Subagio S. Waluyo

Ada tiga kata yang selalu bikin gaduh jagad yang bernama Indonesia ini: korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Ketiga kata ini tidak pernah (jangan-jangan malah tidak bisa) musnah dari negara ini. Ketiga kata ini makin kemari makin menjadi-jadi. Artinya, bukan mengecil malah makin membesar. Ketiga kata ini yang pernah menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara di masa Orde Baru, di masa Reformasi ini pun berulang kembali. Khusus yang namanya korupsi, kalau dulu jelas-jelas tersentralisasi, berbarengan dengan perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi korupsi juga ikut-ikutan latah terjadi yang namanya pemerataan korupsi. Orang menamakannya sebagai korupsi yang terdesentralisasi. Ada apa dengan negara ini?

      Di negara ini memang telah terjadi perubahan totalitas. Kalau dulu serba tertekan, sekarang masyarakatnya benar-benar bisa menghirup udara yang namanya demokrasi. Saking demokratisnya, semua orang boleh-boleh saja menyampaikan aspirasinya. Silakan saja mau mengkritisi segala macam ketimpangan di negara ini termasuk tiga kata itu! Akhirnya, orang-orang yang masih punya kepedulian berani menyampaikan pendapatnya. Dari sekian banyak orang yang menyampaikan pendapatnya ada para karikaturis dan masyarakat akademis, baik yang berkiprah di perguruan tinggi maupun di berbagai LSM. Apa saja yang telah mereka perbuat? Lihat saja di bawah ini berbagai gambar karikatur yang sebagian besar bicara tentang korupsi! Ada juga yang menyampaikan hasil-hasil penelitiannya dituangkan ke dalam data-data statistik, baik dalam bentuk grafik maupun poster. Ada juga para sastrawan yang menuangkan gagasannya lewat puisi dan prosa (novel). Hal ini menunjukkan masih banyak orang yang peduli untuk membicarakan masalah korupsi yang telah menggurita di negeri ini. Agar tidak penasaran, kita simak saja mereka-mereka yang mengkritisi KKN di bawah ini.

***

1)

Kasino Hadiwibowo yang lebih dikenal dengan Kasino Warkop adalah salah seorang pelawak di masa Orde Baru (akhir 70-an) yang cukup terkenal. Sebagai pelawak yang berpendidikan tinggi (alumnus FISIP UI) Kasino dalam suatu momen tertentu pernah menyampaikan pernyataan kalau bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur. Ada benarnya juga pernyataan Kasino. Kita memang harus jujur bangsa ini orang pintar boleh dikatakan cukup banyak. Semakin ke mari semakin banyak sarjana keluaran PTN-PTS terkenal, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tapi, itu perilakunya boleh dikatakan tidak jujur. Justru, kejujuran itu lebih penting daripada seorang akademis yang bertitel guru besar tetapi keblinger perilakuknya. Ternyata, di masa reformasi seorang rektor pun tidak luput dari korupsi. Bahkan, kalau diadakan pendataan tentang mereka-mereka yang korup dilihat dari latar belakang pendidikannya, kita yakin sebagian besar mereka adalah orang-orang pintar. Jadi, negara ini boleh dikatakan sudah rusak (kalau boleh hancur sekalipun) karena ulah orang-orang pintar yang tidak jujur.

2)

Dalam banyak gambar karikatur selalu saja orang-orang yang korup disimbolkan dengan tikus. Tikus kita kenal sebagai binatang pengerat. Boleh juga dimasukkan sebagai jenis perusak. Untuk mereka-mereka yang terlibat dalam merusak bangsa lewat KKN (khususnya korupsi) boleh-boleh saja jika disimbolkan dengan tikus. Koruptor yang disimbolkan dengan tikus tidak perlu gusar atau mensomasi atau menuntut sekalipun karikaturis yang telah berani-beraninya mensimbolkan dirinya sebagai tikus. Bukankah mereka-mereka yang korup itu telah merusak bangsa ini apakah dari sisi ekonominya, lingkungan hidupnya, budayanya, sumberdaya alamnya, kehidupan sosialnya, bahkan perilaku bangsanya? Kalau memang itu semua terjadi sebagai dampak korupsi, tidak perlu para koruptor tersinggung apalagi sampai menuntut para karikaturis yang mensimbolkan dirinya dengan tikus.

3)

Bukan hanya korupsi, bangsa ini juga turut dirusak oleh dua penyakit lain: kolusi dan nepotisme. Kita gabungkan saja dengan korupsi sehingga kita menemukan tiga kata: korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Penyakit sosial yang bernama KKN ini sebenarnya kalau ditelusuri sudah ada sejak Penjajahan Belanda dulu. Bahkan, jauh sebelumnya di masa-masa kerajaan juga sudah ada ketika rakyat menyerahkan upetinya kepada raja. Upeti yang diserahkan pada raja di satu sisi sebagai simbol pengakuan dan penghormatan pada raja. Tapi, di sisi lain juga bisa saja bermakna sogokan (korupsi) agar raja sebagai penguasa negeri tidak bersikap sewenang-wenang pada rakyatnya atau tidak memberikan hukuman pada rakyatnya yang menurut pandangan raja telah melakukan kesalahan. Untuk menghindari akibat dari kesalahan rakyatnya, raja memberikan kebijakan, salah satu di antaranya apalagi kalau bukan memberikan upeti pada raja. Dengan demikian, penyakit KKN buat bangsa ini sudah benar-benar ada sejak di Nusantara ini berdiri kerajaan-kerajaan.

4)

Mereka-mereka yang korup, yang sebagian hartanya tidak disita negara, boleh jadi beranggapan buat dia kalau ditahan itu tidak akan berpengaruh. Sudah banyak diketahui orang kalau mereka-mereka (para koruptor) selama di dalam penjara selnya telah berubah menjadi kamar hotel bintang empat. Sel tahanan yang telah disulap menjadi kamar hotel bintang empat itu dilengkapi dengan berbagai kelengkapan hidup yang serba lengkap dan mewah. Jauh berbeda dengan sel tahanan pelaku-pelaku kriminal di luar para koruptor yang satu selnya diisi sekian narapidana (napi). Sel para napi itu jauh dari nilai-nilai hidup layak (bisa disebut tidak berkemanusiaan). Jadi, kita bisa menyaksikan di penjara yang nama halusnya “Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)” saja terjadi disparitas antara napi koruptor dan napi kriminal. Itu baru dilihat dari segi tempat bermukimnya. Belum lagi perlakuan terhadap kedua jenis napi itu. Napi yang tergolong koruptor jelas diistimewakan. Mereka bisa berkeliaran di luar Lapas. Tidak usah aneh kalau napi koruptor yang tergolong VVIP itu bisa punya anak di luar Lapas karena adanya kebebasan untuk keluar masuk Lapas. Tentu saja untuk mendapatkan keistimewaan itu tidak gratis. Di sini sudah pasti ada sesuatu buat petugas Lapas (pimpinan Lapas juga tahu) yang bisa dijadikan oleh-oleh ketika pulang kerja. Karena itu, munculnya gambar karikatur di atas tidak usah dipungkiri tetapi bagaimana caranya membuat koruptor itu jera? Tidak ada cara sita semua hartanya atau dibuat `kere` (miskin) saja seperti tertera pada kata-kata yang terdapat di gambar itu.

5) 

Mereka-mereka yang tergolong koruptor sudah bisa dipastikan hidupnya tidak tenang. Rasa tidak aman dan nyaman pasti mengusik hidupnya. Boleh jadi mereka akan terserang penyakit amnesia (kehilangan daya ingat) karena dalam hidupnya hanya memikirkan kekayaan yang sebagian besar diperoleh dengan cara-cara tidak benar (haram). Siapapun orangnya, tanpa kecuali, kalau dalam hidupnya melakukan cara-cara yang tidak dibenarkan Tuhan, sudah dipatikan hidupnya jauh dari yang namanya tenang, tenteram, nyaman, bahkan setiap hari selalu dihantui dengan perasaan tidak aman. Mereka-mereka yang korup itu sudah bisa dipastikan hidupnya sangat bergantung pada obat-obatan yang bisa menenangkan jiwanya. Bisa juga hidupnya banyak diisi `dugem` dengan `miras` sebagai temannya. Pada akhirnya, mereka-mereka itu menjadi hamba obat-obatan,`dugem`,`miras`, dan segala macam yang berbau kemaksiatan.Mereka sesungguhnya menjalani kehidupan yang serba semu.

6)

Seperti kita ketahui, setiap Perayaan Kemerdekaan (17 Agustus) selalu ada kabar gembira buat para napi (termasuk mereka-mereka yang korup). Salah satu kabar gembira itu apalagi kalau bukan yang namanya remisi (pengurangan hukuman). Remisi itu diberikan buat napi-napi yang dari hasil evaluasinya dinyatakan telah berkelakuan baik dan telah menjalani hukuman minimal selama enam bulan. Remisi juga diberikan pada para koruptor. Para koruptor yang di masa penahanannya telah menunjukkan perilaku baik juga tidak mustahil mendapatkan remisi. Kita bisa mengambil contoh, seorang koruptor yang divonis sepuluh tahun belum tentu dia akan menjalani masa tahanan sepuluh tahun. Boleh jadi baru lima tahun sudah bisa menghirup udara bebas. Tidak usah aneh juga kalau ada napi koruptor yang baru saja ditahan satu atau dua tahun (yang seharusnya bisa lima belas tahun) tiba-tiba saja dinyatakan bebas dan terbukti tidak bersalah(?). Kalau bentuk terakhir ini bukan remisi, tapi itu benar-benar hadiah dari pejabat penegak hukum di negeri ini. Pertanyaan yang perlu disampaikan di sini: apakah dengan cara demikian bisa membikin efek jera pada para koruptor?

7)

Di masa reformasi yang ditandai dengan desentralisasi ini, kolusi juga terdesentralisasi. Artinya, kalau di masa Orde Baru sebagian besar kolusi ada di pusat, saat ini kolusi telah merambah ke daerah-daerah. Di gambar karikatur di atas, jelas sekali sang karikaturis menggambarkan suasana pembagian Kue APBD (anggaran APBD) yang diperebutkan berbagai pihak. Anggaran APBD yang seharusnya untuk pembangunan di daerahnya, ini malah menjadi semacam bancakan oleh beberapa pihak. Di gambar karikatur itu sang penyandang dana kampanye bupati/caleg yang sudah kadung keluar dana besar menuntut bagiannya sebesar 50%. Anggota legislatif pun tidak mau diam, mereka juga menuntut bagiannya 20%. Sisanya, buat eksekutif 20% dan kontraktor (swasta) 10%. Rakyat kecil yang seharusnya juga mendapat anggaran APBD dalam bentuk pembangunan di daerahnya malah tidak mendapat apa-apa. Mereka tetap saja hidup jauh dari kesejahteraan. Memang, gambaran tidak seperti itu (maksudnya, besaran persentasinya), tapi kita semua tahu kalau di setiap daerah sudah dibeberkan anggaran APBD, orang-orang yang merasa berjasa entah, pejabat, atau kontraktor sekalipun bisa dipastikan mereka-mereka itu minta jatah. Inilah salah satu contoh kolusi di daerah-daerah di masa reformasi. Ternyata, sisa-sisa penyakit kolusi masa lalu bukan berkurang malah bertambah.

8)

Setiap daerah yang menjalankan otonomi daerah, tidak ada cara terbaik kecuali menerapkan konsep Good Governance (GG). Tetapi, realisasinya tidak demikian. Justru, terjadi distorsi yang membuat pelaksanaan otonomi daerah tujuannya tidak pernah tercapai. Artinya, pelaksanaan otonomi daerah jauh dari konsep GG. Dalam pilar-pilar GG sudah jelas-jelas disebutkan untuk mewujudkan GG harus ada keterikatan antara pemerintah, masyarakat, dan swasta. Fakta (melalui gambar karikatur itu) menunjukkan pihak penguasa (pemerintah) lebih cenderung ke swasta karena lagi-lagi pihak swasta lebih menjanjikan (dengan iming-iming segepok uang) daripada rakyat kecil yang hanya memberi harapan (hati). Penguasa daerah (gubernur, bupati, atau walikota) yang sudah kadung banyak dibiayai pihak swasta merasa berhutang budi pada pihak swasta sehingga ketika pada waktu bersamaan menghadap pada sang penguasa pihak swasta dan rakyat biasa, sang penguasa lebih cenderung ke pihak swasta. Lagi-lagi rakyat jelata hanya dipandang sebelah mata alias disepelekan kehadirannya (meskipun nanti di masa pilkada rakyat jelata diiming-imingi uang). Bagaimana kita bisa mewujudkan GG di negara ini kalau mental penguasanya masih seperti itu? Kita campakkan saja GG dari negara ini kalau faktanya masih seperti itu.

9)

Sudah menjadi rahasia umum di masa reformasi juga berkembang biak yang namanya nepotisme. Di gambar karikatur di atas, misalnya, jika sang bapak pernah menjadi bupati, bupati berikutnya adalah ibunya. Kemudian, anaknya juga bisa jadi bupati. Begitu anaknya lengser dari jabatan bupati, tiba gilirannya menantunya, dan seterusnya. Akhirnya, di sebuah daerah ada sebutan dinasti kekuasaan. Jadi, wajar-wajar saja kalau ada orang yang datang ke sebuah kabupaten disambut dengan ucapan `selamat datang di kabupaten dinasti` seperti tertera di gambar karikatur di atas. Ucapan seperti itu memang menyakitkan. Bangsa ini pun sudah terbiasa dipertontonkan yang menyakitkan sehingga sesuatu yang sebenarnya di luar kelaziman, lama-lama menjadi sesuatu yang dianggap lazim. Bagaimana tidak rusak perilaku bangsa ini yang telah terkena sindrom yang namanya nepotisme?

10)

Saking kuatnya nepotisme sampai-sampai bisa mengalahkan kekuatan hukum. Gambar karikatur di atas mencerminkan betapa kuatnya sekumpulan orang yang menjadi simbol nipotisme sampai-sampai timbangannya lebih berat daripada timbangan hukum (regulasi). Kita tidak usah menutup mata bahwa di hadapan kita begitu banyak pelanggaran hukum yang dilakukan, baik oleh para pejabat yang sangat mengerti masalah hukum maupun para pengusaha (swasta) yang karena kekuatan duitnya bisa membeli hukum. Kita tidak bisa habis pikir kenapa penegak hukum (polisi) yang sudah jelas-jelas melakukan kesalahan dalam menangani kericuhan di Kanjuruhan sampai-sampai memakan korban lebih dari 130 orang yang wafat ada yang divonis bebas(?). Begitu juga korban yang ditabrak seorang pensiunan Polri sampai meregang nyawa, kok bisa-bisanya dinyatakan sebagai tersangka?. Lagi-lagi logika apa yang dipakai penegak hukum kalau bukan ada faktor X? Faktor X itu adalah adanya nepotisme. Kalau tidak ada nepotisme di kalangan para penegak hukum, tidak mungkin ada vonis bebas atau pensiunan Polri yang aman-aman saja setelah menabrak orang sampai wafat.

11)

Dalam kurun waktu lima tahun (2017-2021) menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) ada sebanyak 905 kasus hasil penindakan korupsi di Indonesia. Tahun 2017 merupakan tahun terbesar, yaitu sebesar 266. Tahun berikutnya (2018) melorot ke angka 139. Tahun 2019 turun lagi sehingga memperoleh angka kasus 122. Tapi, begitu memasuki masa pandemi terjadi lonjakan kenaikan sampai menyentuh angka 169 (2020) dan 209 (2021). Itu semua baru semester karena yang tercantum di grafik itu semester 1. Kita tidak tahu bagaimana dengan semester 2-nya? Meskipun demikian ada data valid dari ICW, di tahun 2022 ada 2.772 perkara tindak pidana korupsi (tipikor) yang hanya bisa dipantau oleh Aparat Penegak Hukum (APH) sebanyak 1.396 perkara. Jadi, APH hanya berhasil menyelesaikan separuhnya (50%) sehingga wajar saja kalau kinerja penindakan kasus korupsi hanya mendapatkan nilai; C. Miris banget ya? Katanya mau memberantas korupsi, kok yang terjadi malah sebaliknya korupsi makin menjadi-jadi (https://antikorupsi.org/sites/ default/ files/ dokumen/Tren%20Penindakan%20Tahun%202022.pdf).

12)

Kalau melihat grafik di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa di 2019 skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia pernah menyentuh angka 40. Hal itu sesuai dengan perolehan jumlah kasus yang ditemukan di semester 1 tahun 2019 sebanyak 122 kasus. Tapi, angka tersebut bukannya semakin naik malah turun ke angka 37 (2020) dan naik satu angka di tahun 2021 pas ketika terjadinya pandemi Covid-19 yang juga turut melanda negeri ini. Terus bagaimana dengan tahun berikutnya (2022)? Ternyata, tahun 2022 angka itu melorot lagi ke angka 34. Angka perolehan itu mengakibatkan Indonesia menduduki peringkat 110 dari 180 negara di dunia. Salah satu indikator yang menjadi faktor penyebab turunnya skor IPK itu lebih disebabkan oleh belum efektifnya penegak hukum antikorupsi dalam mencegah dan memberantas korupsi di negara tercinta ini: Indonesia (https:// antikorupsi.org /sites / default /files/dokumen/ Tren%20 Penindakan % 20 Tahun%202022.pdf).

13)

Kalau Indonesia dengan angka perolehan 38 di peringkat ke-96 (angka terakhir untuk Indonesia di tahun 2022 adalah 34 sehingga Indonesia melorot ke peringkat 110), negara mana yang perolehannya tertinggi dan menempati perangkat pertama? Data di atas bisa kita lihat angka tertinggi (88) diraih oleh Denmark. Dengan angka tersebut Denmark menempati peringkat pertama. Dua negara, Finlandia dan Selandia Baru juga memperoleh angka IPK yang sama dengan Denmark (88). Jadi, ketiga negara tersebut (Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru) berhak menempati peringkat pertama. Di bawahnya menyusul Norwegia (85). Satu-satunya negara di Asia yang tertinggi adalah Singapura memperoleh angkat IPK 85 (sama dengan Norwegia). Kenapa negara ini demikian kecil angka IPK-nya? Silakan disimak di Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Korupsi Tahun 2022 yang disusun oleh Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Februari  2023 (https:// antikorupsi. org/sites/ default/files/ dokumen/Tren %20Penin-dakan%20Tahun%202022.pdf). Jadi, supaya tidak gagal paham silakan diklik link  tersebut ya?

14)

Jika dilihat dari profesi/jabatannya, siapa saja yang tergolong terbesar terlibat dalam kasus-kasus korupsi? Data di atas jelas-jelas menyebutkan dalam kurun waktu delapan belas tahun (2004-2022) kalangan swasta sebagai peringkat pertama yang dari jumlah kasusnya mencapai 372. Sementara itu, peringkat terendah polisi (3 kasus) dan duta besar (4 kasus). Khusus untuk polisi kita perlu pertanyakan, apakah data di atas itu benar-benar valid karena kasus-kasus yang berkaitan dengan kepolisian kalau memang benar-benar dilakukan secara benar boleh jadi akan dijumpai angka yang lebih tinggi? Atau data itu diperoleh hanya untuk kasus-kasus yang tergolong tinggi seperti kasus Simulator SIM yang dilakukan oleh Djoko Susilo? Kembali ke data di atas, anggota dewan baik di pusat maupun di daerah juga tergolong banyak terlibat dalam kasus-kasus korupsi (310 kasus). Begitu juga dengan pejabat ASN eselon I, II, III (260 kasus), lainnya (tidak jelas siapa yang termasuk lainnya) ada 207 kasus, walikota/bupati termasuk wakilnya ada 154 (?), dan juga tidak ketinggalan gubernur ada 22 kasus. Data di atas, tampaknya masih perlu ditinjau kembali mengingat hasil APH hanya berhasil memantau separuhnya sehingga sangat wajar kalau kinerja penindakan kasus korupsi hanya diberi nilai tidak lebih dari C.

***

Sebagai pelengkap, termasuk ke dalamnya mereka-mereka yang juga tergolong mengkritisi masalah-masalah tiga kata itu adalah Taufik Ismail. Penyair Angkatan `66 ini menulis sebuah puisi yang juga berkisah tentang pejabat publik (termasuk anak-anaknya dan kerabatnya) yang terlibat dalam KKN. Kita simak potongan puisi berikut ini.

………………………………………………………………….

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor

satu,

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang

curang susah dicari tandingan,

Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara

hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,

senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan

peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk

kantung jas safari,

Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar

orangtua mereka bersenang hati,

…………………………………………………………………………………

          Di bait-bait puisi di atas Taufik menyebutkan bahwa di negara ini terjadi kerusakan birokrasi karena terjadi perselingkuhan birokrasi. Artinya,  meskipun telah ada regulasi yang mengatur masalah apapun yang berkaitan dengan birokrasi, para birokrat seenaknya mengatur birokrasi. Dalam hal ini ketika berhadapan dengan rakyat kecil yang meminta layanannya, mereka melayaninya dengan setengah hati. Bahkan, ada kecenderungan dipermainkan sehingga setiap pelayanan yang seharusnya bisa diselesaikan dalam beberapa menit saja harus menunggu berhari-hari. Tetapi, kalau berhadapan dengan pebisnis (pengusaha), mereka sangat serius melayaninya karena di balik itu semua ada sesuatu yang menguntungkan (apalagi kalau bukan fulus). Selain itu, pengusaha bisa melakukan tekanan sehingga sang pengusaha karena telah berkonspirasi dengan penguasa tertinggi di sebuah daerah (kalau perlu di negara ini) bisa saja mengancam pejabat setempat dengan ancaman pemecatan atau minimal pemutasian jika dalam pengurusan layanannya dipersulit.

          Di negeri ini kata Taufik, karena saking kuatnya nepotisme, yang namanya anggota keluarga entah itu anak lelaki, anak perempuan, sepupu, dan cucu mendapat perlindungan sepenuhnya dari sang ayah, paman, atau kakek yang memiliki kekuasaan. Bukankah kehancuran negeri ini dimulai dari adanya penyakit nepotisme? Karena birokrasi ala nepotisme pula yang membikin hancur negara ini, ketika semua kebutuhan hidup yang memang difasilitasi negara ada berbagai penggelembungan biaya. Artinya, ada unsur kesengajaan memanipulasi biaya yang merugikan negara. Di sisi lain, negara pun sebenarnya dirugikan oleh penyakit nepotisme ketika dari anak-anak presiden sampai dengan anak-anak dirjen diberi keistimewaan atau mereka diutamakan mendapatkan layanan birokrasi di kedutaan besar negara-negara yang dituju yang boleh jadi bagi masyarakat biasa sangat sulit memperoleh layanan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa rusaknya negara ini lebih disebabkan adanya layanan birokrasi yang buruk dan korupsi(Subagio S. Waluyo. Penampakan Nilai-Nilai Kemanusian dan Kesosialan dalam Karya Sastra Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Lembaga PAUD Fatimah Azzahrah, 2021).

Sumber Gambar:

  1. (https://www.kompasiana.com/monang24764/632a733a4addee12dc2307b3/noda-bangsa-korupsi-kolusi-dan-nepotisme-kkn)
  2. (https://mbludus.com/korupsi-kolusi-dan-nepotisme/ )
  3. (https://www.kupastuntas.co/2022/08/08/inspektorat-usut-dugaan-praktik-kkn-kesbangpol-lampura)
  4. (https://tonisultonish.blogspot.com/2016/11/apakah-para-koruptor-orang-orang-pintar.html)
  5. (https://www.kompasiana.com/rizal_taufik/54f97499a33311ac048b5006/korupsi-dan-pejabat-bagaikan-api-dan-asap)
  6. (https://www.kompasiana.com/alfonsliwun/61b20e3d06310e634c0e1142/korupsi-dan-arena)
  7. (https://nusantaranews.co/masalah-korupsi-kolusi-dan-nepotisme-di-indonesia-bag-1/)
  8. (https://www.kompasiana.com/arsudrajat/5a79b4e7ab12ae37a428f622/antara-warga-penguasa-dan-pengusah )
  9. (https://www.jatikom.com/contoh-dan-pengertian-kolusi-nepotisme/)
  10. (https://pelayananpublik.id/2020/04/28/pengertian-nepotisme-ciri-tujuan-hukum-hingga-contoh-kasusnya/
  11. (https://goodstats.id/article/menilik-statistik-korupsi-di-indonesia-IWZN8)
  12. (https://goodstats.id/article/menilik-statistik-korupsi-di-indonesia-IWZN8)
  13. (https://goodstats.id/article/menilik-statistik-korupsi-di-indonesia-IWZN8)
  14. (https://goodstats.id/article/menilik-statistik-korupsi-di-indonesia-IWZN8)

 

 

 

 

 

 

 

 

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *