Subagio S. Waluyo

Apakah ada masalah dengan mindset dan kinerja pejabat publik (untuk selanjutnya disebut birokrat) kita? Kalau tidak ada masalah mana mungkin kita tulis judul  di atas?  Jadi, kita angkat tentang dua hal yang terus melekat pada birokrat kita karena sudah jelas-jelas ada masalah. Mengapa muncul kedua masalah tersebut? Terus, bagaimana cara memecahkan kedua masalah tersebut? Nah, kedua pertanyaan ini yang perlu kita bahas.

Kita awali dulu hal-hal yang berkaitan dengan mindset. Setelah itu kita bahas yang berkaitan dengan kinerja. Slide di atas sebagaimana bisa kita temukan di berbagai referensi yang mudah kita dapati mindset diartikan dengan pola pikir. Kalau ditanya lagi apa itu pola pikir? Pola pikir itu adalah berbagai keyakinan yang menyatu dan akhirnya membentuk cara kita memahami sesuatu, dunia, dan diri sendiri. Jadi, kalau melakukan suatu tindakan, terlepas tindakan itu baik atau buruk, hal itu lebih disebabkan oleh pola pikir (mindset) kita. Kalau tindakan itu baik, itu mencerminkan mindset kita baik. Sebaiknya, kalau tindakan itu tidak baik atau negatif, itu mencerminkan mindset kita tidak baik. Dengan demikian, mindset itu bisa mempengaruhi di antaranya persepsi kita atau bisa juga menentukan tindakan. Bagaimana dengan mindset birokrat kita? Kita lihat slide di bawah ini.

Cara berpikir para birokrat di negara ini sebagian besar tidak bisa berpikir jernih. Mereka juga tidak bisa berpikir positif. Tidak aneh kalau mereka tidak ada keinginan untuk membela kebenaran. Mereka juga tidak ada keinginan untuk mendahulukan kepentingan rakyat. Ciri khas yang tampak pada para birokrat baik dari kelas yang paling bawah maupun yang sampai atas adalah mereka mudah emosi hanya karena kesalahan kecil/sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan. Kata-katanya yang meluncur dari mulutnya juga sering bernada emosional sehingga tidak aneh kalau sering juga mereka melukai hati orang. Karena ucapannya yang menyakitkan hati orang, wajar-wajar saja masyarakat yang membutuhkan pelayanan lebih cenderung untuk tidak mau lagi berhubungan dengan birokrat.

Hanya karena tidak bisa berpikir jernih orang bisa enggan berurusan dengan birokrat. Padahal dengan berpikir jernih seorang birokrat dapat meraih kesuksesan. Selain itu, dia juga dapat bersosialisasi dengan masyarakat. Berpikir jernih menunjukkan dirinya berketuhanan. Dengan berpikir jernih orang bisa melakukan kedamaian,untuk sesama manusia. Berpikir jernih juga merupakan kunci kesuksesan untuk meraih kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat (http://anasyamsun.blogspot.com/2014/ 05/dengan-berpikir-jernih-kesuksesan-mudah-diraih.html). Jadi, banyak keuntungan yang diperoleh ketika orang bisa berpikir jernih. Di samping itu, banyak juga di kalangan mereka yang tidak bisa berpikir positif. Pertanyaan yang muncul di benak kita, mengapa banyak birokrat di negeri ini tidak berpikir jernih dan positif? Penyebab utamanya adalah kondisi emosi yang sedang negatif. Kondisi emosi yang negatif akan mengundang pikiran-pikiran negatif sehingga memenuhi pikiran kita (http://kabar-mo-zaik. blog-spot.com/2016/10/benar -kah-berpikir-jernih-mudah.html). Kondisi emosi yang negatif yang akan mengundang pikiran-pikiran yang negatif akan melahirkan tindakan yang juga negatif. Bukan hal yang aneh kalau orang sudah dikuasai pikiran yang butek dan negatif dalam bertindak bisa melukai perasaan orang lain. Berarti birokrat di negara kita banyak yang baik pikiran maupun tindakannya (karena butek dan negatif) memang tidak ada keinginan melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanannya. Kalau sudah seperti itu, penerapan prinsip-prinsip Good Governance tidak memberikan efek sama sekali. Bukan pada prinsip-prinsipnya, tapi pada manusianya yang memang tidak berkeinginan menerapkan prinsip-prinsip Good Governance yang sudah dinilai baik itu.

Birokrat yang butek karena tidak bisa berpikir jernih dan positif tidak akan terpikirkan untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Governance. Boro-boro memikirkannya, mereka sendiri boleh jadi tidak paham dan tidak mau paham tentang hal-hal yang berkaitan dengan Good Governance. Sudah tahu kondisinya seperti itu, mereka juga tidak mau belajar tentang Good Governance. Penyakit tidak mau belajar ini yang paling repot. Masih mending orang yang tidak paham tetapi ada keinginan belajar. Tapi, ini sudah tidak paham ditambah lagi tidak mau belajar paham. Birokrat macam ini tergolong blo`on kuadrat. Untuk jenis birokrat seperti ini harus benar-benar dicuci otaknya. Dicuci otak bukan berarti nantinya mereka akan jadi birokrat radikal. Saking radikalnya jadi anti NKRI. Bukan itu yang ingin dituju dengan cuci otak atau bahasa kerennya brain wash. Yang ingin dituju dari brain wash itu adalah mereka yang semula tidak mau belajar menjadi orang yang mau belajar. Bahkan, kalau mungkin mereka jadi keranjingan belajar. Jadi, cuci otak itu mengubah birokrat yang semula jumud menjadi orang yang mau belajar sehingga birokrat itu menjadi orang yang kritis. Kalau sang birokrat sudah jadi orang yang kritis, dia sudah jadi orang yang cerdas dan (mudah-mudahan) tangkas. Tidak mustahil orang seperti ini akan menjadi pelayan masyarakat yang  baik. Bagaimana tuh caranya?

Dari awal ketika melakukan perekrutan instansi yang berwenang mau tidak mau harus selektif. Jadi, bukan zamannya lagi untuk menjadi birokrat mereka harus pakai uang muka sekian juta yang selama ini dipraktekkan di berbagai instansi pemerintah. Uang itu kalau di tingkat pemerintah kota atau kabupaten (bahkan provinsi sekalipun) dipakai sebagai dana persiapan pilkada atau buat bayar hutang sang walikota atau bupati atau gubernur karena ketika pilkada dulu untuk memperoleh kemenangan dia banyak menghambur-hamburkan uang. Bukan zamannya lagi calon birokrat pakai surat sakti dari pejabat tertentu supaya orang yang bawa surat sakti itu dapat diterima  di instansi pemerintah yang dituju. Kemudian sang calon birokrat baik yang pakai uang muka maupun surat sakti bekerja jadi pegawai di instansi yang dituju. Mereka ada yang ditempatkan sebagai guru di sekolah. Ada juga yang ditempatkan di kantor kelurahan, kecamatan, atau dinas yang ada di kota atau kabupaten atau provinsi. Mereka bekerja tidak jelas sampai kapan waktunya (paling cepat lima tahun) menjadi tenaga honor daerah. Jadi, cara-cara KKN jangan lagi dilakukan. Hasil perekrutan dengan cara-cara KKN jelas menghasilkan birokrat yang butek pikirannya.

          Perekrutan penerimaan pegawai di instansi setempat harus dilakukan secara transparan. Untuk level daerah cukup dilakukan di daerah saja. Tidak perlu dilakukan secara nasional seperti di masa orde baru yang masih pakai sistem sentralisasi. Jadi, penerimaan calon birokrat atau aparatur sipil negara (ASN) walaupun berbau negara/nasional tetap diberikan kewenangan kepada daerah untuk melaksanakan penerimaan calon pegawai sehingga penerimaan pegawai pun bisa dilakukan secara desentralisasi kecuali jelas-jelas menyangkut pengecualian yang terdapat dalam kebijakan otonomi daerah (agama, hukum, keuangan,luar negeri, keamanan, dan pertahanan). Masalah waktunya diserahkan saja pada setiap daerah. Untuk itu, tidak perlu ada penyeragaman waktu penerimaan pegawai pemerintah daerah. Silakan saja setiap daerah untuk membuat jadwalnya agar tidak terjadi bentrokan masalah waktu penerimaan pegawai. Setiap daerah tidak perlu mencantumkan persyaratan nilai terendah Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang selama ini selalu ditentukan IPK minimal 3.0. Pelamar dengan nilai IPK yang tinggi terus terang saja belum tentu menjadi representasi bagi sang pelamar sebagai orang yang berkemampuan tinggi. Banyak juga perguruan tinggi baik negeri (PTN) maupun swasta (PTS) yang mematok nilai kelulusan harus rata-rata B. Akhirnya, baik PTN maupun PTS yang memberlakukan sistem tersebut cenderung mematok nilai rata-rata IPK mahasiswanya 3.0. Padahal kemampuan akademis mahasiswanya biasa-biasa saja.

          Untuk mengukur kemampuan akademis harus dilakukan berbagai tes. Salah satu tesnya yang selama ini digunakan adalah Tes Potensi Akademik (TPA). TPA bisa digunakan tetapi bukan jadi satu-satunya alat untuk jadi pertimbangan diterima karena TPA juga banyak kelemahannya. TPA hanya menjadi alat ukur IQ. Padahal dalam perkembangan terakhir ini masih ada alat yang lebih canggih yang berkenaan dengan kecerdasan majemuk atau dalam bahasa kerennya multiple intelegency. Di sistem ini seorang calon birokrat bukan hanya intelektual saja yang diukur, tapi juga berkaitan dengan delapan kecerdasan. Selain itu, sistem ini bisa mengukur belahan otak yang mana yang mendominasi orang yang mau dites. Masih berkaitan dengan potensi akademis, juga harus dilakukan tes kemampuan melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikan sang pelamar. Kalau berkenaan dengan pendidikan, instansi yang membuka lamaran pekerjaan harus mengetes sang pelamar mengajar di hadapan siswa di sekolah yang dituju sesuai dengan tingkat pendidikan yang dituju sang pelamar. Jadi, tidak boleh lagi karena pertimbangan kasihan ada guru yang sudah sekian puluh tahun mengajar tidak diangkat jadi PNS. Berbagai kebijakan yang lebih mengarah pada kasihan atau keluarga atau masih satu almamater (kolusi dan nepotisme) jangan digunakan lagi.

Kalau tahapan yang berkaitan akademis sudah selesai, langkah berikutnya berkaitan dengan latar belakang sang pelamar. Maksudnya, yang berkaitan dengan kesehatan fisik dan psikis. Pelamar yang punya penyakit menahun dan susah disembuhkan perlu dipertimbangkan untuk diterima. Begitu juga pelamar yang punya penyakit psikis seperti kelainan jiwa atau latar belakang keluarga yang broken home atau LGBT atau ada indikasi pengguna narkoba tidak bisa diterima. Khusus yang terakhir ini tidak cukup hanya surat dokter bahwa si pelamar memang bersih dari narkoba dengan menggunakan tes kesehatan. Jika diperlukan, harus ada sistem seleksi yang berkenaan pengamatan pada calon pelamar dengan melihat langsung aktivitasnya dan kebiasaannya sehari-hari. Mengapa hal ini perlu dilakukan? Terus terang saja banyak peristiwa negatif yang sering ditemukan di berbagai tempat yang dilakukan oleh birokrat di negara ini berkaitan dengan masa lalunya. Tidak aneh kalau ditemukan ada birokrat yang biasa `teler` atau di tempat-tempat pelacuran karena hal itu sudah dilakukan sejak sekolah dulu. Termasuk dalam hal ini kedekatan dirinya dengan Tuhan  sebagai orang yang beragama. Apakah sang calon birokrat melaksanakan tidak perintah-perintah agama? Jika ditemukan ada birokrat yang memang tidak pernah beribadah, tidak usah aneh kalau sang birokrat berlaku culas, egois, pragmatis, atau oportunis. Tidak usah aneh juga kalau dia melakukan tindakan-tindakan kriminal semacam KKN.

***

          Setelah selesai melakukan pengubahan mindset, kita teruskan langkah berikutnya, yaitu pengubahan kinerja. Bagaimana cara-cara kita melakukan pengubahan kinerja? Sebelum pertanyaan itu dijawab, kita di seputar kinerja. Kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1. sesuatu yang dicapai; 2. prestasi yang diperlihatkan; 3. kemampuan kerja (tentang peralatan). Huruf n itu menunjukkan kata benda. Jadi, kata kinerja bukan kata kerja. Kata benda di sini bukan menunjukkan benda, tapi cenderung pada hasil (kerja). Kalau begitu `sesuatu yang dicapai`, `prestasi yang diperlihatkan`, dan/atau `kemampuan kerja` itu bisa kita katakan sebagai kinerja. Berkaitan dengan kinerja, seorang birokrat mau tidak mau harus memperoleh `sesuatu yang dicapai`. Dia juga harus bisa memperlihat prestasi kerjanya. Bahkan, dia juga harus bisa menunjukkan sebagai orang yang punya kemampuan kerja. Untuk itu, seorang birokrat harus memiliki mutu (kualitas) pekerjaan yang dikerjakan, jumlah pekerjaan yang dihasilkan, bisa mengerjakan tugas sesuai target yang dicapainya, dan efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya (uang, tenaga, teknologi, dan bahan baku). Bagaimana caranya? Kita lihat pembahasan berikut ini.

Dari sisi perekrutan kalau mau memperoleh birokrat yang profesional dan berperilaku baik memang harus seperti itu caranya. Calon birokrat yang sudah dinyatakan lulus tidak boleh langsung diterjunkan ke instansi /lembaga. Mereka harus ikut pendidikan dan pelatihan (diklat) selama satu tahun. Dalam kurun waktu satu tahun selama sembilan bulan mereka di asrama (tempat diklat) dan tiga bulan dimagangkan dulu di berbagai instansi/lembaga. Boleh juga mereka dimagangkan di perusahaan swasta atau BUMN/BUMD yang berprestasi. Cara seperti itu pernah dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya di masa Bambang DH menjadi Walikota Surabaya. Tujuan utama program magang itu adalah dalam rangka meningkatkan profesionalisme aparatur Pemkot (Merekonstruksi Indonesia: Sebuah Perjalanan Menuju Dynamic Governance, 2015:100-101).

          Selama sembilan bulan juga mereka di-brain washblood wash, dan heart wash. Selain itu, mereka juga disehatkan fisiknya. Karena itu, sah-sah saja kalau mereka juga harus dilatih secara semi militer agar memiliki fisik yang kuat. Agar jiwanya juga sehat mereka sebelum subuh (kira-kira satu jam sebelum subuh) dibangunkan. Mereka yang Muslim diwajibkan sholat tahajud, memperbanyak dzikir, wirid, tilawah Qur`an, dan sholat subuh berjamaah. Setelah semua acara ritual itu selesai teruskan dengan olah raga pagi dan seterusnya. Dengan cara demikian, Insya Allah, mereka para calon birokrat benar-benar akan memiliki tubuh yang kuat, otak yang jernih dan positif, dan hati yang bersih.

***

        Untuk kebutuhan kompetensi mereka nanti ketika menjadi birokrat diberikan berbagai pelatihan yang menjurus pada bidang kerjanya masing-masing. Selama ikut pelatihan yang mengarah pada keterampilan di bidang kerjanya, mereka juga diberikan bahan-bahan pembelajaran yang berkaitan dengan kasus-kasus yang muncul di seputar akibat perilaku menyimpang baik yang terjadi di Indonesia maupun di dunia. Mereka juga perlu diberi contoh-contoh konkrit baik yang terdapat di dalam negeri maupun luar negeri instansi yang benar-benar telah berhasil memproduk birokrat yang jujur dan profesional. Jadi, tidak cukup dengan slogan atau sekedar diklat yang diberikan hanya beberapa hari/pekan atau diklat-diklat yang sekedar menghabiskan anggaran. Sebagai tambahan, agar mereka tidak jenuh perlu juga setiap tiga bulan sekali ada acara bersama seperti wisata alam atau family gathering atau field trip ke luar kota. Kegiatan seperti itu bisa satu sampai empat hari. Yang penting setelah ikut kegiatan  mereka benar-benar merasa bugar kembali.

          Seandainya semua instansi pemerintah daerah melakukan hal yang sama, bagaimana cara melaksanakan diklat tersebut? Siapa saja yang akan dilibatkan dalam diklat tersebut mengingat di Indonesia saat ini ada 34 provinsi, 93 kota, 5 kota administrasi, dan 415 kabupaten (https://id. wikipedia.org/ wiki/ Daftar kabupaten_dan_kota_di_Indonesia)? Agar diklat bisa berjalan efektif dan efisien, kota dan kabupaten yang berdekatan digabung saja kegiatannya, misalnya, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terdiri atas empat kabupaten dan satu kota bisa diadakan diklat bersama. Selain DIY, juga bisa Provinsi Gorontalo yang terdiri atas lima kabupaten dan satu kota. Provinsi yang tergolong besar jumlah kota dan kabupatennya, seperti Provinsi Jawa Barat, bisa dilakukan di beberapa zone. Satu zone bisa lima atau enam kabupaten dan satu kota.

          Untuk tim fasilitator, mentor, atau pelatihnya bisa melibatkan orang-orang pintar di berbagai PTN dan PTS yang ada di DIY. Orang-orang pintar yang direkrut jadi fasilitator, mentor, atau pelatih adalah orang-orang pintar yang telah lulus dari sisi potensi akademisnya dan (yang lebih penting) mereka harus lulus integritasnya. Jangan sampai yang direkrut orang-orang pintar yang culas, yang lemah integritasnya. Provinsi-provinsi yang langka jumlah orang pintar dari PTN/PTS-nya bisa minta bantuan dari provinsi lain. DKI Jakarta dan DIY termasuk paling banyak jumlah PTN/PTS-nya sehingga provinsi-provinsi di luar DKI dan DIY bisa minta bantuan ke kedua provinsi tersebut.Untuk membersihkan darah dan hati para calon birokrat harus memanfaatkan para kyai, ajengan, atau ustadz bagi yang Muslim atau pendeta, pastor, biksu bagi yang non  Muslim. Tentu saja mereka-mereka yang dilibatkan untuk membersihkan darah dan hati para calon birokrat  juga orang yang harus memiliki integritas. Sebaiknya orang-orang pintar dari PTN/PTS berikut para tokoh agama sebelum turun ke lapangan juga perlu ikut diklat semacam Training for Trainer (TFT). Selain itu, perlu juga disusun secara bersama-sama kurikulumnya agar tidak terjadi ketidakseragaman dalam pembelajaran selama diklat nanti.

***

          Sebaiknya, sebelum program di atas digulirkan pada para calon birokrat, mereka-mereka yang telah jadi birokrat baik yang hanya birokrat biasa-biasa saja maupun yang masuk dalam jajaran eselon I harus ikut diklat. Hanya saja buat mereka tidak perlu dilakukan selama setahun penuh. Buat mereka cukup diberikan selama tiga bulan yang dilakukan setiap tahap satu bulan saja. Tahap pertama selama satu bulan. Istirahat selama dua bulan. Setelah itu mereka ikut lagi selama satu bulan dan seterusnya. Mereka juga harus ikut magang selama satu bulan di baik berbagai instansi pemerintah maupun swasta yang dinilai berprestasi.  Jadi, secara keseluruhan mereka ikut kegiatan brain wash, blood wash, dan heart wash selama empat bulan. Diharapkan para birokrat senior yang sudah bekerja cukup lama setelah mengikuti diklat akan menjadi aparatur yang profesional dan mempunyai integritas sehingga mereka bisa menjadi teladan (contoh terbaik) bagi calon birokrat yang akan hadir di instansinya.

          Satu hal yang sangat penting, yang tidak bisa disepelekan adalah faktor kepemimpinan. Sebaik apapun program yang mau digulirkan kalau pimpinan di sebuah daerah (kota, kabupaten, provinsi) mindset-nya tidak berubah jangan diharapkan ada perubahan dalam menjalankan birokrasi di daerah tersebut. Untuk itu harus ada keseriusan dari pucuk pimpinan yang memegang tampuk kepemimpinan di kota, kabupaten, atau provinsi itu. Yang jadi masalah kalau pimpinannya sudah jelas-jelas melakukan cara-cara menyimpang ketika mengikuti pilkada atau pilgub sekalipun, apakah bisa dijamin pemerintahannya akan berjalan baik? Rasa-rasanya akan ada lagi adagium `jauh panggang dari api` sehingga orang hanya punya asa tapi tidak memperoleh apa-apa. Diklat tetap ada tapi perilaku bodong masih berkeliaran. Kalau begitu, mending berimajinasi saja tidak usah melakukan apapun sehingga tetap saja bercokol birokrat yang baik otaknya, darahnya, dan hatinya tetap butek. Tetap saja bangsa ini tidak pernah terlepas dari yang namanya KKN karena para birokratnya masih egois, pragmatis, dan oportunis. Semoga saja terjadi perubahan yang mengarah pada kebaikan untuk negeri ini sehingga tidak ada lagi persepsi di kalangan birokrat bahwa pekerjaan sebagai pelayan publik bukan sebagai profesi sebagaimana nanti kita bahas pada pembahasan berikutnya.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *