaban yang kuperoleh dari mereka-mereka yang aktif memakmurkan masjid di komplek perumahanku. Jawaban mereka memang tepat. Mereka telah menjadikan keluarga Wasim sebagai contoh teladan yang patut ditiru. Bagaimana dengan Wasim sendiri kalau ditanya hal itu? Wasim selalu menjawabnya “Itu semua sudah ketentuan Gusti Allah”. Tapi, kalau aku tanyakan rahasianya? Dengan enteng dia menjawab “Amalan saya cuma kasih sedikit sedekah”. Sedikit sedekah? Buatku yang dilakukan Wasim adalah sesuatu yang luar biasa. Kenapa? Bukankah sedekah bisa menghapus dosa, melipatgandakan pahala dan rizki? Tidak cukup sampai di situ, sedekah juga bisa menjadi pelindung dari bala dan musibah? Jadi, yang dilakukan Wasim sekali lagi sesuatu yang luar biasa. Pantas saja keluarganya selalu terlihat `ayem tentrem`. Walaupun hidup boleh dikatakan pas-pasan, aku lihat keluarga mereka selalu dalam kebahagiaan. Anak-anaknya tergolong anak-anak yang patuh pada orang tua. Anak-anak yang boleh dikatakan berakhlak baik pada siapapun. Yang lebih penting lagi anak-anak Wasim bisa menjaga amanah untuk tetap berprestasi sehingga bisa menyelesaikan studinya dan bisa mendapatkan jodoh dari sesama orang-orang yang saleh-salehah. Aku benar-benar merasa iri melihat keluarga Wasim.

          Masjid di komplek perumahanku pernah melakukan penggalangan dana untuk Palestina. Aku mengundang seorang Syaikh dari Palestina dan seorang ustadz yang menjadi penerjemahnya dan sekaligus pengurus YBM yang mengkhususkan diri dalam penggalangan dana Palestina. Banyak jamaah masjid yang mengeluarkan infaqnya. Ketika para jamaah mengeluarkan infaknya, aku lihat Wasim juga menyerahkan kantong berisikan uang. Ternyata, selama ini Wasim dan istrinya diam-diam menyimpan uang khusus untuk Palestina. Uang yang diserahkan malam itu cukup besar hampir sebelas juta rupiah. Melihat itu aku benar-benar terharu. Orang kecil seperti Wasim saja bisa mengorbankan uangnya untuk Palestina. Bagaimana dengan orang-orang yang lebih dari mampu sepertiku yang seharusnya bisa lebih besar lagi mengorbankan hartanya untuk Palestina?

          Suatu saat jamaah masjid ingin memberikan hadiah berupa umroh kepada beberapa orang yang aktif di masjid. Di antara sekian banyak aktivis masjid, Wasim dan istrinya termasuk yang mendapat jatah umroh. Di luar dugaanku ketika ditawarkan untuk berangkat umroh, Wasim menolaknya dengan alasan sebentar lagi dia bersama kedua anak dan kedua menantunya akan berangkat haji. Meskipun sudah dibujuk-bujuk oleh jamaah masjid, Wasim bergeming. Dia tetap menolak untuk menerima hadiah umroh. Ketika hal yang sama ditawarkan pada istrinya, istrinya juga menolaknya dengan alasan yang sama. Akhirnya, hadiah umroh diberikan pada pasangan suami-istri yang juga sama-sama tidak pernah absen salat berjamaah di masjid.

***

          Ah, mengingat keistiqomahan Wasim dan istrinya dalam bersedekah tidak akan ada habis-habisnya. Aku harus banyak belajar dari Wasim, orang kecil yang tidak kecil nilai ibadahnya. Di saat-saat aku mencoba merenungi tentang manusia alit bernama Wasim, tiba-tiba saja istriku mengagetkanku.

“Yah, bentar lagi mau magrib tuh! Kapan mau ke rumah Pak Haji Wasim?”, tanya istriku sedikit keras.

“Ya, segera ayah ke sana. Ayah mau mandi dulu.”

“Iaudah mandi sana!. Jangan lupa bawa buah!”, teriak istriku.

“Baik, Gusti Baginda Ratu!”, kataku mengejek.

Kota Bekasi, 30 Oktober 2025.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *