Subagio S. Waluyo

Dalam serial “The Adventures of Pinocchio” (1883), penulis fiksi Italia Carlo Collodi menanamkan nilai moral betapa buruknya akibat yang harus diterima orang yang suka berbohong. 

Melalui karakter boneka kayu Pinocchio (untuk selanjutnya kita sebut Pinokio) Colladi seolah menakuti anak-anak bahwa “kalau suka berbohong, nanti hidungnya bertambah panjang seperti Pinokio”. 

Tapi kisah Pinokio versi asli dari Colladi lebih dari sekedar dongeng kebohongan yang terus diulang. Dalam beberapa interpretasi, Colladi dinilai memberi kritik sarkastik tentang perlunya kepura-puraan, atau bahasa kasarnya kebohongan dalam berkomunikasi. 

(https://www.kompasiana.com/primata/5d825d07097f362ce8414e72/pinokio-lebih-dari-sekedar-dongeng-kebohongan-yang-terus-diulang)

***

          Pinokio setiap kali berbohong dalam The Adventures of Pinocchio (1883) karya penulis fiksi Italia, Carlo Collodi, hidungnya memanjang. Itu hanya dalam karya fiksi. Namanya juga karya fiksi tentu saja tidak bisa dipercaya. Memang, Carlo Collodi menulis kisah Pinokio punya tujuan baik supaya orang jangan suka berbohong. Tapi, pesan moral sang penulis Pinokio seperti tidak mempan tuh buat koruptor yang kerap berbohong. Koruptor juga tahu kalau pekerjaan yang dilakoni seperti yang dikatakan orang-orang pintar kalau korupsi itu perbuatan busuk. Anehnya sudah tahu perbuatan busuk masih saja ada manusia yang melakoninya. Bahkan, akhir-akhir ini semakin banyak orang yang melakukan perbuatan busuk (penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sejenisnya yang berbau haram). Koruptor seperti itu tidak kapok-kapoknya melakukan pekerjaan sejenis. Keluar-masuk penjara buat sang koruptor sudah biasa karena di penjara juga dia bisa menikmati dunia dugem, bisa nengok istri walaupun sebentar (buktinya bisa punya anak), dan jangan-jangan bisa berbisnis sehingga kekayaannya tidak sama sekali habis. Kalau begitu apa yang salah dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas korupsi di negeri ini?

Kalau ditelusuri secara cermat, kita akan menemukan faktor penyebab yang membuat korupsi susah diberantas. Salah satunya boleh jadi dari pihak penegak hukum (entah KPK, kejaksaan, atau polisi) yang cenderung tebang pilih ketika menghadapi kasus-kasus korupsi. Di gambar karikatur di atas, misalnya, sang penyidik ketika diperiksa matanya tidak bisa membaca tulisan-tulisan yang berhuruf besar. Dia hanya bisa membaca tulisan dengan huruf-huruf kecil. Huruf-huruf besar lebih merupakan representasi kasus-kasus korupsi yang besar buat dia tidak terbaca (atau tidak mau disidik?). Tapi, huruf-huruf kecil yang juga representasi dari korupsi kecil-kecilan bisa (boleh juga mau) disidik(?). Kalau sudah begini `kan sudah jelas-jelas ada tebang pilih dalam menangani korupsi di negara ini. Pantesan saja kalau ada orang yang berprinsip `daripada korupsi kecil-kecilan mending korupsi besar-besaran karena dengan korupsi besar-besaran bisa menyuap penegak hukum’. Dengan kata lain, korupsi kecil-kecilan bisa masuk penjara dan tidak bisa menebus untuk keluar dari penjara. Sebaliknya, korupsi besar-besaran dijamin bisa menebus penegak hukum sehingga bisa bebas atau minimal sang koruptor menikmati dulu sel setahun (ada yang hanya beberapa bulan) lebih setelah itu bisa bebas. Itu `kan yang terjadi di negara kita? Cuma gembar-gembor saja untuk memberantas korupsi.

          Selain ada kebijakan tebang pilih, koruptor juga setiap tahun mendapat remisi. Sudah jelas perbuatannya bukan hanya melanggar hukum, tapi juga merusak sisi-sisi kehidupan bangsa yang boleh jadi juga akan menjungkalkan negara ini ke negara gagal malah dapat remisi. Dengan adanya remisi sang koruptor merasa dianakemaskan. Wajar saja jika korupsi makin menjadi-jadi. Meskipun demikian, kalangan akademis yang masih bersih hatinya dan tidak terkotori darahnya, otaknya, dan hatinya harus melawan korupsi sebagaimana yang terlihat pada gambar karikatur di bawah ini. Kita coba simak pesan yang terkandung dalam karikatur itu.

Insan akademis yang masih bersih darahnya, otaknya, dan hatinya (diutamakan mahasiswa) adalah orang-orang idealis, energik, vitalitas tinggi, dan otak yang cemerlang. Itu hanya ada pada orang-orang muda. Orang-orang muda di sini adalah orang yang memang sejak dari rumahnya sudah dididik oleh orang tuanya (dan juga masyarakatnya) untuk tidak mengambil milik orang lain. Artinya, orang-orang muda seperti ini bersih dari perbuatan mencuri. Tentu saja akan lebih baik lagi orang-orang muda seperti ini sejak kecil juga ditanamkan nilai-nilai moral (akhlak). Jadi, bukan sekedar mencuri tapi juga ada perasaan diawasi semua gerak-geriknya oleh sang khalik (Tuhan). Orang-orang muda semacam ini juga akan lebih baik lagi kalau punya tekad kuat, yaitu untuk memberantas (minimal mencegah) perilaku yang mengarah pada korupsi. Dengan keterlibatan orang-orang muda yang bersih darahnya, otaknya, dan hatinya untuk mencegah segala macam bentuk tindak pidana korupsi (tipikor) Insya Allah korupsi akan semakin berkurang (itu harapan kita). Sebagai langkah awal mereka (orang-orang muda itu) harus dibekali dengan Pendidikan Antikorupsi (PAK) agar kelak mereka diharapkan bisa melakukan pencegahan terhadap segala macam bentuk yang namanya korupsi. Sebelum melakukan pencegahan, ada baiknya kita uraikan dulu segala-segalanya yang berkaitan dengan korupsi.

***

          Apa itu korupsi? Korupsi menurut KBBI (online) adalah n (nomen = kata benda) penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/korupsi). Kalau dianalisis dari KBBI tersebut kita dapati di situ, pertama ada unsur penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara. Kedua, bukan hanya uang negara tapi juga termasuk di dalamnya uang perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya. Ketiga, yang dilakukan itu (penyelewengan atau penyalahgunaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Bagaimana kalau berkaitan dengan suap? Bukankah suap itu tidak berkaitan dengan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara yang juga termasuk di dalamnya perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya walaupun itu berkaitan dengan keuntungan pribadi atau orang lain? Di KBBI harap dimaklumi saja cuma sampai di situ mendefinisikannya. Tentang suap, pemerasan, atau gratifikasi itu sendiri tidak ada dalam definisi KBBI.

          Kalau mau lebih detil bisa dilihat di sumber lain. Salah satunya dari Wikipedia Indonesia. Menurut Wikipedia Indonesia korupsi adalah semua yang memiliki keterkaitan terhadap tindakan yang diancam dengan sanksi sebagaimana diatur di dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pengubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2020 (https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi). Setelah melihat definisi di atas, apa yang bisa kita peroleh dari definisi tersebut? Kita makin bingung, ya? Sudah pastilah kita bingung karena membaca definisi tersebut harus buka-buka dulu regulasi-regulasinya yang tercantum di atas. Daripada kita harus buka-buka semua regulasi itu, coba kita cari di tempat lain!

          Karena tidak mendapatkan definisi yang diharapkan, kita tampaknya perlu mencoba mengambil definisi yang dikemukakan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Untuk lebih jelasnya coba kita amati definsi yang dikemukakan UNODC di Pasal 8. UNODC merumuskan korupsi memiliki dua definisi. Pertama, korupsi adalah menjanjikan, menawarkan, atau memberikan kepada pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang atau badan lain, agar pejabat tersebut bertindak atau tidak bertindak dalam menjalankan tugas resminya. Kedua, korupsi adalah permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk keuntungan yang tidak semestinya, baik untuk pejabat itu sendiri maupun orang atau badan lain, agar pejabat tersebut bertindak atau tidak bertindak dalam atau tidak bertindak dalam pelaksanaan tugas resminya (https://www.unodc.org/roseap/en/indonesia/2012/04/uncac/ind/ story.html). Agar mudah dipahami, kita perlu ilustrasi. Ilustrasi untuk definisi pertama, orang dari pihak luar (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) memberikan `sesuatu` pada pejabat publik agar dimudahkan urusannya. `Sesuatu` itu bisa berupa uang, kendaraan, rumah, perhiasan yang semuanya serba `wah`, kekuasaan (bisa juga jabatan yang lebih tinggi), atau (bisa juga sih) wanita (kalau pejabat publik itu jenis `play boy`). Agar dimudahkan urusannya bisa saja bisa saja itu terjadi karena pejabat publik telah menerima di antaranya berkaitan dengan suap atau gratifikasi. Atau bisa juga rekanannya mau melakukan manipulasi data sesuai permintaan si pejabat publik. Kalau definisi kedua, rekanan pejabat publik yang memiliki kepentingan dengan pejabat publik diminta untuk memberikan `sesuatu` (seperti tercantum di atas) atau bisa juga demi kepentingan pribadi pejabat publik mau melakukan manipulasi data. Jadi, rekanan pejabat publik yang sudah mau memenuhi permintaan sang pejabat publik akan dimudahkan urusannya. Di sini korupsi terjadi karena ada kesepakatan kedua belah pihak yang saling menguntungkan (yang dirugikan negara, perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk melakukan penyelewengan/penyalahgunaan. Pertanyaannya, bagaimana kalau hanya seorang yang melakukannya? Orang tersebut tanpa ada yang pesan atau yang menjanjikan ini-itu melakukan manipulasi data. Mungkin-mungkin saja `kan korupsi juga bisa dilakukan seorang diri? Korupsi jenis ini oleh Syed Hussein Alatas disebut sebagai `Korupsi Otogenik`. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada kolom yang memuat tulisan pakar sosiologi tersebut di bawah ini.

7 Tipologi Korupsi

(Kompas.com – 20/09/2022, 02:52 WIB)

Penulis Issha Harruma | Editor Issha Harruma KOMPAS.com –

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi merupakan tindak pidana yang dapat diancam dengan hukuman sesuai peraturan perundang-undangan. Jika tidak ditangani, korupsi dapat menghambat dan mengancam pembangunan suatu negara, serta meningkatkan kesenjangan sosial. Tak hanya itu, korupsi juga dapat menghancurkan perekonomian dan keuangan negara. Berikut tujuh tipologi korupsi.

Tipologi korupsi Syed Hussein Alatas membagi tipologi korupsi menjadi tujuh jenis, yaitu: Korupsi transaktif, Korupsi ekstortif, Korupsi investif, Korupsi nepotistik, Korupsi defensif, Korupsi otogenik, dan Korupsi suportif.

1)    Korupsi transaktif

Korupsi transaktif adalah korupsi yang melibatkan kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan penerima demi keuntungan keduanya dan dengan aktif diusahakan keuntungan ini oleh kedua pihak tersebut. Biasanya, korupsi jenis ini melibatkan dunia usaha dan pemerintah, atau masyarakat dan pemerintah.

2)    Korupsi ekstortif

Korupsi ekstortif dapat diartikan sebagai korupsi yang memeras. Korupsi ekstortif adalah jenis korupsi di mana pemberi dipaksa menyuap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal yang dihargainya.

3)    Korupsi investif

Korupsi investif adalah jenis korupsi berupa pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung akan adanya keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan didapat di masa yang akan datang.

4)    Korupsi nepotistik

Korupsi nepotistik disebut juga korupsi kekerabatan. Korupsi nepotistik adalah korupsi yang terjadi karena penunjukkan yang tidak sah kepada teman, sanak saudara atau kerabat untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau pemberian perlakuan khusus, seperti pemberian proyek pemerintahan dan lain-lain.

5)    Korupsi defensif

Korupsi defensif adalah perilaku korupsi korban pemerasan. Korupsi jenis ini dilakukan untuk mempertahankan diri. Dalam kasus korupsi defensif, pemberi dipaksa menyuap untuk mencegah kerugian yang mengancam dirinya. Korupsi jenis ini biasanya dilatarbelakangi oleh ancaman, teror, dan lain-lain. Pemberian barang atau jasa kepada pelaku pemerasan menjadi pembenaran bagi korban untuk melakukan korupsi.

6)    Korupsi otogenik

Korupsi otogenik adalah korupsi yang dilakukan seorang diri. Korupsi jenis ini tidak melibatkan orang lain karena pelakunya hanya seorang saja. Korupsi otogenik terjadi ketika seseorang memiliki keuntungan karena mempunyai informasi sebagai orang dalam. Dengan sengaja, ia memberi informasi kepada pihak luar tentang suatu hal yang seharusnya dirahasiakan demi memperoleh keuntungan pribadi. Seorang pejabat disebut melakukan korupsi otogenik ketika sudah berada dalam kondisi mengkhianati kepercayaan.

7)    Korupsi suportif

Korupsi suportif adalah korupsi yang dilakukan untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada. Korupsi jenis ini tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan dalam bentuk lain. Korupsi suportif sering juga disebut korupsi dukungan. Korupsi ini biasanya lebih sulit diungkap karena pelakunya berkelompok dan tidak sendiri sehingga mereka dapat saling menutupi tindak korupsinya.

Referensi:

Santosa, Prayitno Iman. 2015. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi Menurut Ajaran Dualistis. Bandung: Penerbit Alumni.

(https://nasional.kompas.com/read/2022/09/20/02520001/7-tipologi-korupsi)

Diakui atau tidak, sebelum melakukan tindakan entah pencegahan atau pemberantasan korupsi untuk menentukan definisi korupsi saja sangat rumit. Meskipun demikian, berbicara tentang korupsi tampakmya memang tidak dibutuhkan definisi memuaskan segala pihak. Mungkin saja ada yang beranggapan cukup dengan menyebutkan kalau korupsi itu perbuatan busuk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.Boleh juga sesuatu yang busuk, jahat, merusak,  yang bersifat amoral, yang sifat dan keadaannya busuk, entah itu menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah. Bisa juga penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, yang berkaitan dengan fakor ekonomi, politik, dan penempatan keluarga atau golongan (kolusi dan nepotisme) ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan (Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi, 2011:24). Untuk itu wajar saja jika disampaikan di sini bahwa UNODC dalam situsnya menyebut korupsi adalah fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. Dengan demikian, korupsi menurut UNODC, telah merendahkan institusi demokrasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan (https://aclc.kpk.go.id/action-information/ex-ploration/20220411-null).

          Tampaknya, siapapun yang terlibat dalam aktivitas, baik pencegahan maupun pemberantasan korupsi lebih cenderung melihat bentu-bentuk/jenis korupsi ketimbang melihat definisinya. Berbicara tentang bentuk-bentuk/jenis korupsi dapat disebutkan di sini di antaranya seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

No. Bentuk/Jenis Tipikor
1. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan Negara.
2. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan Negara
3. Menyuap pegawai negeri
4. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
5. Pegawai negeri menerima suap
6. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
7. Menyuap hakim
8. Menyuap advokat
9. Hakim dan advokat menerima suap
10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan
11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi
12. Pegawai negeri merusakkan bukti
13. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
14. Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti
15. Pegawai negeri memeras
16. Pegawai negeri memeras pegawai yang lain
17. Pemborong berbuat curang
18. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
19. Rekanan TNI/Polri berbuat curang
20. Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
21. Penerima barang  TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
22. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain
23. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
24. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK
25. Merintangi proses pemeriksaan
26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya
27. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
28. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
29. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu
30. Saksi yang membuka identitas pelapor

 

Sumber: Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi, 2011:27-28)

Bentuk/jenis tipikor di atas, jika dikelompokkan, di dalam Buku Suku yang diterbitkan oleh KPK (2006) menjadi tujuh kelompok sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini.

No. Bentuk Korupsi Perbuatan Korupsi
1. Kerugian Keuangan Negara
  1. Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; dan
  2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada.
2. Suap-Menyuap
  1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara …. dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya;
  2. Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara …. karena atau berhubungan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya;
  3. Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang mele- kat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah/janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut;
  4. Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji;
  5. Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakan agar melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  6. Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  7. Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;
  8. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara;
  9. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara; dan
  10. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memepengaruhi putusan perkara.
3. Penggelapan dalam Jabatan
  1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang  disimpan karena jabatannya, atau uang/surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut;
  2. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan adminstrasi;
  3. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;
  4. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; dan
  5. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
4. Pemerasan
  1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
  2. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada wak- tu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bu- kan merupakan utang; dan
  3. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima atau memotong pembayaran kepada Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
5. Perbutan Curang
  1. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
  2. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan, sengaja membiarkan          perbuatan curang;
  3. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; dan
  4. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI melakukan perbuatan curang dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.
6. Bentuk Kepentingan dalam Pengadaan Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
7. Gratifikasi Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya.

***

          Sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah umum, korupsi selayaknya harus dianggap sebagai kejahatan besar. Karena menjadi kejahatan besar, pihak penegak hukum sudah seharusnya tidak sekedar gembar-gembor meneriakkan pemberantasan korupsi. Tapi, penegak hukum juga harus meninggalkan sikap tebang pilih dalam penanganan yang saat ini kerap dipraktekkan oleh penegak hukum dalam hal pemberantasan korupsi. Kalau masih saja ada sikap tebang pilih, tidak mustahil penyakit sosial ini tidak akan bisa menghilang dari negeri tercinta ini. Sebagai tambahan, dalam penanganan masalah korupsi, semua pihak yang terlibat harus secara cermat mengamati baik tujuh tipologi yang dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas maupun bentuk/jenis tipikor berikut bentuk korupsi dan perbuatannya. Ingat, masyarakat saat ini sudah kritis melihat ketimpangan dalam penanganan masalah tipikor. Jadi, sekali lagi, penegak hukum harus serius menangani fenomena sosial yang sudah jelas-jelas merusak ekonomi, sosial, otoritas pemerintah, penegakan hukum, pertahanan dan kemanan, dan lingkungan hidup.

Sumber Gambar:

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

WhatsApp chat