Subagio S.Waluyo
Menulis paragraf bisa dipancing pakai gambar ilustrasi? Di dunia ini tidak ada yang tidak bisa. Sekedar orang mau menulis paragraf dipancing pakai gambar ilustrasi pasti bisa. Gambar ilustrasi `kan cuma dipakai sebagai stimulus agar kita memulai menulis sebuah tulisan? Dengan melihat gambar ilustrasi seperti gambar ilustrasi di atas, kita akan bereaksi menulis paragraf. Kalau sebuah paragraf sudah terwujud, kita tinggal meneruskan menjadi sebuah wacana. Apa yang susah? Supaya dimudahkan kita menulis, begitu kita melihat gambar ilustrasi langsung cari referensinya.Gambar ilustrasi di atas, misalnya, orang sedang memegang kotak Jendela Johari. Kita langsung saja cari di Google tentang konsep Jendela Johari pasti dapat kita temukan. Kalau sudah ditemukan, kita langsung saja bahas hal-hal apa saja yang diuraikan di Jendela Johari itu. Berikut ini bisa kita baca tulisan singkat tentang Teori Jendela Johari.
Di atas disebutkan Teori Jendela Johari adalah teori yang membahas cara memahami diri sendiri dari perspektif diri sendiri dan juga orang lain. Untuk memahami teori tersebut, kita bisa memecah ke dalam dua bagian besar: bagaimana cara memahami diri sendiri dari perspektif diri sendiri?; dan bagaimana cara memahami diri dari perspeptif orang lain? Setelah kita pecah, sekarang coba kita tulis saja:
(1) Bagaimana cara memahami diri sendiri dari perspektif diri sendiri? |
(2) Ini pertanyaan menarik. |
(3) Dikatakan menarik karena untuk memahami diri sendiri membutuhkan proses berpikir yang mendalam. |
Diawali dengan pertanyaan bagaimana, kita sudah menulis tiga kalimat. Kita coba teruskan saja lagi:
(4) Meskipun demikian, juga diperlukan kejujuran karena seringkali orang memanipulasi dirinya bahwa dirinya tahu persis kelebihan dan kekurangannya. |
Mengapa dibutuhkan kejujuran untuk mengetahui diri sendiri?
(5) Kejujuran dibutuhkan karena sering orang saking egonya hanya menonjolkan kalau dirinya punya banyak kelebihan atau lebih mengedepankan kebaikan. |
(6) Padahal, banyak orang tahu kalau orang tersebut pernah melakukan berbagai kesalahan. |
Kalau sudah seperti itu, bagaimana kelanjutannya? Kita fokus saja pada frasa berbagai kesalahan.
(7) Salah satu kesalahan fatal, misalnya, orang tersebut pernah di media online memfitnah orang dengan kata-kata yang tidak senonoh sehingga orang yang difitnah itu terpukul. |
Terus? Apa lagi?
(8) Orang tersebut memang merasa bersalah dan buru-buru minta maaf seraya mencabut tulisannya yang nyinyir itu. |
(9) Itu baru salah satu contoh saja ulah orang tersebut di dunia maya. |
Apakah melakukan kesalahan tersebut dinilai fatal?
(10) Walaupun itu hanya baru sekali dilakukan di dunia maya, ibarat nila setitik rusak susu sebelanga, perilaku yang diperlihatkan orang tersebut di dunia maya jelas merupakan cacat dirinya yang tidak bisa dihapus dari ingatan orang terutama orang yang pernah difitnahnya. |
(11) Artinya, keseharian orang tersebut secara kasat mata di hadapan orang memang termasuk orang baik-baik. |
Apa kaitannya dengan ibarat di atas?
(12) Tetapi, perilakunya yang telah mencoreng nama baik orang lain jelas menghapuskan kebaikannya. |
(13) Dengan kata lain, orang tidak akan mudah untuk melupakan kesalahannya. |
(14) Bahkan, orang juga bisa berkesimpulan kalau orang tersebut jangan-jangan di dunia nyata memang kesehariannya sering melakukan kesalahan. |
Tampaknya, perlu ditutup nih!
(15) Untuk itu, ketika seseorang belajar memahami dirinya sendiri dibutuhkan sebuah kejujuran atau dia juga perlu perspektif orang lain. |
Langkah terakhir coba kita tulis sebuah paragraf dengan menyalin semua kalimat yang bernomor itu sehingga menjadi sebuah paragraf yang utuh.
(1) Bagaimana cara memahami diri sendiri dari perspektif diri sendiri? (2) Ini pertanyaan menarik. (3) Dikatakan menarik karena untuk memahami diri sendiri membutuhkan proses berpikir yang mendalam. (4) Meskipun demikian, juga diperlukan kejujuran karena seringkali orang memanipulasi dirinya bahwa dirinya tahu persis kelebihan dan kekurangannya. (5) Kejujuran dibutuhkan karena sering orang saking egonya hanya menonjolkan kalau dirinya punya banyak kelebihan atau lebih mengedepankan kebaikan. (6) Padahal, banyak orang tahu kalau orang tersebut pernah melakukan berbagai kesalahan. (7) Salah satu kesalahan fatal, misalnya, orang tersebut pernah di media online memfitnah orang dengan kata-kata yang tidak senonoh sehingga orang yang difitnah itu terpukul. (8) Orang tersebut memang merasa bersalah dan buru-buru minta maaf seraya mencabut tulisannya yang nyinyir itu. (9) Itu baru salah satu contoh saja ulah orang tersebut di dunia maya. (10) Walaupun itu hanya baru sekali dilakukan di dunia maya, ibarat nila setitik rusak susu sebelanga, perilaku yang diperlihatkan orang tersebut di dunia maya jelas merupakan cacat dirinya yang tidak bisa dihapus dari ingatan orang terutama orang yang pernah difitnahnya. (11) Artinya, keseharian orang tersebut secara kasat mata di hadapan orang termasuk memang orang baik-baik. (12) Tetapi, perilakunya yang telah mencoreng nama baik orang lain jelas menghapuskan kebaikannya. (13) Dengan kata lain, orang tidak akan mudah untuk melupakan kesalahannya. (14) Bahkan, orang juga bisa berkesimpulan kalau orang tersebut jangan-jangan di dunia nyata memang kesehariannya sering melakukan kesalahan. (15) Untuk itu, ketika seseorang belajar memahami dirinya sendiri dibutuhkan sebuah kejujuran atau dia juga perlu perspektif orang lain.
|
***
Gambar ilustrasi di atas mudah ditebak. Itu gambar seorang pengemis. Kalau berbicara tentang pengemis, di benak kita ada berbagai gambaran. Negara yang banyak pengemisnya menggambarkan negara itu tergolong miskin. Boleh juga orang menjadi pengemis karena sudah tidak ada lagi cara untuk mencari nafkah kecuali mengemis. Boleh juga orang menjadi pengemis karena adanya mentalitas yang rendah, yaitu mental mengemis. Jadi, kalau mau dibuat gambaran dari gambar ilustrasi di atas bisa beragam gambaran. Kita perlu fokus pada salah satu dari gambaran yang diuraikan di atas. Kita ambil saja misalnya yang berkaitan dengan mental mengemis sebagai mental yang rendah. Dengan demikian, kita akan fokus pada mental mengemis.
Sekarang coba kita tulis saja seperti ini:
(1) Apakah sudah bisa dipastikan mental mengemis merupakan mental yang rendah? |
Kalau mau ditambah lagi dengan pertanyaan berikut juga boleh.
(2) Bukankah mengemis lebih baik daripada mencuri misalnya? |
Mengemis lebih baik daripada mencuri?
(3) Memang benar mengemis lebih baik daripada mencuri. |
(4) Mencuri jelas merupakan sebuah kejahatan. |
(5) Sementara itu, mengemis bukan merupakan sebuah kejahatan. |
Kalau memang bukan sebuah kejahatan, mengapa mengemis tergolong mental yang rendah?
Apakah tidak diperbolehkan orang memiliki sikap ketergantungan pada orang lain?
(7) Hanya anak bayi atau anak di bawah usia lima tahun yang belum bisa berbuat apa-apa yang layak memiliki sikap ketergantungan pada orang lain. |
(8) Itupun seiring dengan bertambahnya usia, anak harus dilatih untuk belajar melakukan sendiri apa saja yang dia maui. |
Kalau sudah sanggup melakukan sendiri, apakah masih layak memiliki sikap ketergantungan pada orang lain?
(9) Pada saatnya sang anak yang terbiasa melakukan sendiri apa saja yang dia inginkan menjadi anak yang mandiri. |
Mau ditambah lagi?
(10) Perilaku mengemis jelas menunjukkan perilaku yang tidak mandiri karena sangat bergantung pada belas kasihan orang lain. |
Kalau sudah cukup, kita rangkaikan kembali semua kalimat bernomor di atas ke dalam satu paragraf utuh.
(1) Apakah sudah bisa dipastikan mental mengemis merupakan mental yang rendah? (2) Bukankah mengemis lebih baik daripada mencuri misalnya? (3) Memang benar mengemis lebih baik daripada mencuri. (4) Mencuri jelas merupakan sebuah kejahatan. (5) Sementara itu, mengemis bukan merupakan sebuah kejahatan. (6) Mengemis itu menunjukkan sikap ketergantungan pada orang lain. (7) Hanya anak bayi atau anak di bawah usia lima tahun yang belum bisa berbuat apa-apa yang layak memiliki sikap ketergantungan pada orang lain. (8) Itupun seiring dengan bertambahnya usia, anak harus dilatih untuk belajar melakukan sendiri apa saja yang dia maui. (9) Pada saatnya sang anak yang terbiasa melakukan sendiri apa saja yang dia inginkan menjadi anak yang mandiri. (10) Perilaku mengemis jelas menunjukkan perilaku yang tidak mandiri karena sangat bergantung pada belas kasihan orang lain.
|
***
Memasuki modernisasi memasuki perilaku konsumtif karena perilaku yang satu ini tampaknya sudah menjadi sebuah tren kehidupan masyarakat modern bukan saja di negara-negara maju, di negara-negara berkembang atau negara-negara miskin pun masyarakatnya terwarnai perilaku ini. Apakah kita bisa menghindarinya? Arus globalisasi yang sulit dibendung kehadirannya tampaknya menjadi faktor penyebab yang membuat kita cepat atau lambat terkena arusnya sehingga sangat sulit menghindarinya. Meskipun demikian, masih ada banyak cara untuk menjauhi perilaku konsumtif. Salah satu di antaranya belajar melawan hawa nafsu. Bagaimana cara melawan hawa nafsu? Nah, sampai di pertanyaan ini kita mencoba menulis menjauhi perilaku konsumtif melalui melawan hawa nafsu. Bagaimana? Kita coba ya?
Menjauhi perilaku konsumtif melalui melawan hawa nafsu. Kira-kira itu yang mau kita tulis. Kalau begitu, kita tulis saja kalimat tersebut sebagai kalimat pembuka:
(1) Menjauhi perilaku konsumtif melalui melawan hawa nafsu. |
Selanjutnya kita mengajukan pertanyaan:
(2) Mungkinkah? |
(3) Mungkin saja karena hawa nafsu selalu mengajak manusia pada keburukan. |
Kalau begitu, apa itu hawa nafsu?
(4) Sebelum membahas kalimat di atas, ada baiknya kita ketahui dulu pengertian hawa nafsu. |
(5) Hawa nafsu menurut Wikipedia Indonesia merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu objek atau situasi demi pemenuhan emosi tersebut (https://id.wikipedia.org/wiki/Nafsu) |
Jika diperlukan, boleh juga pandangan Islam tentang hawa nafsu. Karena ada dua kata `hawa` dan `nafsu`, kita mulai dulu dengan kata `nafsu`.
(6) Kata `nafsu` dalam bahasa Melayu dapat berarti `keinginan`, `kecenderungan`, atau `dorongan hati yang kuat`. |
Kalau melihat definisi di atas belum terlihat ada unsur negatif. Tetapi, kalau ditambahkan dengan kata `hawa` sehingga menjadi `hawa nafsu` bagaimana hasilnya?
(8) Jadi, sudah jelas hawa nafsu bisa dipastikan mengarah pada hasrat atau keinginan yang kuat untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. |
Bagaimana jika dikaitkan dengan perilaku konsumtif?
(9) Karena termasuk pemborosan, bisa jadi perilaku konsumtif itu cenderung mengikuti hawa nafsu. |
Sudah semakin jelas tampaknya sehingga perlu ditutup saja.
(10) Dengan demikian, perilaku konsumtif harus diperangi dengan terlebih dahulu memerangi hawa nafsu. |
Bagaimana memerangi hawa nafsu? Kita tunggu saja tulisan berikutnya. Yang penting sekarang tulis kembali semua kalimat bernomor di atas sehingga menjadi paragraf yang utuh dan padu.
(1) Menjauhi perilaku konsumtif melalui melawan hawa nafsu. (2) Mungkinkah? (3) Mungkin saja karena hawa nafsu selalu mengajak manusia pada keburukan. (4) Sebelum membahas kalimat di atas, ada baiknya kita ketahui dulu pengertian hawa nafsu. (5) Hawa nafsu menurut Wikipedia Indonesia merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu objek atau situasi demi pemenuhan emosi tersebut (https://id. wikipedia.org/wiki/Nafsu). (6) Kata `nafsu` dalam bahasa Melayu dapat berarti `keinginan`, `kecenderungan`, atau `dorongan hati yang kuat`. (7) Kata `nafsu` jika di depannya dilekatkan kata `hawa` bisa berarti dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik (https://risalahmuslim.id/ kamus/hawa-nafsu/). (8) Jadi, sudah jelas hawa nafsu bisa dipastikan mengarah pada hasrat atau keinginan yang kuat untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. (9) Karena termasuk pemborosan, bisa jadi perilaku konsumtif itu cenderung mengikuti hawa nafsu. (10) Dengan demikian, perilaku konsumtif harus diperangi dengan terlebih dahulu memerangi hawa nafsu.
|
***
Awal tahun 1980-an, ketika Soeharto sebagai presiden sedang berada di puncak kekuasaannya, dalam rangka menanggulangi kejahatan yang pada saat itu memang cukup tinggi diadakan operasi rahasia. Operasi rahasia itu di belakang hari dikenal dengan nama `Penembakan Misterius` (`petrus`).Operasi itu berupa penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat terutama di DKI Jakarta dan Jawa Tengah (termasuk DIY). Pelakunya sendiri tidak diketahui dengan jelas sehingga wajar saja muncul ungkapan `petrus`. Peristiwa `petrus` memakan korban cukup besar. Sejak tahun 1983 sampai dengan 1985 ada 713 korban `petrus`. Umumnya, korban `petrus` yang ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat (https://id.wikipedia.org/wiki/ Penembakan_misteri-us).
Orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat jelas harus ditangkap dan diadili. Sesuai dengan hukum yang berlaku mereka harus dikenakan hukuman bukan dihabisi nyawanya lalu dikarungi dan dibuang. Kebijakan tersebut jelas melanggar hak azasi manusia (HAM). Berkaitan dengan pelanggaran HAM langsung saja kita tuangkan ke dalam tulisan. Kita tulis saja:
(1) Masalah pelanggaran HAM tampaknya masih menjadi salah satu objek bagi para sastrawan. |
(2) Bahkan, masalah ini tidak akan pernah luput dijadikan objek mereka untuk mengungkapkan hati nuraninya. |
Masalah pelanggaran HAM jadi objek para sastrawan? Sampai kapan hal itu bisa dilakukan para sastrawan?
(3) Selama dunia ini masih terjadi pelanggaran HAM, selama itu pula mereka mengukirkan pena-pena tajamnya di atas kertas putih dengan deraian air mata. |
(4) Semua itu lebih merupakan bentuk perlawanan terhadap kezaliman para pelanggar HAM yang memang tidak bisa dibalas dengan kekerasan karena kekerasan tidak pernah membuahkan kebaikan atau kemaslahatan umat manusia. |
Apakah cukup melawan para pelanggar HAM melalui ketajaman penanya?
(5) Dengan ketajaman pena yang tidak akan melukai fisik si pelanggar HAM justru dia akan merobek-robek hati nurani manusia pembacanya entah itu si pelanggar HAM itu sendiri yang hatinya terbuat dari batu atau pembaca yang masih memiliki hati nurani yang bersih. |
Hasil dari ketajaman penanya bagaimana?
(6) Meskipun upaya itu tidak akan banyak membawa hasil (karena pelanggaran HAM pada waktu yang bersamaan juga akan terus terjadi), bagi sastrawan sudah merasa cukup kalau ungkapan kepedihan hati itu bisa dituangkan dalam kata-kata berupa puisi, cerpen, novel, atau esai. |
(7) Mereka juga sadar bahwa pelanggaran HAM sebagai penghilangan nilai kemanusiaan pada akhirnya tidak akan bisa dilawan dengan pena-pena tajamnya, tetapi itulah satu-satunya upaya penyelamatan nilai-nilai kemanusiaan melalui karya sastra. |
Jika sudah dirasakan cukup, tulis kembali semua kalimat bernomor ke dalam sebuah paragraf.
(1) Masalah pelanggaran HAM tampaknya masih menjadi salah satu objek bagi para sastrawan. (2) Bahkan, masalah ini tidak akan pernah luput dijadikan objek mereka untuk mengungkapkan hati nuraninya. (3) Selama dunia ini masih terjadi pelanggaran HAM, selama itu pula mereka mengukirkan pena-pena tajamnya di atas kertas putih dengan deraian air mata. (4) Semua itu lebih merupakan bentuk perlawanan terhadap kezaliman para pelanggar HAM yang memang tidak bisa dibalas dengan kekerasan karena kekerasan tidak pernah membuahkan kebaikan atau kemaslahatan umat manusia. (5) Dengan ketajaman pena yang tidak akan melukai fisik si pelanggar HAM justru dia akan merobek-robek hati nurani manusia pembacanya entah itu si pelanggar HAM itu sendiri yang hatinya terbuat dari batu atau pembaca yang masih memiliki hati nurani yang bersih. (6) Meskipun upaya itu tidak akan banyak membawa hasil (karena pelanggaran HAM pada
waktu yang bersamaan juga akan terus terjadi), bagi sastrawan sudah merasa cukup kalau ungkapan kepedihan hati itu bisa dituangkan dalam kata-kata berupa puisi, cerpen, novel, atau esai. (7) Mereka juga sadar bahwa pelanggaran HAM sebagai penghilangan nilai kemanusiaan pada akhirnya tidak akan bisa dilawan dengan pena-pena tajamnya, tetapi itulah satu-satunya upaya penyelamatan nilai-nilai kemanusiaan melalui karya sastra.
|
***
Sama seperti menulis paragraf yang diawali dengan kutipan, penulisan paragraf yang dipancing dengan menggunakan gambar ilustrasi juga tidak sulit. Kita cukup mengamati gambar ilustrasi yang mau dijadikan objek tulisan. Nanti dari hasil pengamatannya kita bisa menentukan, misalnya, gambar ilustrasi yang kita amati berbicara tentang pengemis. Kita langsung saja mengaitkan pengemis dengan masalah sosial. Atau bisa juga dikaitkan dengan mentalitas bangsa yang rendah. Setelah itu kita mulai menulis kalimat pertamanya. Kalau kalimat pertama sudah ditulis, kita tinggal meneruskan kalimat berikutnya. Kita bisa menggunakan konjungsi agar terjadi ikatan yang erat kalimat pertama dengan kalimat yang kedua dan seterusnya. Atau kita bisa juga menggunakan pengulangan kata kunci. Bisa juga kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya menjadi kalimat-kalimat yang akan kita masukkan ke dalam paragraf. Jadi, tidak ada yang sulit untuk menulis paragraf karena banyak cara untuk mengembangkan sebuah tulisan.
Post Views:
178