Subagio S.Waluyo

Lirik pada lagu sama saja dengan puisi. Terkadang lirik lagu banyak juga yang bernilai sastra. Lirik-lirik lagu Ebiet G. Ade, misalnya, sebenarnya kalau ditelisik merupakan puisi yang dinyanyikan. Terkadang, lirik-lirik lagu Ebiet susah dipahami maknanya. Untuk bisa menyanyikan lirik-lirik lagunya memang mudah. Tapi, tidak semudah kita mengapresiasikannya. Terbayang di benak kita, bagaimana Ebiet menuliskan lirik-lirik lagunya? Tentu Ebiet perlu  berimajinasi dan berkontemplasi untuk menuangkan kata-katanya ke dalam lirik-lirik lagunya. Ebiet juga perlu banyak mempelajari fenomena sosial dan juga filsafat (bahkan agama sekalipun). Agar lirik-lirik lagunya benar-benar berbobot, dia padukan semua itu dengan aransemen musik yang siap untuk dinyanyikan. Kita pun tanpa disadari terbawa arus alunan lirik-lirik lagunya sehingga kita tidak sadar bahwa yang juga kita lantunkan lirik-lirik lagunya sebenarnya merupakan puisi-puisi yang bernuansa nilai-nilai sastra. Kita cukupkan saja pembicaraan kita tentang lirik-lirik lagu yang bernuansa sastra. Kita fokus saja pada puisi yang akan kita coba mengembangkannya menjadi sebuah tulisan berikut ini.

***

HAMPA

                            Kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

Karya: Chairil Anwar

Puisi di atas lebih menggambarkan tentang kesepian. Tapi, Chairil Anwar menuliskan judul puisinya `Hampa`. `Hampa` juga bisa diartikan `sepi`. Bahkan, kata `hampa` bisa lebih luas daripada kata `sepi` itu sendiri karena bisa diartikan `tidak bergairah`, `sia-sia`, `tidak berisi` atau `kosong`, dan bisa juga diartikan `bodoh` atau `tidak berpengetahuan` (KBBI,1999:338). Kita tidak perlu berpanjang kalam tentang judul puisi di atas. Yang mau kita bahas adalah cara kita menjadikan puisi di atas sebagai bahan menulis paragraf. Kita mulai saja dari untaian puisi di atas yang berbunyi: Sepi di luar. Sepi menekan mendesak./ Lurus kaku pohonan. Tak bergerak/Sampai ke puncak. Dari untaian tersebut kita menulis:

1) Chairil mencoba mengungkapkan kesepian dengan kata-kata yang cenderung berlebihan (hiperbola): Sepi di luar. Sepi menekan mendesak./Lurus kaku pohonan. Tak bergerak/Sampai ke puncak.
2) Jadi, suasana yang digambarkan Chairil memang benar-benar sepi sampai-sampai pepohonan pun tidak bergerak.

Kemudian kita bisa menuliskannya seperti ini:

3) Bisa dibayangkan kalau pepohonan sampai sama sekali tidak bergerak berarti suasananya sudah benar-benar seperti stagnan, mati.

Kalau begitu, apa yang akan terjadi:

4) Suasana seperti itu akan membikin orang semakin galau karena biar bagaimana pun manusia membutuhkan suasana yang hidup.
5) Suasana yang hidup setidaknya memunculkan kedinamisan.

Di sini tidak ada kedinamisan:

6) Dengan demikian, kesepian itu sebuah kematian atau keterasingan sebagaimana diungkap oleh Chairil di puisi “Sia-Sia” yang di akhir puisinya ia mengungkapkan …Ah hatiku yang tak mau memberi/mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Dengan hanya mengutip tiga baris dari puisi `Hampa` di atas sudah bisa ditulis satu paragraf. Berikut ini bisa kita lihat hasilnya.

(1) Chairil mencoba mengungkapkan kesepian dengan kata-kata yang cenderung berlebihan (hiperbola): Sepi di luar. Sepi menekan mendesak./Lurus kaku pohonan. Tak bergerak/Sampai ke puncak. (2) Jadi, suasana yang digambarkan Chairil memang benar-benar sepi sampai-sampai pepohonan pun tidak bergerak. (3) Bisa dibayangkan kalau pepohonan sampai sama sekali tidak bergerak berarti suasananya sudah benar-benar seperti stagnan, mati. (4) Suasana seperti itu akan membikin orang semakin galau karena biar bagaimana pun manusia membutuhkan suasana yang hidup. (5) Suasana yang hidup setidaknya memunculkan kedinamisan. (6) Dengan demikian, kesepian itu sebuah kematian atau keterasingan sebagaimana diungkap oleh Chairil di puisi “Sia-Sia” yang di akhir puisinya ia mengungkapkan …Ah hatiku yang tak mau memberi/mampus kau dikoyak-koyak sepi.

***

BUNGLON

                                Beni Guntarman

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

pada warna siapa yang berkuasa ia ‘kan menyesuaikan warna diri

lincah berkelebat dari dahan ke dahan, dari periode ke periode kekuasaan

terus menjadi ekor, dan kerap bermimpi menjadi sang pelopor

meski hakikat diri hanyalah alat kekuasaan yang kotor

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

kokoh berlindung dalam warna-warni hiruk-pikuk percaturan politik

diam-diam merasa bosan pada keangkuhan kayu dan dedaunan

coba berjuang menjadi pelopor perubahan

memaksakan warna kehendak diri pada pohon besar di pelataran singgasana

namun kayu tetaplah kayu, daun tetaplah daun yang selalu menghijau

tak sudi menjadi pengikut bunglon

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

dunia dalam satu warna yang ada di benaknya

ketika berhadapan dengan tantangan kehidupan nyata

bunglon selalu kehilangan ekornya!

(http://www.jendelasastra.com/karya/puisi/bunglon)

Puisi lahir dari hasil pengamatan, perenungan, dan pengimajinasian sang penyair. Sang penyair mengamati alam sekitarnya. Salah satu yang tidak luput dari pengamatan penyair adalah binatang reptil yang hidup di pepohonan. Binatang ini sering berganti-ganti warna tubuhnya sesuai dengan tempat dia hinggap. Orang menamakan binatang reptil ini: bunglon. Perilaku binatang ini yang kerap berubah-ubah warna tubuhnya dimisalkan sebagai perilaku orang yang tidak jelas sikap atau pendiriannya. Kita bisa menamakan orang jenis ini sebagai munafik atau hipokrit. Jadi, orang yang sering berubah sikap atau orang yang bisa menyesuaikan diri di manapun dia berada bisa dikiaskan seperti bunglon.

Berdasarkan puisi di atas, sekarang kita masukkan kata `bunglon` ke dalam tulisan. Kita bisa memulainya menulis:

1) Mendengar kata `bunglon` terbayang di benak kita jenis binatang reptil yang kerap berubah warna tubuhnya sesuai dengan alam di sekitarnya.

Kita coba teruskan menulis:

2) Saking mudahnya berubah warna tubuhnya, kita sering terkecoh keberadaan sang bunglon.
3) Tidak mustahil bunglon yang kita cari sebenarnya ada di hadapan kita.

Karena kita sering terkecoh oleh binatang reptil itu, kita tulis saja:

4)  Perilaku bunglon yang sering membikin orang terkecoh itu persis sama dengan orang-orang hipokrit.
5) Siapa itu orang-orang hipokrit?

Untuk menjawab pertanyaan itu, coba kita kutip saja dengan sedikit tambahan di awal kalimat:

6) Orang-orang hipokrit di antaranya adalah orang-orang yang disebut sang penyamar hati di pohon kekuasaan.
7) Orang-orang yang di pohon kekuasaan itu kokoh berlindung dalam warna-warni hiruk-pikuk percaturan politik.

Apa yang terjadi selanjutnya?

8) Mereka ini yang `berperan ganda` dari periode ke periode kekuasaan yang kerap bermimpi menjadi sang pelopor.

Tapi, yang perlu kita ketahui:

9) Mereka ini sebenarnya hanyalah alat kekuasaan yang kotor.

Cukup satu bait puisi kita ambil. Selebihnya, bisa kita teruskan pada saat menulis sebuah wacana. Sekarang kita tulis secara utuh sebuah paragraf yang bahannya merupakan sebagian kutipan puisi di atas.

 (1) Mendengar kata `bunglon` terbayang di benak kita jenis binatang reptil yang kerap berubah warna tubuhnya sesuai dengan alam di sekitarnya. (2) Saking mudahnya berubah warna tubuhnya, kita sering terkecoh keberadaan sang bunglon. (3) Tidak mustahil bunglon yang kita cari sebenarnya ada di hadapan kita. (4) Perilaku bunglon yang sering membikin orang terkecoh itu persis sama dengan orang-orang hipokrit. (5) Orang-orang hipokrit di antaranya adalah orang-orang yang disebut sang penyamar hati di pohon kekuasaan. (6) Orang-orang yang di pohon kekuasaan itu kokoh berlindung dalam warna-warni hiruk-pikuk percaturan politik. (7) Mereka ini yang `berperan ganda` dari periode ke periode kekuasaan yang kerap bermimpi menjadi sang pelopor. (8) Mereka ini sebenarnya hanyalah alat kekuasaan yang kotor.

***

 

DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA

                                                                     Hartojo Andangdjaja

Apa yang kupunya, anak-anakku

selain buku-buku dan sedikit ilmu

sumber pengabdianku kepadamu

Kalau di hari minggu engkau datang ke rumahku

aku takut, anak-anakku

kursi-kursi tua yang di sana

dan meja tulis sederhana

dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya

semua padamu akan bercerita

tentang hidupku di rumah tangga

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita

depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja

—–horison yang selalu baru bagiku—-

karena kutahu, anak-anakku

engkau terlalu muda

engkau terlalu bersih dari dosa

Untuk mengenal ini semua

         (Solo, 1955)

 

Berbicara tentang guru tentu saja tidak akan melepaskan diri dari kehidupannya sehari-hari.  Justeru, sisi-sisi kehidupan seorang guru adalah sisi-sisi kehidupan yang paling menarik. Sisi-sisi kehidupannya yang demikian luas dari aktivitasnya sebagai guru, yang setiap kali tidak lepas dari dunia buku dan kurikulum sampai dengan kehidupannya di rumah tangga.  Sisi-sisi kehidupan seorang guru tidak akan selesai hanya dengan berpuluh-puluh seminar.  Dengan sekian banyak seminar tidak akan terkupas sisi-sisi unik kehidupan seorang guru. Kehidupan seorang guru akan lebih efektif jika dituliskan dalam bentuk karya seni (Iwan Falls yang meneriakkan sosok Umar Bakri lebih menyentuh perasaan manusia bila dibandingkan dengan seminar tentang guru).  Jadi, melalui sebuah karya seni, baik dalam wujud syair lagu, seperti Iwan Falls yang telah menampilkan sosok Umar Bakri, cerpen-cerpen, novel-novel, maupun puisi-puisi akan lebih banyak menyentuh perasaan manusia.

Berkaitan dengan guru yang hidupnya memang tidak lepas dari buku,

1) Hartojo Andangdjaja menulis: Apa yang kupunya, anak-anakku/selain buku-buku dan sedikit ilmu/sumber pengabdianku kepadamu.

Baris pertama pada puisi itu bisa dikatakan guru sebagai:

2) Sosok egaliter yang tampak pertama kali kita tangkap di baris pertama.

Guru memang sosok egaliter.

3) Saking egaliternya muncul perkataan yang disampaikan di hadapan murid-muridnya `apa yang kupunya anak-anakku`.

Karena hanya seorang guru, ia mengakui kalau:

4) Sebagai akademikus, seorang guru hanya berucap, `selain buku-buku dan sedikit ilmu`.
5) Ucapan itu pun masih terkesan egaliter, bukan?

Tentu saja itu merupakan sebuah fakta bahwa

6) Bukankah hanya bermodalkan buku dan sedikit ilmu dia mengabdikan dirinya sehingga terlontar dari ungkapan sang penyairnya: `sumber pengabdianku kepadamu`.

Dengan kata lain boleh juga ditulis di sini:

7) Dengan bermodalkan buku-buku dan sedikit ilmu dia mentransfer ilmunya ke anak-anak didiknya.

 Akhirnya, supaya terwujud sebuah paragraf, langkah berikutnya kita tulis saja paragrafnya.

(1) Hartojo Andangdjaja menulis: Apa yang kupunya, anak-anakku/selain buku-buku dan sedikit ilmu/sumber pengabdianku kepadamu. (2) Sosok egaliter yang tampak pertama kali kita tangkap di baris pertama. (3) Saking egaliternya muncul perkataan yang disampaikan di hadapan murid-muridnya `apa yang kupunya anak-anakku`. (4) Sebagai akademikus, seorang guru hanya berucap,  `selain buku-buku dan sedikit ilmu`. (5) Ucapan itu pun masih terkesan egaliter, bukan? (6) Bukankah hanya bermodalkan buku dan sedikit ilmu dia mengabdikan dirinya sehingga terlontar dari ungkapan sang penyairnya: `sumber pengabdianku kepadamu`. (7) Dengan bermodalkan buku-buku dan sedikit ilmu dia mentransfer ilmunya ke anak-anak didiknya.

***

DI BAWAH SELIMUT KEDAMAIAN PALSU

                             Wiji Thukul

apa gunanya ilmu

kalau hanya untuk mengibuli

apa guna baca buku

kalau mulut kau bungkam melulu

di mana-mana moncong senjata

berdiri gagah

kongkalikong

dengan kaum cukong

di desa-desa

rakyat dipaksa

menjual tanah

tapi, tapi, tapi, tapi

dengan harga murah

apa guna baca buku

kalau mulut kau bungkam melulu

 

(https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/158831-puisi-wiji-thukul

1) `apa gunanya ilmu/kalau hanya untuk mengibuli/apa guna baca buku/ kalau mulut kau bungkam melulu`, tulis Wiji Tukul di puisinya `Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu`.

Apakah seorang akademikus perlu tersingung?

2) Tapi, itu sebuah kenyataan bukan kalau seorang akademikus yang tidak menggunakan ilmunya untuk menegakkan kebenaran.
3)  Sebaliknya, jutru mereka gunakan ilmunya untuk mengibuli.

Bukan hanya itu,

4)  Wiji juga menambahkan, `apa guna baca buku/ kalau mulut kau bungkam melulu`.
5)  Artinya, seorang akademikus ketika melihat adanya ketimpangan cenderung diam, bungkam mulutnya.

Kalau memang begitu ajukan saja pertanyaan:

6) Bukankah buku-buku yang dibaca dan dikajinya membentuk seorang dirinya sebagai seorang akademikus?

Sesuai dengan kapasitasnya sebagai akademikus:

7)  Jadi, seorang akademikus yang kerap melakukan berbagai kajian seharusnya berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.

Dengan mengutip empat baris saja kita sudah membuat satu paragraf utuh dan terpadu. Buktinya bisa dilihat pada paragraf di bawah ini.

(1) `apa gunanya ilmu/kalau hanya untuk mengibuli/apa guna baca buku/ kalau mulut kau bungkam melulu`, tulis Wiji Tukul  di puisinya `Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu`. (2) Tapi, itu sebuah kenyataan bukan kalau seorang akademikus yang tidak menggunakan ilmunya untuk menegakkan kebenaran. (3) Sebaliknya, justru mereka gunakan ilmunya untuk mengibuli. (4)  Wiji juga menambahkan, apa guna baca buku/ kalau mulut kau bungkam melulu`. (5) Artinya, seorang akademikus ketika melihat adanya ketimpangan cenderung diam, bungkam mulutnya. (6) Bukankah buku-buku yang dibaca dan dikajinya membentuk seorang dirinya sebagai seorang akademikus? (7) Jadi, seorang akademikus yang kerap melakukan berbagai kajian seharusnya berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.

***

Empat puisi yang kita tampilkan di atas sudah cukup dijadikan contoh untuk menulis paragraf pembuka. Karena hanya sebuah paragraf pembuka, kita cukup memasukkan tiga sampai empat baris di setiap judul puisi. Nanti pada langkah berikutnya ketika menulis sebuah wacana, kita akan mengutip dari setiap puisi di atas baik seluruh baris yang ada pada puisi tersebut maupun sebagian saja. Dengan cara seperti itu kita belajar menulis wacana utuh dan sekaligus belajar mengapresiasi puisi. Bukankah ini seuai dengan peribahasa yang mengatakan, `sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui`?

 

 

 

 

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat