Subagio S.Waluyo
Kita sepakat korupsi yang melanda negara ini harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Meskipun demikian, sebelum terjadi tipikor yang dilakukan calon-calon aktor koruptor harus ada upaya pencegahan. Siapa yang berperan dalam pencegahan tipikor? Siapa lagi kalau bukan masyarakat akademis,LSM, ormas, dan (bisa juga) mereka-mereka yang aktif dalam kegiatan di media,baik media mainstream maupun medio sosial. Sebenarnya di luar itu semua boleh-boleh saja yang termasuk dalam jajaran para birokrat. Jadi, tidak menutup kemungkinan adanya keterlibatan para birokrat yang tentu saja orang-orang yang masih tergolong punya integritas.
Agar pelaksanaan pencegahan tipikor bisa berjalan efektif dan efisien diperlukan adanya pembekalan. Dalam hal ini mereka-mereka yang terlibat dalam upaya pencegahan harus memiliki di antaranya kejujuran, kepedulian, tanggung jawab, keberanian, kerja keras, kemandirian, keadilan, kesederhanaan, dan kedisiplinan. Secara berturut-turut kesembilan butir yang harus dimiliki oleh mereka-mereka yang terlibat dalam pencegahan tipikor akan kita bahas. Sebagai langkah awal akan kita mulai membahas yang berkaitan dengan kejujuran dan kepedulian. Setelah itu, kita membahas tanggung jawab, keberanian, dan seterusnya. Untuk itu, kita simak saja tulisan-tulisan berikut ini.
***
Kejujuran
“Hendaklah kamu semua bersikap jujur karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai seorang yang jujur (shiddiq). Dan jauhilah sifat bohong karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong (kadzab)” (HR Bukhari) |
***
Kejujuran mata uang yang berlaku di mana-mana. Adagium itu sampai sekarang ini masih melekat di benak setiap orang ketika berbicara tentang kejujuran. Adagium itu meskipun masih melekat, tapi dalam prakteknya banyak orang yang sudah membuang jauh-jauh yang namanya kejujuran. Banyak orang yang beranggapan kalau kita mau lulus ujian, mau punya harta melimpah, mau kedudukan terhormat, mau tetap bertahan sebagai pejabat, atau mau jadi pengusaha besar singkirkan kejujuran itu. Buang kata kejujuran ke tempat yang jauh. Adagium yang masih melekat di benak orang akhirnya hanya sebatas simbol yang tidak bermakna sama sekali.
Adagium tentang kejujuran memang sudah luntur di masyarakat. Adagium itu sudah dianggap asing. Orang yang kerasukan budaya konsumtif sudah tidak peduli dengan adagium tentang kejujuran. Kalau didapati ada orang yang jujur, mereka akan mencibirnya. Buat mereka orang yang jujur lebih merupakan penghambat dalam melicinkan niat-niat buruk mereka. Niat-niat buruk mereka dalam hal ini bisa jadi berkaitan erat dengan perilaku nepotisme. Orang-orang yang menganut nepotisme pasti menginginkan segala cara karena yang ada di benaknya adalah cara memperoleh sesuatu dengan cara yang mudah. Kalau cara-cara yang halal tidak bisa dilakukan, cara-cara yang haram juga boleh dilakukan asalkan keinginannya tercapai. Sebagai tambahan, perlu juga diketahui, orang-orang yang punya penyakit seperti itu bukan hanya di kalangan orang-orang tua, orang-orang muda sekalipun berpendidikan tinggi juga punya perilaku yang sama, yaitu punya kecenderungan menghalalkan segala cara. Orang-orang yang menghalalkan segala cara bisa disebut orang-orang pragmatis.
***
Dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit seorang ayah yang jujur akan berhadapan dengan anak yang cenderung pragmatis. Orang yang pragmatis adalah orang yang lebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan dan ajaran atau boleh juga orang yang lebih menitikberatkan pengalaman hidup daripada prinsip yang muluk-muluk, yang melayang-layang di udara (A.Mangunhardjana, Isme-Isme Dari A Sampai Z, 2001:189). Orang yang pragmatis bisa juga dikatakan orang yang diragukan kejujurannya. Orang yang pragmatis lebih disebabkan oleh rasa kecewa terhadap kenyataan hidup. Bisa juga orang menjadi pragmatis karena lemahnya iman.
Orang yang pragmatis (karena imannya lemah) bisa melakukan segala cara. Kalau sudah seperti itu, orang yang pragmatis bisa menjadi orang yang bertindak serba boleh atau penganut paham permisivisme. Permisivisme adalah sikap, pandangan, pendirian yang berpendapat segala cara hidup, perilaku, perbuatan yang melanggar prinsip, norma, dan peraturan (etis) boleh saja dilakukan (A.Mangunhardjana, 2001: 182). Jadi, orang-orang yang tidak jujur, yang cenderung pramatis, tidak aneh kalau mereka juga melanggar aturan. Orang-orang yang pragmatis, sekaligus permisif, tidak juga aneh kalau melakukan kebohongan. Bentuk-bentuk kebohongan yang sering dilakukan orang-orang yang pragmatis dan permisif, di antaranya adalah khianat, mungkir (tidak menepati janji), kesaksian palsu, fitnah, dan menggunjing (Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, 1999:86-88). Dengan demikian, orang yang pragmatis dan permisif adalah orang-orang yang mempunyai penyakit di dalam hatinya.
Berbicara tentang pragmatis dan permisif ada sebuah dialog yang menarik antara anak dan ayah. Sang Anak, Lusiana biasa dipanggil Lusi, suatu kali sebelum berangkat ke Melbourne, Australia, berkelakar agar ayahnya sebagai pejabat tidak usah terlalu jujur. Kita bisa bayangkan seorang anak berpendidikan tinggi (calon program doktor bidang ilmu politik di Australia) menganjurkan pada Sang Ayah, seorang bupati, agar tidak terlalu jujur. Ternyata, pendidikan tinggi tidak menjamin orang untuk jujur. Dengan kata lain, orang-orang yang bertitel akademis tinggi pun banyak yang tidak memiliki kejujuran. Boleh jadi orang seperti Lusi bisa berbicara seperti itu karena ketika menempuh pendidikan juga melakukan cara-cara yang pragmatis, yang dilandasi oleh cara berpikir yang permisif. Dalam cerpen “Tuba” (Damhuri Muhammad) seorang bupati yang jujur sudah diwanti-wanti oleh anaknya agar tidak terlalu jujur. Berarti anaknya cenderung agar ayahnya yang bupati bersikap pragmatis saja walaupun alasan yang dikemukakan realistis. Kita bisa lihat dialog Lusi dan ayahnya yang menjabat sebagai bupati di bawah ini.
“Jadi pejabat ndak usah terlalu jujur, yah!” begitu kelakar Lusi kepada almarhum dua tahun lalu. Sesaat sebelum ia berangkat ke Mellbourne, menyelesaikan program doktor, bidang ilmu politik.
“Maksudmu?” “Lihatlah jalan umum kampung kita! Persis seperti kubangan kerbau. Rusak parah dan sudah tak layak tempuh. Nah, mumpung ayah sedang memegang jabatan bupati, ndak ada salahnya ayah membuat proyek pelebaran jalan. Bila perlu diaspal beton sekalian!” jelas Lusi, “Hitung-hitung proyek itu dapat menunjukkan rasa terima kasih ayah pada kampung kelahiran sendiri” “Tapi, tidak segampang itu, Lusi! masih banyak daerah lain yang jauh lebih parah kondisinya” “Utamakan dulu pembangunan di nagari Sungai Emas, kampung kita. Jangan lupa! ayah bisa memenangi pemilihan bupati berkat dukungan masyarakat di sana bukan?” “Wah, jika ayah tidak ’pandai-pandai’. Masih saja ’lurus tabung’ seperti ini, Lusi khawatir ayah bakal diumpat warga nagari Sungai Emas. Tapi, semuanya terserah ayah…,” ketus Lusi, agak sinis. |
Kelakar anaknya, Lusi, sebenarnya boleh dikatakan realistis karena dia melihat di kampungnya, Nagari Sungai Emas, sarana jalannya jauh dari memadai (digambarkan sangat rusak seperti kubangan kerbau). Ayahnya yang dikenal bupati yang jujur (diistilahkan seperti `lurus tabung`) tidak setuju dengan usulan tersebut dengan alasan masih banyak di daerah lain yang juga lebih parah kondisinya. Sikap Sang Bupati juga sama terhadap salah seorang warganya, Marajo Kapunduang, ketika Marajo yang merasa berjasa besar telah membantunya dalam pemilihan bupati sehingga Sang Bupati yang jujur itu terpilih. Jawaban Sang Bupati tentu saja membuat Marajo Kapunduang naik pitam. Dia masih bisa menahan diri. Padahal dia hanya minta tolong agar anaknya bisa diterima bekerja sebagai satpam di kantor Sang Bupati. Tapi, Sang Bupati yang jujur minta agar semuanya melalui prosedur yang sesuai dengan aturan. Sang Bupati tidak ingin ada nepotisme dalam penerimaan pegawai.
“Daripada menganggur saja, boleh ndak anak saya bekerja di sini pak? Jadi satpam saja cukup lah!” mohon Marajo waktu itu.
“Tentu saja boleh Nduang, tapi anakmu harus mengikuti testing sesuai prosedur yang telah ditetapkan,” jawab bupati, sedikit berdiplomasi. “Iya pak, tapi saya berharap bapak dapat membantu” “Jika ia lulus seleksi, pasti akan diterima. Kalau saya bantu, itu artinya kita berkolusi, mentang-mentang kita sekampung. Tidak bisa begitu Nduang!” tegas bupati, seperti hendak mengelak. |
Boleh jadi dari sini munculnya dendam yang berakibat pada kematian Sang Bupati yang jujur. Hal itu bisa dibuktikan ketika terjadi pembicaraan di kedai kopi seorang pengunjungnya yang biasa nongkrong di warung itu, Sutan Pagarah, menyarankan sebaiknya tidak usah dibunuh. Cukup katanya diberi penyakit saja. Dia bercanda agar Sang Bupati diberi penyakit ditambah lubang lanciritnya (lubang kencingnya). Candaannya yang berbau porno itu tentu saja membuat pemilik warung kesal. Dari candaan itu terbukti ada cara-cara tidak wajar untuk menghabisi nyawa Sang Bupati. Sang Bupati dibunuh dengan racun (yang di dalam cerpen itu disebut tuba) yang tentu saja sulit dilacak oleh polisi. Polisi sebagai aparat keamanan tidak mungkin bisa menyelidiki sebuah pembunuhan yang tidak kasat mata karena pembunuhnya menggunakan tuba ketika melakukan pembunuhan. Masyarakat setempat juga tahu orang yang melakukannya, tapi mereka sepakat tidak mau buka mulut. Mereka takut jika buka mulut karena tidak mustahil mereka akan jadi sasaran untuk dibunuh dengan cara yang sama. Bisa juga di tempat itu tidak suka dengan perilaku bupati yang dikenal jujur. Kalau ini terjadi menunjukkan bukan hanya Marajo Kapunduang yang pragmatis dan permisif, masyarakat setempat juga punya penyakit yang sama: pragmatis dan permisif. Adagium kejujuran bagi masyarakat di tempat itu telah dicampakkan berganti dengan masyarakat yang lebih suka berbohong sehingga kebohongan dengan berbagai bentuknya telah menjadi budaya bagi masyarakat tersebut.
“Mestinya ndak usah dibunuh! Diberi penyakit saja sudah cukup lah…,” kata Sutan Pagarah sembari mengaduk-aduk kopi pekat yang baru saja tersuguh untuknya. “Penyakit apa pula yang sutan maksud?” tanya kak Pi’ah, janda tua pemilik kedai kopi, pura-pura tidak paham. “Ditambah saja lubang lancirit*)-nya. Ua-ha-ha-ha….” “Ah, kasar benar kelakar sutan,” balas kak Pi’ah, agak kesal. |
Sebenarnya, orang-orang nagari Sungai Emas tidak perlu menunggu penjelasan polisi menyangkut sebab-sebab kematian almarhum bupati. Percuma saja aparat hukum mampu mengusut dan menuntaskan kasus itu. Tak bakal berhasil. Sebab, tabi’at pembunuhan keji itu tidak kasat mata. Lagi pula, di nagari Sungai Emas, musibah kematian macam itu sudah lumrah dan kerap terjadi. Meski diam-diam, hampir semua warga sepakat berkesimpulan bahwa bupati mati karena di-tuba. Dibunuh secara halus melalui kekuatan gaib. Namun, tidak mungkin disebutkan siapa pelakunya. Bila ada yang berani menyebutkan nama pembunuh bupati, itu sama saja artinya dengan bunuh diri. Kenekatan macam itu, hanya akan mengundang musibah baru, kematian selanjutnya, bisa saja jauh lebih mengerikan.
Bukti bahwa mereka lebih mendukung kebohongan dan mencampakkan kejujuran bisa dilihat pada dialog antara Marajo Kapunduang dan Datuk Rangkayo sesepuh adat yang paling disegani di Nagari Sungai Emas. Ketika Datuk Rangkayo ditanya pengganti bupati yang wafat beberapa hari lalu. Dia mengusulkan Drs Mustajir Adimin Putra yang menjadi pejabat eselon di Jakarta. Alasan dia memilihnya karena orang tersebut tidak `lurus tabung` alias tidak punya kejujuran (pragmatis dan permisif). Bahkan, ditambahkan kalau memegang jabatan bupati nanti, dia akan melelang hutan-hutan yang ada di Nagari Sungai Emas. Sebaliknya, kalau nanti Sang Bupati pilihan mereka sama dengan bupati yang baru saja wafat, Marajo Kapunduang bergurau akan memutuskan tali jantungnya (membunuhnya). Walaupun hanya sebatas gurauan sudah jelas arah pembicaraan mereka.
“Siapa lagi yang bakal kita calonkan untuk pemilihan tahun depan, Tuk?” tanya Marajo Kapunduang pada Datuk Rangkayo, sesepuh adat paling disegani di nagari Sungai Emas. Sejenak si Datuk menerawang, seperti mengingat-ingat seseorang sembari mengepul-ngepulkan asap rokok yang hampir memuntung. “Oh, ada Nduang! Namanya Drs Mustajir Adimin. Putra tertua mendiang haji Adimin Ar-Raji. Kabarnya, kini ia pejabat eselon di Jakarta. Bagaimana menurutmu?” balas Datuk Rangkayo, ganti bertanya. “O, Iya. Lupa saya. Tapi, orangnya tidak ’lurus tabung’ seperti almarhum bukan?” “Hmn … kalau yang ini agak lain Nduang. Bila kelak ia memenangi pemilihan, hutan-hutan milik nagari Sungai Emas ini pun bisa dilelangnya. Bagaimana menurutmu?” “Nah, itu dia yang kita cari selama ini,” jawab Marajo Kapunduang, mulai bersemangat. “Tapi, bila nanti ia hanya menumpuk kekayaan untuk kepentingan diri sendiri, apa yang akan kita lakukan?” lagi-lagi Datuk bertanya, kali ini sambil bergurau. “Putuskan saja tali jantungnya….” |
***
Cerpen Damhuri Muhammad: “Tabu”, walaupun sebatas sebuah karya fiksi, bisa memberikan sebuah deskripsi betapa rusaknya perilaku bangsa ini. Bangsa ini sudah teracuni oleh budaya konsumtif sehingga bangsa ini menjadi pragmatis dan permisif. Kedua penyakit yang melanda bangsa ini harus disingkirkan jauh-jauh. Untuk bisa menghilangkan penyakit pragmatis dan permisif jalan satu-satunya adalah pendalaman kembali nilai-nilai agama yang fokus pada pengajaran akhlak. Umat ini tidak cukup dengan pengajian atau taklim yang hanya berupa tabligh yang isi ceramahnya terkadang cenderung mengarah pada pembodohan umat karena Sang Mubaligh lebih mengajarkan tentang hal-hal yang berbau karomah di sekitar Rasulullah. Atau terkadang juga ada mubaligh yang cenderung mengadu domba umat dengan menjelek-jelekkan kelompok lain sehingga muncul di tengah-tengah umat ini kecenderungan bahwa kelompoknya lebih baik daripada kelompok lain. Dalam hal pengajaran akhlak juga perlu diperhatikan agar jangan fokus pada teori atau konsep, tapi juga mengarah pada pengamalan nilai-nilai akhlak. Dengan cara demikian, Insya Allah umat ini akan terselamatkan dari penyakit pragmatis dan permisif.
Kepedulian
Umar bin Abdul Aziz pernah berujar kepada istrinya, Fathimah, tatkala sang istri bertanya mengapa dia menangis. “Celakalah wahai Fathimah, aku ini dibebani urusan umat. Aku memikirkan orang fakir yang kelaparan;orang sakit yang hilang harapan; orang yang tiada memiliki pakaian; anak yatim yang kesusahan; orang yang terzalimi dan tertindas; orang yang terasing dan tawanan; para lansia dan janda; orang berkeluarga banyak dengan penghasilan pas-pasan; dan masih banyak lagi yang seperti mereka di seluruh penjuru negeri. Aku menyadari bahwa Tuhanku akan menanyaiku tentang mereka di hari kiamat kelak. Dan Nabi Muhammad membela mereka menghadapiku kelak. Aku khawatir tidak berdaya menyampaikan alasanku sehingga aku pun menangis karenanya.” (Abdussyafi Muhammad Abdul Latif dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, 2014:217). |
***
Umar bin Abdul Aziz banyak orang menyebutnya sebagai khalifah kelima setelah Ali bin Abi Thalib RA. Beliau menjadi khalifah di masa kekuasaan Dinasti Bani Umayah menggantikan khalifah terdahulu: Sulaiman bin Abdul Malik. Sulaiman bin Abdul Malik merupakan saudara sepupu Umar bin Abdul Aziz. Sulaiman bin Abdul Malik memiliki kedekatan dengan Umar bin Abdul Aziz. Disebutkan kalau Sulaiman bin Abdul Malik selaku khalifah dalam banyak hal selalu meminta fatwa (pendapat) dari beberapa orang saleh. Salah satu di antaranya adalah Umar bin Abdul Aziz. Diangkatnya Umar bin Abul Aziz oleh Sulaiman bin Abdul Malik lebih karena ketakwaan, kesalehan, dan keadilannya. Tiga modal utama itulah yang menjadi pilihan utama Sulaiman bin Abdul Malik memahkotai amal-amal salehnya dengan mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah (Abdussyafi Muhammad Abdul Latif dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, 2014:217).
Pilihan Sulaiman bin Abdul Malik mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya ternyata sebuah pilihan yang sangat tepat. Hal itu terbukti, walaupun Umar bin Abdul Aziz berkuasa sebagai khalifat relatif sangat singkat (99-101H/ 717-720M), dalam masa yang demikian singkat itu beliau melakukan banyak perubahan dan perbaikan. Seluruh potensi dan kemampuannya dikerahkan dan seluruh hidupnya diabdikan sepenuhnya untuk melakukan reformasi urusan kenegaraan, stabilitas keamanan, pemerataan kesejahteraan, dan penegakan keadilan di semua lapisan masyarakat.
Untuk bisa mewujudkan semua itu, Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah menerapkan:
1. penjagaan harta umat Islam; 2. efisiensi dalam penggunaan waktu dan tenaga; 3. cepat dalam menangani berbagai urusan; 4. penyederhanaan birokrasi; 5. penyeleksian hakim, kepala daerah, dan pejabat publik; 6. penghapusan semua aktivitas yang tidak sejalan dengan semangat Islam; 7. mewujudkan keseimbangan di tengah masyarakat; dan 8. melakukan dialog peruasif dengan para pemberontak (Abdussyafi, 2014:2019). |
Hasilnya adalah kekhalifahan yang menjadi kebanggaan Islam dan umat Islam. Bahkan, bukan hanya umat Islam, umat-umat lainnya pun turut merasa bangga dan bersyukur.
Dialog Umar bin Abdul Aziz dengan istrinya, Fatimah bin Abdul Malik, tampak jelas kepedulian Umar bin Abdul Aziz terhadap nasib umatnya. Umar yang diberi amanah selaku khalifah memikirkan nasib umatnya terutama yang fakir miskin. Mereka yang sakit, yang tidak memiliki pakaian, yang tergolong anak-anak yatim, yang terzalimi, singkatnya mereka yang teralienasi yang semua itu menjadi beban pikiran Umar selaku khalifah. Bagi khalifah-khalifah terdahulu masalah nasib orang-orang kecil yang teralienasi kurang diperhatikan. Tapi, tidak demikian bagi Umar bin Abdul Aziz. Pertanggungjawabannya di akhirat ketika nanti berhadapan dengan Sang Khalik menjadi beban pikirannya. Ini sebuah bukti, betapa Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah memiliki kepedulian pada nasib umatnya. Bagaimana dengan pimpinan-pimpinan bangsa di zama kiwari? Yang ada di pikiran mereka hanya bagaimana cara memperkaya diri. Boleh jadi tidak level membandingkan Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah dengan pimpinan-pimpinan negara sekarang yang cenderung egois, hedonis, dan serba permisif yang juga diragukan sampai sejauh mana rasa kenegarawanannya.
***
Pimpinan negara (termasuk ke dalamnya pimpinan daerah) yang cenderung egois, hedonis, dan serba permisif jelas tidak akan memiliki kepedulian. Bagaimana punya kepedulian kalau masih seperti itu perilakunya? Untuk bisa memiliki kepedulian, baik pimpinan negara maupun daerah harus terbebaskan dari perilaku-perilaku negatif yang disebutkan di atas. Kalau masih bersemayam perilaku-perilaku negatif, tidak mustahil anak bangsa ini lambat-laun juga memiliki perilaku yang sama (boleh jadi saat ini anak bangsa telah terjangkit perilaku-perilaku negatif itu). Tidak mustahil anak bangsa ini akan terjangkit penyakit tidak peduli alias penyakit `cuek-bebek.` Tidak aneh kalau berbagai penyakit sosial di masyarakat tidak bisa diberantas. Korupsi, misalnya, sampai saat ini semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya. Kenapa bisa demikian? Jawabannya singkat saja, masyarakat kita saat ini yang sudah terlanjur terbelit perilaku egois, hedonis, dan serba permisif menjadi penghalang utama dalam mencegah (termasuk memberantas) tindak pidana korupsi (tipikor).
Tembok penghalang yang bernama perilaku (boleh juga penyakit) sosial itu harus dibersihkan. Penyakit yang sudah kronis itu, nyaris sudah menjadi kanker, harus benar-benar dibersihkan sampai ke akar-akarnya. Jangan sampai ada yang tersisa karena kalau sampai tersisa tidak mustahil suatu saat akan muncul lagi. Bagaimana caranya? Sebelum kita bahas caranya perlu kita sepakati bersama yang tergolong masyarakat itu siapa saja? Kita perlu melakukan pembagian pengelompokan masyarakat itu karena terapi yang dilakukan berbeda antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lainnya. Dalam hal ini yang termasuk masyarakat terbagi dalam lima kelompok, yaitu:
1. masyarakat yang masuk ke dalam kelompok akademis di perguruan tinggi (PT) ;
2. masyarakat yang terlibat di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); 3. masyarakat yang terlibat dalam organisasi massa (ormas); 4. masyarakat yang terlibat dalam pers, baik yang di media sosial maupun media mainstream; dan 5. masyarakat lingkungan (RT,RW, kampung). |
***
Masyarakat akademis ditempatkan paling atas karena mereka sebagai orang terpelajar adalah orang yang sudah terbiasa membagi pengetahuan. Karena sudah terbiasa membagi pengetahuan, mereka diharapkan juga bisa melakukan, bahkan, bisa menjadi agen perubahan. Terbukti memang negara ini bisa dibebaskan dari penjajahan di antaranya karena peran para intelektual. Termasuk dalam hal ini peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru sampai dengan peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi juga karena peran para intelektual yang datang dari PT. Tidak aneh kalau kehadiran mereka sangat dinanti-nantikan oleh semua kalangan. Kiprah mereka di PT lewat pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat tertantang untuk melakukan perubahan. Kehadiran kalangan akademis sebagai social changes benar-benar sangat diharapkan. Meskipun di antara mereka banyak juga terkena sindrom penyakit sosial seperti yang disebutkan di atas, karena terpanggil untuk melakukan perbaikan, tidak mustahil mereka bisa mengenyampingkan dulu penyakit-penyakit sosial (meskipun juga tidak sedikit yang tersembuhkan dari berbagai penyakit sosial). Selain itu, masih cukup banyak kalangan akademis yang tergolong bersih dari penyakit-penyakit sosial. Mereka-mereka yang mengabdikan tenaga, pikiran, dana, dan waktunya untuk kepentingan akademis sangat mudah untuk peduli membenahi carut-marut bangsa ini sebagaimana disampaikan oleh Pierre Bourdiou dan Julian Benda berikut ini.
Menurut Pierre Bourdiou filsuf asal Perancis, kaum intelektual memiliki kekuasaan melalui ide-ide atau pengetahuan dalam sebuah masyarakat untuk membongkar struktur kekuasaan yang selalu mendominasi atau menindas masyarakat yang lemah merupakan pertarungan modal yang tersalurkan melalui arena, baik di masyarakat itu sendiri maupun di dalam dunia akademik, hingga pada akhirnya dapat membentuk habitus kaum intelektual. Habitus sendiri merupakan reproduksi dari sejarah. Di mana habitus kaum intelektual terjalin dengan kekuasaan ide-ide dan realitas yang ia tempati. Sedangkan peran sosial kaum intelektual adalah untuk menyampaikan pandanganya kepada publik dalam hal masalah-masalah sosial yang dialami masyarakat. Menurut Julien Benda, dalam kehidupan sosial, peran intelektual menjadi gambaran penting untuk melancarkan kritik dengan cara pandangannya di saat ia menelaah persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehingga dari situ sebagai kaum intelektual mereka dapat menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Intelektual memiliki peran sebagai orang yang selalu berbuat untuk kepentingan masyarakat dan bukan selalu berdiam diri ketika terjadi pertikaian di kepentingan tertentu. Itu artinya, habitus dibentuk melalui pertautan antara pengetahuan dan kenyataan. (https://grahafilsafat.wordpress.com/2018/01/05/peran-akademik-dan-sosial-kaum-intelektual/) |
Gambaran ideal orang-orang akademis dari PT seperti yang disampaikan oleh Pierre Bourdiou dan Julien Benda memang harusnya seperti itu, yaitu orang-orang yang mempunyai peran untuk melancarkan entah kritik atau pandangannya. Mereka demi melihat adanya ketimpangan dalam kehidupan sosial tidak bisa berdiam diri. Mereka ingin berbuat demi kepentingan masyarakat. Kalau perlu mereka melalui pengetahuan dan ide-ide yang dimilikinya melawan tirani kekuasaan yang menindas masyarakat. Tapi, apakah perlawanan mereka menghadapi tirani kekuasaan didukung penuh oleh sivitas akademika di PT-nya? Ternyata, tidak semua insan akademis mengapresiasi yang mereka perjuangkan. Boleh jadi sebagian besar insan akademis karena merasa nyaman bersemayam di `menara gading` cenderung bersikap `cuek bebek`. Biasanya mereka yang bersikap demikian lebih dikuasai oleh kehidupan yang serba materialistis sehingga tidak aneh kalau kalangan akademis jenis ini termasuk orang-orang yang terkena sindrom penyakit-penyakit sosial (egois, hedonis, dan permisif). Mereka telah hilang sikap idealismenya.
***
Di masa Orde Baru kalangan akademis (entah mahasiswa atau dosen) yang idealis,yang ingin memperjuangkan idealismenya memasuki berbagai LSM. LSM yang mereka masuki tentu saja bukan LSM plat merah (LSM milik pemerintah). LSM plat merah baik di masa Orde Baru maupun Reformasi tidak pernah berubah, yaitu lebih memperjuangkan aspirasi pemerintah daripada memperjuangkan aspirasi rakyat. Kalangan akademis yang telah hilang idealismenya lebih cenderung memasuki LSM-LSM plat merah karena LSM-LSM plat merah benar-benar menjadi lumbung meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Tidak sedikit di antara mereka yang berkiprah di LSM-LSM plat merah yang direkrut penguasa menjadi pejabat-pejabat tinggi di negara ini. Meskipun demikian, para akademisi yang berkiprah di LSM-LSM bukan plat merah juga banyak yang direkrut penguasa. Karena iming-iming kekuasaan yang tentu saja juga diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan hidupnya, tidak sedikit dari mereka yang memelacurkan dirinya sehingga mereka menjadi bagian dari kekuasaan yang sebelumnya diperanginya.
Bicara tentang idealisme, baik kalangan insan akademis yang berkiprah di PT, LSM, ormas, maupun pers kalau dalam diri mereka masih ada prinsip `aji mumpung`, tergoda kehidupan dunia yang serba gemerlap, atau terpancing pada budaya konsumtif tidak mustahil akan goyah idealismenya (bisa juga imannya). Mereka yang berkiprah di dunia pers meski ketika mereka masih menjadi mahasiswa aktif di dunia pers kampus sangat idealis, begitu masuk ke dunia kerja (kebetulan pekerjaannya berhubungan dengan dunia pers) tidak sedikit juga di antara mereka yang tergerus idealismenya. Jadi, mempertahankan idealisme baik mereka yang di PT, LSM, ormas, maupun pers memang sulit. Di sini dibutuhkan komitmen dan konsistensinya. Justru, kedua hal ini yang demikian mudah diucapkan ternyata sulit dipraktekkan. Buktinya, berapa banyak insan akademis dari PT, LSM, ormas, atau pers yang masih bisa bertahan dengan idealismenya? Karena banyak di antara mereka yang telah memelacurkan dirinya, tidak usah heran kalau berbagai permasalahan yang muncul di negara ini tidak kunjung selesai. Masalah korupsi, misalnya, masih masif prakteknya di Indonesia. Salah satu tudingan yang layak ditujukan di antaranya adalah tidak terlepasnya peran birokrat atau penyelenggara negara. Masalahnya menjadi semakin rumit ketika juga melibatkan pihak swasta. Menghadapi masalah itu pemerintah melakukan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah sinergitas pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Meskipun demikian, upaya ini ternyata belum maksimal sehingga tindak pidana korupsi dari hari ke hari semakin masif.
Pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji, menilai, masifnya praktik korupsi di Indonesia memang tidak terlepas dari peran birokrat atau penyelenggara negara. Namun demikian, yang tidak kalah pentingnya juga tentunya adalah keterlibatan pihak swasta. “Korupsi ini semakin masif dan ini tidak saja terlepas dari peran birokrat atau penyelenggaran negara, tetapi juga keterlibatan pihak swasta sebagai potensi kekuataan nonbirokrasi negara,” kata Indriyanto, di Jakarta, Selasa (4/8/2020). Menurutnya, saat ini memang harus dilakukan banyak pembenahan oleh pemerintah. Utamanya pembenahan di bidang upaya penindakan dan pencegahan korupsi yang harus dilakukan secara bersama-sama. “Dengan makna demikian masih banyak pembenahan yang harus dilakukan oleh Pemerintah. Dibutuhkan dua sinergitas pemberantasan korupsi,” ucap Indriyanto. Pertama yaitu sinergitas dan paralelitas antara pencegahan dan penindakan. Kemudian yang kedua sinergitas dan sistem pemberantasan korupsi yang terintegrasi di antara Polri, Kejaksaan, dan KPK. “Kontinuitas pemberantasan korupsi di antara tiga lembaga ini harus diakui belum maksimal dan optimal, sehingga ruang publik masih menganggap adanya divergensi kepentingan lembaga dalam pemberantasan korupsi,” kata Indriyanto. (https://www.beritasatu.com/faisal-maliki-baskoro/nasional/662037/ pemberantasan-korupsi-di-indonesia-belum-sinergis) |
***
Idealisme yang tergerus berakibat fatal, salah satu di antaranya korupsi yang semakin masif baik kuantitas maupun kualitasnya. Kalau kalangan akademis yang semula berkiprah di PT kemudian masuk ke berbagai LSM, ormas, dan pers saja sudah tergerus idealismenya, bagaimana dengan masyarakat biasa (masyarakat lingkungan)? Tidak ada lagi di hadapan mereka orang yang bisa dijadikan rujukan untuk menjadi orang yang peduli karena orang-orang yang intelektualnya memadai saja sudah seperti itu. Masih beruntung kalau di tengah-tengah mereka ada tokoh entah tokoh agama, tokoh masyarakat adat, atau orang yang dituakan yang konsisten menjaga perilakunya. Bagaimana kalau tidak ada sama sekali? Mereka akan semakin larut dengan kehidupan yang cenderung egois, hedonis, dan permisif. Perlu diketahui, masyarakat lingkungan (apa lagi kalau mereka tergolong orang-orang miskin) adalah masyarakat yang rentan terhadap berbagai penyakit sosial. Mereka selalu melihat orang dari yang tampak di hadapan mereka. Kalau orang yang dilihat itu dermawan, semua yang menempel di tubuh orang itu serba mewah dan mahal ditambah lagi orang itu berpangkat atau punya jabatan, di mata mereka lebih terpandang dari-pada orang biasa-biasa saja yang tampilannya juga biasa-biasa saja. Mereka memandang orang pada yang dilihatnya. Pikiran mereka masih jauh untuk melihat orang dari yang dikatakannya walaupun perkataannya mengandung kebenaran.
Pandangan-pandangan seperti itu yang harus diluruskan. Siapa yang bisa meluruskannya? Siapa lagi kalau bukan tokoh-tokoh agama, adat, atau masyarakat setempat (entah Ketua RT, RW, kepala desa, atau lurah) plus orang-orang akademis (bisa mahasiswa bisa dosen) yang mau turun ke tengah-tengah masyarakat. Semua orang yang terlibat di atas harus bisa menunjukkan dirinya sebagai orang-orang yang masih punya idealisme. Mereka-mereka adalah orang-orang yang bekerja tulus, tanpa pamrih, dan menunjukkan kejujuran dan kepeduliannya. Lewat orang-orang akademis yang tulus, tanpa pamrih, dan jujur serta peduli masyarakat yang tergolong rentan ini juga harus dicerdaskan. Pendidikan mereka yang minim (minim pendidikan umum dan agama) yang menjadi faktor rentan terkena penyakit sosial. Untuk itu, insan akademis lewat penelitian dan pengabdian pada masyarakat bisa melakukan aktivitas pembelajaran. Selain itu, LSM-LSM, ormas-ormas, dan kalangan pers yang diisi orang-orang yang masih punya idealisme juga boleh-boleh saja berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Sinergitas orang-orang akademis dari PT, LSM, ormas, dan pers (ditambah lagi dari kalangan tokoh agama, adat, dan masyarakat setempat) sangat diperlukan. Dengan demikian, kepedulian masyarakat terhadap sesama manusia, lingkungan, daerah, bahkan negara sekalipun secara perlahan akan tumbuh.
***
Alangkah indahnya jika hidup ini ada orang-orang yang saling peduli. Di sana ada kehidupan yang saling toleran dan saling menolong satu sama lain. Dengan menghidupkan kepedulian, kita telah mewarisi sesuatu yang digariskan Tuhan: sifat-sifat pengasih dan penyayang. Kita mengasihi sesama kita walaupun yang diberikan bukan berupa harta tapi sekedar salam, sapa, dan senyum itu sudah cukup. Kita menyayangi sesama makhluk Tuhan entah itu sesama manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, atau lingkungan hidup di sekitar kita. Mungkinkah itu terjadi di tengah-tengah kehidupan kita yang saat ini diuji dengan maraknya tipikor dan konco-konconya?
Sumber Gambar: